Monday, June 06, 2011

Marginal Utility

Salah satu konsep penting yang diajarkan pada mahasiswa jurusan ekonomi adalah “marginal utility”. Secara sederhana, ini berarti penurunan nilai manfaat, karena terpenuhinya kebutuhan. Contoh yang paling mudah adalah rasa haus atau lapar. Ketika tenggorokan berasa kering dahaga, tegukkan pertama minuman terasa sangat bermanfaat. Pada tegukan kedua, manfaatnya mulai kurang, ketika rasa haus sudah terobati, orang tak lagi mau minum, karena akan menimbulkan rasa tak nyaman pada perut.
Orang-orang ekonomi mempelajari tentang kebutuhan, bukan keinginan. Ada perbedaan yang sangat besar dalam pemahamannya. Kebutuhan manusia berbatas, tetapi keinginan manusia tak ada habisnya. Tuhan menyebutkan, bila kau jadikan seluruh samudra sebagai tinta untuk menulis nikmat yang Aku berikan pada manusia, tinta itu tak akan cukup. Itu kalau manusia berbicara tentang kebutuhan. Namun, yang muncul adalah keinginan, maka berlakulah yang sebaliknya, jika seluruh samudra dijadikan tinta tak akan cukup untuk menulis seluruh keinginan manusia...
Orang ekonomi juga memperkenalkan konsep kelangkaan. Semua barang dan jasa menjadi berharga karena kelangkaannya. Konsep kelangkaan mengubah nilai barang menjadi berharga secara ekonomi. Puluhan tahun yang lalu, air tidak termasuk barang yang langka, maka dalam pelajaran ekonomi di sekolah, air dan udara merupakan contoh barang bebas. Tapi, orang-orang dari disiplin ilmu manajemen memanfaatkan konsepsi kelangkaan ini untuk meraih keuntungan yang di atas normal. Bagaimana caranya? Ahli manajemen pemasaran mengubah pola pikir manusia dari fase kebutuhan meningkat menjadi keinginan. Penambahan merk tertentu dan kemasan tertentu telah mengubah fungsi air minum dari kebutuhan menjadi keinginan. Obat-obat generik sama baiknya dengan obat bermerk, namun, orang lebih percaya pada obat dengan merk tertentu dan bersedia membayar mahal untuk itu.
Manusia membutuhkan mobil untuk sarana transportasi agar tidak kehujanan atau kepanasan, agar dapat mengangkut seluruh keluarga dengan satu kali perjalanan. Tetapi kebutuhan akan mobil telah diubah menjadi keinginan akan merk dan jenis mobil tertentu. Kemasan mobil dan merknya telah menjadikan konsepsi marginal utility tak berlaku lagi. Selalu ingin mobil yang terbaru dengan berbagai tambahan fitur mewahnya sejalan dengan peningkatan penghasilan. Banyak orang menjadi bangga dengan koleksi mobil yang dimilikinya.
Manusia membutuhkan tas kerja untuk mengangkat berkas-berkas pekerjaan, tetapi, bagi sebagian banyak orang, tas kerja harus memiliki merk tertentu. Tak mudah membayangkan seorang eksekutif sebuah bank akan membawa ransel seharga seratus ribuan untuk membawa berkas pekerjaan, notebook, serta beberapa potong pakaian ganti ketika bertugas keluar kota. Mereka mungkin memakai ransel, tetapi ada sepotong merk dagang yang menunjukkan asal ransel itu dari sebuah rumah mode terkenal dan pastilah mahal.
Wakil rakyat kita butuh sarana komunikasi, tetapi, apakah kebutuhan biaya komunikasi itu mencapai belasan juta rupiah per bulan? Apakah ini kebutuhan atau hanya sebuah keinginan? Demikian pula dengan gedung ruang kerja mereka. Apakah kolam renang merupakan kebutuhan atau sekedar keinginan?
Di tempat kerja, kadang-kadang kita mengajukan anggaran berbasis keinginan bukan kebutuhan. Bagian kehumasan dan dokumentasi mengajukan anggaran pembelian kamera mengacu pada kamera canggih keluaran terakhir yang mahal. Padahal keperluan dokumentasi tersebut dapat terpenuhi hanya dengan kamera saku digital. Keinginan mendominasi penyusunan belanja perusahaan, bukan kebutuhan.
Orang-orang periklanan yang biasanya berlatar belakang ilmu manajemen, komunikasi, dan psikologi sangat paham bagaimana menggeser kebutuhan menjadi keinginan, atau lebih tepatnya, menghilangkan kesadaran dalam diri sehingga keinginan seolah-olah menjadi sebuah kebutuhan. Para jenius pembuat iklan telah menyihir kita. "Anda membutuhkan Prada, atau Louis Vuitton, karena begitulah seharusnya Anda", demikian bahasa iklan yang mereka pakai.
Ilmu ekonomi dan manajemen telah disalahgunakan untuk meraup laba sebesar-besarnya. Banyak orang terjebak dalam perangkap hutang karena mengkonsumsi “kebutuhan” yang tak ada habisnya dengan kemudahan fasilitas kartu kredit. Pada wajah yang lain, kita melihat masyarakat yang mengais sampah, yang tidur di rumah kardus, yang mengkonsumsi makanan tak layak, yang tak mendapat kesempatan bersekolah, bahkan yang sama sekali tak punya harapan hari esok. Seperti inikah yang dibayangkan para pemikir ekonomi? Rasanya tidak. Konsep marginal utility jelas-jelas mengajarkan kita untuk memenuhi kebutuhan, bukan keinginan. Ada makna keadilan dalam konsep tersebut. Dalam agama, bukankah kita juga selau diajarkan untuk “tidak berlebih-lebihan”.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip Stiglitz, kutipan yang selalu saya pakai ketika bicara tentang pembangunan yang berkeadilan. Begini: “Pembangunan bukanlah membawa masuk Prada dan Benetton, Ralph Lauren, atau Louis Vuitton untuk masyarakat kota yang kaya dan membiarkan kaum miskin di pedesaan tetap dalam penderitaan.”

No comments: