Apakah yang terjadi apabila mereka yang pernah belajar ilmu ekonomi berkumpul dengan latar belakangnya masing-masing dalam sebuah diskusi tentang krisis keuangan saat ini? Berbagai pendapat dan berbagai asumsi. Itulah ilmu ekonomi. Ilmu tentang model dengan asumsi dan faktor error yang tidak dapat diukur oleh model. Namun ada hal yang berbeda ketika ada diskusi internal pengurus ISEI Yogyakarta membicarakan krisis keuangan yang saat ini terjadi. Nampaknya para ekonom semakin menyadari adanya sesuatu yang tidak terjelaskan dalam model (faktor error) dapat berpengaruh besar dalam pembangunan ekonomi. Setidaknya, ekonom yang mengikuti diskusi sekaligus syawalan pengurus ISEI Yogyakarta tersebut sepakat untuk mengatakan bahwa pembangunan ekonomi memerlukan model yang lebih memadai untuk memahami perilaku manusia. Model ekonomi yang selama ini menganggap manusia rasional nampaknya perlu diperbarui.
Saya sendiri sependapat dengan pandangan seperti ini. Ilmu ekonomi pembangunan nampaknya melupakan pendekatan perilaku manusia. Apakah ini berarti ilmu ekonomi harus digabungkan dengan ilmu budaya dan disiplin psikologi? Mungkin sekali. Nampaknya ekonom memiliki pekerjaan rumah baru, yaitu mendefinisikan terminologi manusia rasional. Dulu, saat mempelajari konsep utilitas, mahasiswa ekonomi diberi contoh tentang makan dan minum yang pada suapan atau tegukkan pertama terasa sangat nikmat, sehingga nilai utilitasnya tinggi dan menimbulkan kepuasan yang tinggi. Ketika memasuki tegukkan berikutnya, nilai kepuasan makin turun, karena manusia sudah tidak sehaus sebelumnya. Perbedaan utilias dan dengan demikian berarti perbedaan kepuasan tersebut dinamakan marginal utilitas. Marginal utilitas ini makin menurun bahkan dapat mencapai negatif apabila dahaga telah hilang, tetapi kita terus minum. Yang muncul adalah rasa tidak nyaman di lambung. Puncak kepuasan manusia adalah ketika marginal utilitas mencapai titik nol. Inilah pengertian rasionalitas dalam model ekonomi yang selama ini dipelajari.
Seandainya manusia seperti ini, maka tidak akan ada krisis ekonomi. Masalahnya, manusia tidak sekedar terpuaskan secara fisik. Manusia ternyata bukan sekedar mahluk rasional yang mengkonsumsi secukupnya. Kekayaan serupa air garam, yang tak pernah memuaskan dahaga. Manusia tak pernah cukup. Keserakahan menjadi motif bertransaksi (bukan kekayaan).
Akhirnya, untuk menutup, saya ingin mengutip makalah Edy Suandi yang disajikan dalam diskusi tersebut, “ kondisi ekonomi dunia yang saat ini tengah menghadapi krisis keuangan global telah banyak menyebabkan persoalan bagi ekonomi dunia. Hal ini merupakan akibat dari fondasi dasar dan paradigma keilmuan yang mendasarinya dipraktekkan bersebarangan dengan nilai kemanusiaan dan mengingkari sejumlah ideologi dasarnya ........... Oleh karena itu meluruskan kembali ilmu ekonomi agar sesuai dengan filosofi dan realitas kehidupan manusia menjadi urgen dilakukan.......
Waktunya untuk melihat realitas keserakahan manusia, dan waktunya untuk mengembangkan pendekatan ekonomi yang mau tidak mau harus membatasi keserakahan tersebut. Itulah tugas ekonom saat ini.
No comments:
Post a Comment