(Bali adalah tempat tinggal para dewa, karenanya sering dinamakan pulau dewata.........)
Tapi, cobalah untuk melihat Bali saat ini dengan mata hati kita?
Pernahkah kita meresapkan spirit dewata yang mulai pudar, tergantikan oleh keserakahan kapitalis. Mungkin ada yang salah di sana. Ketika keserakahan kapitalis mengajarkan kita untuk mengejar tumpukan uang, ketika hotel-hotel berbintang dibangun, ketika seribu turis mengejar seribu “kenikmatan”, dan ketika itulah sejuta makna kedewataan telah menghilang.
Disebuah kampung yang katanya mempertahankan bentuk asli rumah dan adat Bali, kopi bubuk dengan kualitas yang sangat diragukan, terbungkus dalam plastik berdebu ukuran 250 gram, ditempatkan lagi dalam sebuah wadah tempurung kelapa dengan buatan yang sangat kasar, dihargai Rp60.000,00 (dari $6?). Siapakah yang mengajarkan ini?
Kapitalisme telah hidup subur di sebuah desa adat. Di mana para dewa tersisa?
Kapitalisme telah mengajarkan masyarakat untuk menjual apa saja, demi setumpukan uang, bahkan harga diri sekalipun.
Suatu saat kelak, kita akan merenungi sebuah kenyataan, kemanakah para dewa berpindah?
No comments:
Post a Comment