Monday, November 10, 2008

Budi Darma

Lama sekali saya tidak marasakan kelezatan santapan rohani dari Budi Darma. Terakhir saya membaca novelnya mungkin sekitar tahun 1996, saya lupa persisnya, yaitu Nyonya Talis. Dulu saya selalu menunggu munculnya karya baru beliau, karena selalu menyisakan “rasa” yang tak seketika hilang. Budi Darma selalu menyisakan pertanyaan yang membuat hati kita miris di setiap akhir petualang dengan tulisannya. Biasanya beliau menulis dengan tokoh aku, yang merupakan manusia biasa dan seringkali penuh kekurangan. Inilah yang jarang dimiliki penulis lain. Di Indonesia, tokoh aku yang manusia biasa dan pragmatis sering juga muncul di novelnya Dini (NH Dini). Tapi, agak berbeda dengan Budi Darma, Dini, mungkin karena keperempuanannya (karena sifat empu – nya) sering menyajikan sifat pragmatis dan kelemahan ini dengan sangat halus.
Budi Darma lebih lugas. Disinilah menariknya. Budi berani menampilkan tokoh-tokoh pengecut, serakah, main kayu, lepas tanggung jawab, dan karakter gelap lainnya, yang mengakui setiap kelemahan, kepengecutan, dan keculasan yang dimilikinya. Ini seperti cermin diri kita, tetapi bedanya kita jarang mengakui kepengecutan dan keculasan kita.
Kita yang selama ini menutupi diri dengan kosmetik sopan santun dan tutur bahasa yang lembut, seolah ditelanjangi dan hanya bisa termenung membaca tulisannya.
Bulan September lalu, satu lagi kumpulan cerita pendek Budi Darma diterbitkan. Judulnya Laki-laki Lain Dalam Secarik Surat. Merupakan kumpulan cerita terbaik. Sayang sekali tidak ada pengantar penerbit mengenai pengertian kumpulan cerita terbaik tersebut, atau terbaik menurut siapa dan apa kriteria pemilihannya, siapa saja yang terlibat dalam pemilihan. Tapi itu hanyalah masalah teknis.
Terbitnya kumpulan cerita ini, mengingatkan kembali pada koleksi lama dan perenungan-perenungan lama yang mulai pudar. Seolah mengasah pisau nurani yang mulai tumpul. Coba kita simak salah satu percakapan dalam Secarik Surat berikut:

Dan sebagai layaknya seorang bawahan yang paling rendah bertemu dengan seorang atasan yang paling tinggi dan sangat dihormati dan dikagumi maka prajurit itupun memberi hormat yang berlebihan-lebihan sehingga untuk sekilas jendral tertinggi yang terlalu sering menerima sanjungan itu merasa kurang senang....

Bukankah ini cerminan kita? Pada saat menghadap atasan, berupaya membuat kesan luar biasa dengan penghormatan yang bahkan berlebihan? Atau sebaliknya, pada saat staf menghadap, kita merasa seolah tak senang dengan penghormatan yang berlebihan, meskipun, dalam hati kita ada kebanggaan sebagai atasan yang terhormat?
Atau coba kutipan berikut, masih dari cerita yang sama:

“Hai Prajurit, untuk apakah kau ikut perang?” kata jenderal.
“Tidak tahu, Jendral,” kata prajurit. “Saya kira karena dalam keadaan seperti ini mencari pekerjaan yang mudah adalah mencari pekerjaan sebagai prajurit. Lagi pula saya masih muda dan merasa senang mendapat kesempatan untuk memanggul senapan dan sekali tempo menembakkan senapan untuk menunjukkan bahwa saya betul-betul jantan.”

Budi Darma menyeruak hati kita dengan pertanyaan seberapa besarkah idealisme serorang manusia? Apakah “prajurit” selalu identik dengan patriotisme membela negara? Ada perut yang memerlukan makanan dan ada ego yang memerlukan pengakuan. Itulah manusia, dan Budi Darma mengingatkan kita akan itu.

No comments: