Tuesday, June 05, 2007

Tentang Kebenaran

Ketika negeri binatang dilanda bencana, semua mengungsikan diri. Kura-kura adalah mahluk yang paling lambat, sehingga jiwanya menjadi sangat terancam. Beruntung, terdapat burung yang masih ingat akan kasih dan kebaikan.
“Kau akan kubawa terbang, tetapi aku harus menggigitmu dengan paruhku sepanjang perjalanan agar kau tak jatuh.”
“Oh... tidak, aku telah diajari ilmu manajemen risiko. Apa yang bisa memastikan aku bahwa engkau tidak akan membuka paruhmu saat perjalanan? Kalau kau lakukan itu sekali saja, aku pasti jatuh.”
“Well, terserahlah, aku hanya ingin berbuat baik, tapi, memang tidak semua mahluk percaya adanya kebaikan. Bukankah begitu? Nampaknya engkaupun tak percaya pada niat baikku.”
Oh... teman, engkau tak perlu tersinggung, aku hanya menjalankan prinsip kehati-hatian. Aku punya ide, bagaimana kalau aku yang menggigit kakimu selama perjalanan.”
“Tak masalah, meskipun itu mungkin membuat kakiku sakit, tapi aku ingin menolongmu, berbuat kebaikan bagi sesama mahlukNya. Ayo, gigitlah kakiku, Ingat jangan kau lepas gigitan ini selama kita terbang.”
Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan burung lain yang terkagum-kagum dengan ide cemerlang tentang penyelamatan kura-kura.
“Hai burung sahabatku, engkau sungguh mulia. Perbuatanmu menunjukkan kasihmu pada sesama umatNya. Idemu sangat cemerlang. Aku akan mencoba mengikuti jejakmu mencari kura-kura lain.” Sang burung menyapa mereka.
Kura-kura merasa sangat tersinggung, bukankah menggigit kaki burung adalah idenya? Mengapa si burung yang dipuji. Egonya mendorong untuk menyuarakan kebenaran.
“Hai bur........”
Kalimatnya tak terselesaikan, yang ada hanyalah ketakutan melayang dari ketinggian........

Kala kita menyatakan kebenaran, apakah yang mendorongnya? Ego untuk aktualisasi diri, ataukah murni mewartakan tugas kita sebagai umatNya? Dalam banyak hal, hanya ada batasan yang sangat tipis antara ego dengan tugas hidup kita. Ketika kita meneriakkan tentang betapa buruknya pemerintah menangani tranpostasi dengan lalu lintas kota yang selalu macet, apakah kita bicara tentang puluhan juta jiwa lainnya yang mungkin harus berjalan kaki di tengah jalan setapak yang licin untuk menuju sekolahnya? Atau kita sekedar berteriak betapa tidak nyamannya lalu lintas yang macet ini, meskipun kita duduk di sebuah mobil berpendingin udara dengan musik lembut yang tak berhenti?

Ketika kita bicara tentang pemerintahan yang bersih dan berwibawa, apakah kita berpikir tentang pemimpin dari lebih dari 200 juta umat manusia dengan segala penderitaannya, atau kita bicara tentang peluang pribadi untuk turut merasakan nikmatnya kursi kepemimpinan?

Ketika kita bicara tentang hak-hak masyarakat sipil dan kebebasan berbicara, apakah kita bicara tentang pembungkaman lebih dari 200 juta jiwa yang tertekan, atau kita bicara tentang peluang bisnis?

Ketika engkau menerangi dunia, apakah karena engkau ingin setiap manusia memperoleh cahayaNya, atau alam bawah sadarmu menginginkan agar setiap orang melihatmu sebagai gembala yang memiliki dan mampu memberikan terang? Apa bedanya? Yang pertama menggambarkan ilahiah sebagai pusat dari gerakanmu, sedangkan yang kedua menggambarkan engkau memanfaatkan ilahiah sebagai pemuas nafsumu.

2 comments:

Anonymous said...

didit,
ada orang berbuat baik dengan tulus, tapi ada juga berbuat baik dengan niat tertentu. Tapi di sisi positifnya, apapun yang diniatkannya, seseorang yang menerangi dunia tetaplah memberikan cahayanya untuk dunia.

Anonymous said...

Saya setuju berat dengan Sis. Di Jawa Barat orang membangun mesjid megah dengan kubah emas, apapun niatnya (biarkan Allah yang tahu), tetap saja itu sebuah mesjid yang dapat dipakai umat manusia