Berapa Desember yang lalu dalam ingatan? Tak membekas keharuman bumi yang terhiaskan bunga-bunga putih, itu layu tanpa pernah sempat terengkuhkan
Mungkin itu bukan bunga yang putih, karena seandainya putih datang, bukankah kita bisa memandangnya dalam sunyi yang suci?
Hanya sepotong bunga hutan yang dipetik oleh sekumpulan peri di tengah malam, yang kemudian meninggalkannya begitu saja, tanpa pernah berpikir untuk apa dan mengapa.
Lalu Adampun datanglah bersama perempuannya, melihat potongan bunga hutan – apapun namanya, itu lebih suci dari pada tebaran melati yang telah dipegang oleh tangan-tangan kotor dibungkus mantera para dewa.
Ada yang melengkingkan kalimat yang tak henti memukuli gendang di telinga, ”Januari mengeras di tembok itu juga, lalu Desember..”[1]
Entah berapa Desember lagi, mungkin peri itu akan datang nanti malam, mengambil kembali bunga hutannya yang tergeletak – maka ambillah sekarang.
Sembunyikanlah di dalam jiwamu yang paling dalam, karena bunga itu mungkin kelak akan menjadi lebih putih dari kuntuman melati yang ditebar dan diinjak-injak oleh para tamu. Tak akan ada yang pernah tahu.
[1] Sapardi Djoko Damono, Buat Ning, musikalisasi puisi oleh Dua Ibu
No comments:
Post a Comment