Saturday, November 19, 2022

Musim penghujan

hanya gerimis kotapun lirih
kemarin ada yang bercerita tentang mencari sesuatu yang tak ada tetapi, mungkin lebih mudah bila kita tak usah mencari. 
kitapun tak perlu mencari dedaunan yang jatuh di rumput 
seperti gerimis itu datang mengetuk kaca jendelamu, kemudian jatuh, ke dedaunan yang gugur di rerumputan, menyempurnakan persembahan daun untuk bumi. 

hanya gerimis dan kotapun lirih
haruskah aku mencari rembulan, yang sedang bersembunyi? Tak perlu, kata langit. Ini waktunya mendung mengirim hujan, menyempurnakan  pepohonan untuk menjadi tumbuh untuk menjadi gugur

tak usah gelisah, alam tak pernah memerlukan nama jalan ataupun peta untuk mengirimkan  apa yang  dijatahkan untukmu

Saturday, July 29, 2017

Kritik

Penonton biasanya lebih pandai dari pemain. Tapi, mungkin kita lupa bahwa memandang foto yang sudah disajikan dalam bingkai berbeda dengan fotografer memandang obyek foto. Kita memandang masalah harga garam tentu berbeda dengan bagaimana pengelola negara ini memandangnya. Mengapa? Pemandang foto hanya melihat foto itu dalam frame yang sendirian, obyek-obyek lain dihilangkan. Mereka yang memandang harga lombok atau garam sebagai masalah negara hanya melihat  yang ada di frame itu hanyalah garam, tak ada obyek lain.  Tak bisa disalahkan memang, karena memang seperti itulah yang nampak. Seperti anak yang protes karena uang sakunya diturunkan, sang anak tidak melihat bahwa ada banyak hal lain dalam keluarga yang harus dibiayai.

Seperti foto berikut, kita yang memandangnya hanya melihat kuntum bunga, sedangkan fotografer yang membuatnya memandang kuntum yang sangat kecil dengan diameter tak lebih dari satu sentimeter. Banyak semak belukar di sisinya juga dedaunan kering dari pohon lain. Fotografer merasakan terpaan angin atau mungkin sengatan panas matahari. Fotografer mendengar bunyi, bisa jadi suara mendesis mungkin ular yang berbahaya.


Jadi, mari kita belajar memandang sesuatu dengan utuh sebelum mengkritik. Bayangkanlah, kalau kita duduk sebagai  pembuat kebijakan, seribu permasalahan yang dihadapi. Sanggupkah kita? Bisakah kita membuat pilihan-pilihan yang semuanya berdampak positif dan negatif? Saya mendukung pemerintahan yang mencoba berbuat untuk negara kita, barangkali semacam upaya penyehatan. Kita memang prihatin saat ini, tapi, ini adalah terapi untuk hidup yang lebih baik di masa mendatang. Anak cucu kita. 


Tuesday, February 21, 2017

Supply Creates Its Own Demand


Tulisan ini pernah saya muat pada "catatan" di akun  fb pada tanggal 21 Januari 2011 pukul 9:39, saya tuliskan lagi di blog ini. Dulu rasanya semua "catatan" di fb berasal dari blog saya, tapi entah kenapa, saya tak menemukan yang satu ini. Karena itu, saya coba tulis ulang. Mohon maaf kalau ternyata menjadi dua kali entry di blog ini.  


“Bawakan aku seekor kera dewasa, dan aku akan membayarnya  seratus ribu rupiah per ekor, jangan lupa, bawakan sebanyak-banyaknya.”
Begitulah, ketika seorang pengusaha datang ke sebuah pulau kecil dengan penduduk yang miskin. Di pulau itu memang terdapat kera-kera liar yang sering mencuri hasil kebun masyarakat.
Minggu pertama, masyarakat menyetorkan seratus ekor kera. Semua dibeli dengan harga seratus ribu rupiah. Entah itu kera betina, jantan, sehat, ataupun sakit.
“Kemana Bapak kirimkan kera ini?” Tanya seorang petani ingin tahu.
“Pasar kera di luar sana sangat besar. Tak terbatas, berapapun yang engkau bawa”. Kata si pengusaha sambil menunjukkan kapal kecil yang penuh dengan peti-peti di atasnya. Kapal itu tiap sore berangkat dan kembali lagi pagi harinya....

Bulan kedua, populasi kera mulai menurun. Kera makin sulit diperoleh. Petani pencari kera mulai mengeluh.
“Baiklah, aku naikkan harganya menjadi tiga ratus ribu,” begitu kata sipengusaha

Bulan ketiga, makin susah memperoleh kera harga dinaikkan menjadi lima ratus ribu rupiah.
Bula ke enam, tak ada lagi kera bisa diperoleh. Pengusaha marah-marah.
“Kalau seperti ini, bagaimana bisa bisnis?” Teriaknya. Penduduk melongo, tapi tak bisa berbuat apapun. Membeli kera dari luar pulau terlalu jauh dan hitungannya dengan harga lima ratus ribu tak sebanding dengan biaya perjalanannya
“Baiklah, aku mau berlibur dulu. Selama sebulan ini, silahkan cari kera sebanyak-banyaknya. Nanti setelah liburan, aku akan naikkan harga kera menjadi dua juta rupiah perekor.  Ingat, dua juta rupiah ya... “

Pengusaha pergi berlibur. Penduduk makin melongo. Dua juta rupiah untuk satu kera, harga yang menakjubkan. Mereka hitung-hitung biaya perjalanan ke luar pulau, sewa kapal, bekal berburu dan sebagainya.
Tiba-tiba, pembantu si pengusaha datang. Berbisik-bisik tentang kera.
“Bagaimana kalau aku curi kera milik si pengusaha dan aku jual pada kalian 1 juta rupiah?”
Penduduk makin melongo. Dari pada keluar pulau, tawaran ini jauh lebih menarik. Ada keuntungan satu juta rupiah.  Mereka sepakat. Transaksi dilakukan. Ratusan kera berpindah tangan. Si pembantu berpesan ke penduduk, untuk tidak melapor apapun kepada majikannya, dan dia akan melarikan diri.
“Katakan pada majikanku nanti  bahwa aku tenggelam di laut, hilang,” begitu pesannya.
Sejak itu si pengusaha itu tak pernah kembali lagi.......

Friday, November 04, 2016

Penistaan Agama


Agama adalah tentang memahami asal muasal kita  dan menghargai kehidupan. Namun, sayangnya  kosa kata manusia yang terbatas menjadikan kita mengalami kesulitan dalam memahami kitab suci. Karena itulah, tidak seperti ilmu pengetahuan yang dilahirkan dari gagasan  manusia yang batasannya jelas, agama membuka ruang tafsir yang sangat besar. Di situlah akal budi kita berperan dalam proses memahami Tuhan.  Saya ingin mengutip Karen Armstrong, “Pengalaman tentang Tuhan harus diiringi oleh antusiasme lain, termasuk antusiasme akal”. Jelas sekali bahwa Tuhan memberikan kemampuan berpikir pada kita, agar kita pergunakan seluas-luasnya bagi kelangsungan kehidupan manusia yang lebih baik di bumi ini. Misalkan kita sakit, ilmu-ilmu kedokteran yang berkembang karena akal pikiran manusia, merupakan sebuah solusi yang kita ciptakan untuk mencari kesembuhan. Saya rasa, kita termasuk  mengabaikan perintahNYA, bila hanya mengandalkan doa memohon-mohon kesembuhan tanpa berpikir dan berbuat sebagaimana seharusnya dilakukan menurut ilmu pengobatan yang berasal dari akal pikiran manusia.

Tentu saja, Tuhan adalah realitas yang berbeda dari semua yang ada di alam semesta ini, tetapi, Dia bukan saja sekedar realitas yang berbeda. Kita ingin Dia hadir dalam wujud keseharian. Kita bisa menangis kepadanya, kita bisa mengadu, bahkan, kita bisa marah karena merasa Dia dihina. Karena itulah,  pertanyaan-pertanyaan filosofis, kita perlukan untuk mengaitkan keberadaan Tuhan dengan antusiasme lain di kehidupan kita. Inilah yang akan membantu kita memahami keberadaanNYA dalam kehidupan, sehingga bisa kita pahami, bahwa realitas tertinggi itu, tidak berbeda dan tidak terpisah dengan kehidupan kita sehari-hari.

Sebagai contoh, penciptaan alam semesta. Saya berkeyakinan, adalah sebuah kesalahan, bila risalah tentang penciptaan alam semesta itu, hanya dipahamai sebagaimana adanya seperti tertulis dalam kitab suci. Tuhan bukanlah sebuah wujud seperti yang ada di alam semesta ini, sehingga kita mungkin memahami penciptaan itu seperti manusia membuat sebuah roti dengan proses-prosesnya. Kisah penciptaan alam semesta bukanlah sebuah “kebenaran ilmiah” menurut nalar manusia, melainkan sebuah simbol tentang kemaha-kuasaan, meminjam istilah Karen Armstrong, “ungkapan simbolik tentang kebenaran spiritual dan psikologis”. Bayangkan, seperti seorang anak kecil menggambar rumah, lengkap dengan perabotan dan manusia di dalamnya. Dunia ciptaan Tuhan barangkali seperti itulah. Bagaimana mungkin “gambar” manusia di kertas  tersebut bisa memahami bahasa manusia yang menggambarkannya?  Kecuali bahwa pada saat menggambar, si anak kecil itu memberi warna, maka, di dunia kertas itu mereka akan mengenal warna. Apakah dengan pengenalan warna, katakanlah merah, yang mereka lihat di tubuh masing-masing itu, akan berarti bahwa anak kecil yang menggambar mereka juga berwarna merah.

Saya jadi ingat, di Madilog (Materialisme Dialektika Logika), Tan Malaka menulis  bagaimana kitab suci harus menggambarkan surga sebagai tempat hidup yang sangat indah. ( Fokus saya pada  cuplikan Madilog ini bukanlah pada makna buku itu secara keseluruhan, tetapi, tentang bagaimana sebuah kalimat Tuhan harus diterjemahkan ke dalam teks dengan kosa kata manusia, agar kitab suci dapat  dipahami dengan mudah). Bagi masyarakat yang hidup di padang pasir, surga tentu saja disimbolkan dengan air sungai yang jernih dan ruang hidup yang sejuk. Akan berbeda ceritanya bagi suku bangsa lain, yang memiliki kehidupan berburu, seperti suku indian, bagi mereka surga adalah padang buruan yang luas yang dipenuhi binatang buruan yang gemuk. Tuhan memudahkan manusia mehamami aturan main dengan membahasakan hukum-hukumnya ke dalam tata bahasa manusia. Seperti itulah kita memahami sang pencipta.

Karena “jarak” antara bahasa ketuhanan dan bahasa manusia harus diterjemahkan dalam tafsir, maka, kita tak pernah luput dari distorsi makna. Inilah yang menimbulkan perbedaan suatu kelompok dengan kelompok lainnya, meskipun sama-sama mengikuti kitab suci yang sama.
Seseorang yang mengaku bertuhan atau  beragama, tentu saja harus memenuhi dirinya dengan kehadiran Tuhan. Rasanya, tak ada satupun ajaran berketuhanan ini yang mengajarkan tentang kekerasan dan pemaksaan kehendak. Tuhan selalu membimbing kita untuk menemukan kebenaran, bukan kekerasan. Dan kebenaran itu, bisa berasal dari mana saja.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip salah satu pernyataan ilmuwan muslim yang dikenal  begitu toleran dengan pemikiran rasional terhadap Al Quran.  Adalah  Yaqub Ibn Ishak Al-Kindi, di tahun 800an masehi. Bagi Al Kindi, tugas para filosof adalah untuk mencari kebenaran dalam bungkus budaya atau bahasa apapun.

Kita tak usah malu meyakini kebenaran dan mengambilnya dari sumber manapun ia datang pada kita, bahkan walaupun seandainya ia dihadirkan kepada kita oleh generasi terdahulu dan orang-orang asing. Bagi siapa saja yang mencari kebenaran, tak ada nilai yang lebih tinggi kecuali kebenaran itu sendiri; kebenaran tidak pernah merendahkan atau menghinakan orang-orang yang mencapainya, namun justru mengagungkan dan menghormatinya

Jadi, siapakah yang menistakan agama?


Yogyakarta, 3 dan 4 November 2016, ketika demonstrasi penistaan agama merebak.



Monday, December 29, 2014

Marketing: Menjual Pengalaman


Dalam empat tulisan sebelumnya kita membahas bagaimana rencana bisnis dibuat. Banyak orang mampu membuat rencana dengan baik dan detail, namun, banyak orang yang tidak berani memulai langkah pertama. Pengusaha yang berhasil pasti mengalami jatuh.  Karena itu, kitapun harus siap menghadapinya. Persiapan yang paling aman adalah jangan menghabiskan seluruh tabungan  dalam memulai usaha, jadi bila gagal, masih ada kesempatan lain, masih ada waktu dan sumber daya untuk nmemperbaiki kesalahan.  Dan salah satu kiat untuk mencegah kegagalan, ada baiknya kita memahami tentang marketing mix, atau diterjemahkan menjadi bauran pemasaran.
Memasarkan produk, bukan sekedar menjual.  Kalau di awal-awal tulisan saya sempat mengulas tentang menghitung peluang pasar, sebenarnya itu adalah bagian dari kegiatan pemasaran.  Sebegitu luasnya pengertian pemasaran, bermula jauh sebelum kita membuat produk, bahkan sebelum kita menjalankan usaha hingga proses purna jual. Untuk mempermudah pemahaman dan memudahkan penerapannya pemasaran ini, para ahli  membagi-bagi kegiatan pemasaran tersebut minimal menjadi 4 kelompok, yaitu tentang produk, tentang harga (price), tentang tempat atau saluran distribusi (place), dan tentang promosi. Kesemuanya dalam dimulai dengan huruf “P”,  sehingga dikenal sebagai 4 P dalam pemasaran.
Kita akan bahas masalah tersebut satu persatu, namun sebelum masuk ke sana, perlu dipahami bahwa sukses sebuah usaha itu bukan  sekedar produk yang baik, harga yang murah, mudah diperoleh, dan program promosi yang tepat.  Banyak penjual makanan gagal, padahal  rasa masakannya sama dengan tempat lain. Ada warung makan di plosok yang susah dijangkau tetapi tetap dicari orang. Ada barang murah dengan kualitas memadai tapi tak laku. Lantas, apa yang menyebabkan suatu usaha berkembang dengan baik?
Pengalaman. Itulah kuncinya. Dalam transaksi pembelian, konsumen memperoleh pengalaman. Pengalaman buruk berdampak buruk, pengalaman menyenangkan akan berdampak baik. Makanan enak, harga murah, tempat mudah dijangkau, parkir mudah, tetapi, saat ingin bersantap, konsumen ini bertatap muka dengan kita, yang kebetulan sedang sakit gigi tak sedap dipandang, hilang selera makan pembeli ini. Satu pelanggan memperoleh pengalaman tak indah, berita menyebar ke seluruh dunia, lewat jejaring sosial.
Pengalaman kadang muncul dari hal-hal sederhana yang tak terpikirkan. Misalnya, entah karena kelalaian pegawai, ruang displai kita sedikit basah dan licin. Satu pelanggan datang, dan terpeleset. Berita itu menyebar begitu cepat. Awalnya, mungkin konsumen kita sekedar iseng mengunggah fotonya saat jatuh, karena kita telah meminta maaf dan sudah tak ada masalah lagi, namun, berita akan terreduksi pada setiap turunannya. Dan cerita yang paling seru , yang bisa menyebar “salah paham dengan konsumen, pemilik toko aniaya pembeli..”
Pengalaman, bisa berasal dari mana saja, bukan saja saat transaksi pembelian, bisa juga setelah pembelian, bisa juga hanya dari cerita orang.  Pengalaman bisa berasal dari produk secara fisik itu sendiri misalnya produk cacat. Pengalaman juga bisa berasal dari program promosi, misalnya, saat konsumen akan bertransaksi setelah membaca iklan kita, ternyata ada catatan kecil pada iklan yang dibuat tak mencolok, tak terbaca oleh konsumen, yang menjadi syarat berlakunya program promosi. Ini tentu saja mengecewakan pembeli.
Pengalaman konsumen  menjadi penting bagi pengusaha, karena itu, pengusaha harus memberikan pengalaman yang  “luar biasa” untuk dirasakan pembeli, sehingga mereka bersedia melakukan pembelian ulang, bahkan bersedia  “menjadi tenaga penjual sukarela”. 
Dalam konteks itulah, maka kita akan membahas 4 P dalam pemasaran pada tulisan minggu depan. Tetaplah bersama kami UKM Center Bank BPD DIY.
(dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Senin, 29 Desember 2014)

Wednesday, December 24, 2014

Good Governance: Hukum dan Etika


Saya pernah berseloroh pada sebuah diskusi tentang tata kelola yang baik. Terjadi beberapa tahun yang lalu, ketika regulator perbankan mengeluarkan berbagai kebijakan tentang tata kelola [Good Corporate Governance]. Saya katakan begini, makin banyak produk hukum di suatu negara, makin rendah peradaban penduduk negara tersebut. Tentu saja sebuah seloroh, tapi rasa-rasanya ini benar juga. Bayangkan, ketika semua harus diatur secara tertulis, bukankah itu dapat diartikan  banyak hal terjadi yang menimbulkan gesekan antar masyarakatnya. Sederhananya begini, menjadi aturan tidak tertulis, ketika ada tetangga yang mengalami musibah, maka kita akan sampaikan belasungkawa kita, bahkan mungkin bila itu sebelah rumah, kita akan batalkan acara perayaan ulang tahun anak kita, atau kalau di lingkungan rumah merangkap toko, kita akan ikut menutup toko. Tak ada aturan tertulisnya, karena, orang-orang menjalankan sesuatu dengan dasar saling menghormati. Derajat hukumnya mungkin lebih tinggi, yaitu etika, meskipun di sana tak ada ancaman kurungan. Mengapa saya katakan lebih tinggi? Karena etika mengatur “jiwa”, Yang dihukum bukan raga kita dengan hukuman kurungan atau denda tapi, jiwa kita, dengan hukuman rasa bersalah.
Etika adalah hukum tertinggi. Berasal dari kehidupan yang penuh peradaban, ketika manusia melakukan hal yang  benar bukan karena tekanan dari luar, tetapi, karena kesadaran jiwanya, bahwa kita harus berbuat benar.
Sekarang saya ingin mengaitkan etika ini dengan ketentuan tata kelola perusahaan yag baik, atau good corporate governance, yang akan saya ringkas saja dengan GCG.  GCG dalam industri perbankan di Indonesia adalah hukum tertulis, ada panduan ada kewajiban untuk melaksanakan, dan ada sanksi. Segala seuatu harus dilakukan dengan transparan, akuntabel [dapat dipertanggung jawabkan], dan adil, begitu saja kita ringkaskan.  Namun di dunia nyata, terutama di Indonesia, praktek-praktek bisnis kadang sulit bahkan dapat berbenturan dengan regulasi GCG ini. Kita tahu, menjamu relasi adalah bagian dari praktek bisnis, dan banyak perusahaan mengalokasikan biaya khusus untuk ini, tetapi menjamu yang seperti apa yang dapat kita anggap sebagai kegiatan yang tak bertentangan dengan praktek GCG?
Eksekutif perusahaan diberi fasilitas khusus untuk mengeluarkan biaya jamuan dengan relasi. Perusahaan menganggap  pejabat eksekutif adalah representasi perusahaan di lingkungannya. Itu sesuatu yang wajar, karena perusahaan yang memiliki reputasi baik, tak ingin wakilnya nampak hidup “menderita”. Bila kesan itu yang muncul, bisa jadi pelanggan membatalkan kontraknya, karena khawatir perusahaan dalam keadaan tak sehat.
Penjelasan bahwa pejabat eksekutif sebagai representasi perusahaan belum bisa menjawab pertanyaan, jamuan seperti apa yang pantas diberikan kepada relasi? Ada banyak diskusi tentang hal ini. Beberapa pengamat yang beraliran “GCG murni” mengatakan, harus dibuat aturan yang jelas agar tidak menimbulkan salah penggunaan. Pejabat eksekutif yang sangat berorientasi pasar, tentu akan berkata sebaliknya, kewenangan pengeluaran biaya representasi itu haruslah sangat fleksibel, karena dalam dunia bisnis ada wilayah abu-abu yang sulit untuk memenuhi persyaratan transparansi dan akuntabel sebagaimana diatur pedoman GCG.
Lantas, apa yang harus dilakukan? Saya akan kembali ke seloroh di atas, makin banyak aturan tertulis makin tak beradab rasanya kehidupan kita ini. Dari sudut pandang saya, ini adalah masalah etika. Rasanya, cukup dibuat aturan garis besar dengan kalimat singkat, “dana representasi tidak dipergunakan untuk menunjang gaya hidup pejabat eksekutif dalam keseharian yang tidak berhubungan dengan kinerja perusahaan”.  Apakah ukurannya? Etika. Siapa yang mengatur? Suara hati.
Rasanya tidak etis bila kita menjamu relasi atas nama perusahaan, tetapi tujuannya adalah  untuk memperoleh impresi  pada pribadi kita. Sulitkah? Tidak sama sekali, kecuali kita mematikan saluran suara hati.
Saya akan tutup tulisan ini dengan kutipan dari Jakob Oetama, “sukses tidak diraih dari cara-cara yang tidak etis”
Selamat menyambut tahun baru 2015, Allah memberkati setiap langkah kebaikan kita. 

Monday, November 17, 2014

Tentang Hujan Yang Lalu Tadi Malam

Sudah bukan Juni, jadi tiap hari mungkin hujan.
Seandainya saja aku punya waktu untuk memelukmu, dan seandainya saja engkau punya waktu untuk memelukku, mungkin aku tak perlu memandangi bayang-bayangmu yang berjatuhan di rumput-rumput liar.
Engkau lalu, meninggalkan bekas, basah yang dingin.
Perih yang dalam
Aku gagap
Sia-sia memelukmu