

Kerja keras dan berkarya, itulah takdir manusia. Pernahkah kita merenungkan apa yang kita lakukan? Bekerja, meninggalkan rumah setiap pagi hari, dimulai sejak kita mengenal sekolah. Untuk apa? Sekolah, belajar agar menjadi orang yang terpelajar, agar kelak memperoleh pekerjaan yang layak, agar kelak memperoleh penghasilan yang cukup. Pertanyaannya adalah, seberpa cukup?
Seorang ayah bekerja pagi sampai malam, demikian juga bunda? Apa yang kita cari? Bekal untuk anak kita? Bekal seperti apa? Karena, pada saat yang sama, kita telah merampas bekal yang lain yang harusnya milik mereka. Waktu untuk bercanda, waktu untuk mendampingi, waktu untuk mengajarkan etika dan budi pekerti yang baik, semua itu telah kita (para orang tua) habiskan di tempat kerja, hanya karena kita ketakutan tak mampu membekali anak-anak kita dengan bekal duniawi.
Pekerja yang bijak mengatur jadwal waktunya dengan baik, seperti yang dilakukan petani-petani yang "belum modern". Mereka tahu, kapan harus bekerja, kapan harus beraktivitas sosial. Mereka mengikuti jam alam, bukan dalam satuan 24 jam dalam sehari, tetapi dengan aturan yang sangat fleksibel. Ada subuh, ada tengah hari, ada sore hari, ada malam hari. Tak ada satuan yang eksak, karena mereka tak ingin diperbudak oleh waktu.
Menjelang panen, mereka tersenyum, karena telah memberi bekal yang utuh untuk anak-anak mereka