Agama adalah tentang memahami asal muasal kita dan menghargai kehidupan. Namun, sayangnya kosa kata manusia yang terbatas menjadikan
kita mengalami kesulitan dalam memahami kitab suci. Karena itulah, tidak
seperti ilmu pengetahuan yang dilahirkan dari gagasan manusia yang batasannya jelas, agama membuka
ruang tafsir yang sangat besar. Di situlah akal budi kita berperan dalam proses
memahami Tuhan. Saya ingin mengutip
Karen Armstrong, “Pengalaman tentang Tuhan harus diiringi oleh antusiasme lain,
termasuk antusiasme akal”. Jelas sekali bahwa Tuhan memberikan kemampuan
berpikir pada kita, agar kita pergunakan seluas-luasnya bagi kelangsungan
kehidupan manusia yang lebih baik di bumi ini. Misalkan kita sakit, ilmu-ilmu kedokteran
yang berkembang karena akal pikiran manusia, merupakan sebuah solusi yang kita
ciptakan untuk mencari kesembuhan. Saya rasa, kita termasuk mengabaikan perintahNYA, bila hanya mengandalkan
doa memohon-mohon kesembuhan tanpa berpikir dan berbuat sebagaimana seharusnya
dilakukan menurut ilmu pengobatan yang berasal dari akal pikiran manusia.
Tentu saja, Tuhan adalah realitas yang berbeda dari semua
yang ada di alam semesta ini, tetapi, Dia bukan saja sekedar realitas yang
berbeda. Kita ingin Dia hadir dalam wujud keseharian. Kita bisa menangis
kepadanya, kita bisa mengadu, bahkan, kita bisa marah karena merasa Dia
dihina. Karena itulah,
pertanyaan-pertanyaan filosofis, kita perlukan untuk mengaitkan
keberadaan Tuhan dengan antusiasme lain di kehidupan kita. Inilah yang akan
membantu kita memahami keberadaanNYA dalam kehidupan, sehingga bisa kita
pahami, bahwa realitas tertinggi itu, tidak berbeda dan tidak terpisah dengan
kehidupan kita sehari-hari.
Sebagai contoh, penciptaan alam semesta. Saya berkeyakinan,
adalah sebuah kesalahan, bila risalah tentang penciptaan alam semesta itu,
hanya dipahamai sebagaimana adanya seperti tertulis dalam kitab suci. Tuhan
bukanlah sebuah wujud seperti yang ada di alam semesta ini, sehingga kita mungkin
memahami penciptaan itu seperti manusia membuat sebuah roti dengan
proses-prosesnya. Kisah penciptaan alam semesta bukanlah sebuah “kebenaran
ilmiah” menurut nalar manusia, melainkan sebuah simbol tentang kemaha-kuasaan,
meminjam istilah Karen Armstrong, “ungkapan simbolik tentang kebenaran
spiritual dan psikologis”. Bayangkan, seperti seorang anak kecil menggambar
rumah, lengkap dengan perabotan dan manusia di dalamnya. Dunia ciptaan Tuhan
barangkali seperti itulah. Bagaimana mungkin “gambar” manusia di kertas tersebut bisa memahami bahasa manusia yang
menggambarkannya? Kecuali bahwa pada
saat menggambar, si anak kecil itu memberi warna, maka, di dunia kertas itu
mereka akan mengenal warna. Apakah dengan pengenalan warna, katakanlah merah,
yang mereka lihat di tubuh masing-masing itu, akan berarti bahwa anak kecil
yang menggambar mereka juga berwarna merah.
Saya jadi ingat, di Madilog (Materialisme Dialektika
Logika), Tan Malaka menulis bagaimana
kitab suci harus menggambarkan surga sebagai tempat hidup yang sangat indah. (
Fokus saya pada cuplikan Madilog ini
bukanlah pada makna buku itu secara keseluruhan, tetapi, tentang bagaimana
sebuah kalimat Tuhan harus diterjemahkan ke dalam teks dengan kosa kata
manusia, agar kitab suci dapat dipahami
dengan mudah). Bagi masyarakat yang hidup di padang pasir, surga tentu saja
disimbolkan dengan air sungai yang jernih dan ruang hidup yang sejuk. Akan
berbeda ceritanya bagi suku bangsa lain, yang memiliki kehidupan berburu,
seperti suku indian, bagi mereka surga adalah padang buruan yang luas yang
dipenuhi binatang buruan yang gemuk. Tuhan memudahkan manusia mehamami aturan
main dengan membahasakan hukum-hukumnya ke dalam tata bahasa manusia. Seperti
itulah kita memahami sang pencipta.
Karena “jarak” antara bahasa ketuhanan dan bahasa manusia
harus diterjemahkan dalam tafsir, maka, kita tak pernah luput dari distorsi
makna. Inilah yang menimbulkan perbedaan suatu kelompok dengan kelompok
lainnya, meskipun sama-sama mengikuti kitab suci yang sama.
Seseorang yang mengaku bertuhan atau beragama, tentu saja harus memenuhi dirinya
dengan kehadiran Tuhan. Rasanya, tak ada satupun ajaran berketuhanan ini yang
mengajarkan tentang kekerasan dan pemaksaan kehendak. Tuhan selalu membimbing
kita untuk menemukan kebenaran, bukan kekerasan. Dan kebenaran itu, bisa
berasal dari mana saja.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip salah satu pernyataan
ilmuwan muslim yang dikenal begitu
toleran dengan pemikiran rasional terhadap Al Quran. Adalah Yaqub Ibn Ishak Al-Kindi, di tahun 800an
masehi. Bagi Al Kindi, tugas para filosof adalah untuk mencari kebenaran dalam
bungkus budaya atau bahasa apapun.
“Kita tak usah malu meyakini kebenaran dan mengambilnya dari
sumber manapun ia datang pada kita, bahkan walaupun seandainya ia dihadirkan
kepada kita oleh generasi terdahulu dan orang-orang asing. Bagi siapa saja yang
mencari kebenaran, tak ada nilai yang lebih tinggi kecuali kebenaran itu
sendiri; kebenaran tidak pernah merendahkan atau menghinakan orang-orang yang
mencapainya, namun justru mengagungkan dan menghormatinya”
Jadi, siapakah yang menistakan agama?
Yogyakarta, 3 dan 4 November 2016, ketika demonstrasi penistaan
agama merebak.