Tiba-tiba saja, potongan bait-bait puisi menyeruak ke dalam pikiranku. Entah kenapa, mungkin karena sedang mengalami suatu peristiwa yang menyakitkan dan tidak mampu dikendalikan. Mungkin juga merasa kehilangan teman teman yang menurutku bisa menjadi tempat bersandar pada saat mengalami kesulitan.
Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin.
Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.
Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga pada
sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut pada lokan,
mungkin akan tetap juga di sana – apa pun maknanya
Sebenarnya, mengapa kita harus selalu bertanya tentang apa dan mengapa? Bukankah lebih nyaman bila hidup ini diterima sebagai sebuah fungsi linear, yang didalamnya kita hanya larut pada variabel-variabel eksternal.
Potongan puisi di atas milik Goenawan Mohamad berjudul Pada Sebuah Pantai: Interlude. Judul ini sendiri kemudian mengembangkan dalam imajinasi dan mengingatkan pada novel Dini yang aku baca ketika SMP dulu, “Pada Sebuah Kapal”. Untuk koleksi puisi, masih dapat ditemukan pada buku “Puisi Pilihan Goenawan Mohamad”. Sebuah kumpulan puisi yang dipilih dan diedit oleh Laksmi Pamuntjak. Sedangkan “Pada Sebuah Kapal”, telah hilang entah kemana.
Pada Sebuah Pantai: Interlude[1]
Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil.
Yakni ketika pasang berakhir, dan aku menggerutu”masih tersisa
harum lehermu”; dan kau tak menyahutku
Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,
Hijau (mungkin kelabu)
Angin amis. Dan
di laut susut itu, aku tahu,
tak ada lagi jejakmu
Berarti pagi telah mengantar kau kembali, pulang dari sebuah dongeng
tentang jin yang memperkosa putri yang semalam
mungkin kubayangkan untukmu, tanpa tercatat, meskipun pada
pasir gelap
Bukankah matahari telah bersalin dan
melahirkan kenyataan yang agak lain
Dan sebuah jadwal lain?
Dan sebuah ranjang & ruang rutin, yang
Setia, seperti sebuah gambar keluarga
(dimana kita, berdua, tak pernah ada)?
Tidak aneh.
Tidak ada janji
pada pantai
yang kini tawar
tanpa ombak
(atau cinta yang bengal)
Akupun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,
berberes dalam sebuah garis dan berkata: “Mungkin tak
ada dosa, tapi yang ada percuma saja.”
Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil
Dan itulah soalnya.
Dimana ada keluh ketika dari pohon itu
mumbang jatuh seperti nyiur jatuh dan
ketika kini tinggal panas & pasir yang
bersetubuh
Dimana perasaan-perasaan memilih artinya sendiri,
Dimana mengentara bekas dalam hati dan kalimat-
kalimat bisa berlarat-larat (setelah
semacam affair singkat), dan kita menelan ludah sembari berkata: “Wah, apa daya.”
Barangkali kita memang tak taramat berbakat untuk
menertibkan diri dan hal ihwal dalam soal seperti ini.
Lagi pula dalam sebuah sajak sentimentil hanya ada satu
dalil: biarkan akal yang angker itu mencibir.
Meskipun alam makin praktis dan orang-orang telah memberi
tanda DILARANG MENANGIS
Meskipun pada suatu waktu, kau tak akan lagi datang
padaku.
Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin.
Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.
Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga pada
sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut pada lokan,
mungkin akan tetap juga di sana – apa pun maknanya
[1] Goenawan Mohamad
No comments:
Post a Comment