Diskusi lebih dari tiga jam dengan seorang sahabat lama sungguh menarik. Karenanya, sayang bila materi diskusi itu tidak disebarkan kepada teman-teman. Ini sekedar gagasan yang mungkin bisa saja tidak sejalan dengan pemikiran teman-teman lain, tetapi, setidaknya ini akan menambah wawasan akan adanya sudut pandang yang berbeda dalam memahami sesuatu. Ini diskusi tentang syahadat.
Apakah syahadat itu? Teman saya mengajukan pertanyaan retoris, tapi tetap saja saya ingin menjawabnya. Saya mengucapkan syahadat sebagai persaksian bahwa saya meyakini keberadaan Allah, yang menciptakan langit dan bumi serta Muhammad sebagai sang rasul. Begitu jawab saya.
Teman saya, lantas bertanya kembali, mengapa engkau berani bersaksi tentang keberadaan Allah dan Muhammad, padahal engkau tak pernah bertemu dengan Muhammad, apalagi Allah?
Terus terang, saya tak dapat menjawab pertanyaan ini. Masalah kesaksian ini, bagi saya hanya sebuah kebenaran mutlak yang harus saya terima tanpa pertanyaan, begitulah yang diajarkan orang tua dan guru-guru saya.
Teman saya kemudian mencoba menguraikan kebingungan saya. Kesaksian tanpa menyaksikan pastilah sangat lemah. Seperti di pengadilan, seorang saksi sering diragukan kesaksiannya, karena jarak pandang yang jauh. Semakin dekat jarak pandang, maka makin pasti seseorang akan kesaksiaannya. Makin jauh jarak pandang, makin mudah pihak lain mengintimidasinya dengan keragu-raguan atas kesaksian yang dibuat. Begitulah hukumnya.
Kesaksian seseorang akan Allah dan Muhammad tentu saja sangat berbeda antara satu dengan yang lain, uraian sang teman ini dilanjutkan. Bagi Muhammad yang telah mengalami pertemuan langsung maupun tidak langsung dengan Allah, maka pastilah kesaksiannya akan sempurna. Atau kesaksian sabahat-sahabat Muhammad, yang berdiskusi langsung dengan Sang Rasul, tentulah mendekati sempurna. Tapi, kesaksian kita yang tidak mengalami interaksi langsung dengan Sang Rasul apalagi Sang Pencipta, tentu saja sulit untuk mendekati sempurna.
“Lantas, bagaimana agar aku bisa setidaknya makin menyempurnakan kesaksianku?”, tanyaku pada sang sahabat ini.
Sang sahabat menunjukkan sebuah batu berwarna putih cemerlang, tetapi tidak bening. Dia mengatakan serupa itulah hati kita [maksudnya tentu saja akal pikiran yang ada pada otak kita]. Kalau engkau terbiasa menjernihkan hati [pikiranmu], maka setiap pancaran sinar akan menembusnya, serupa kebeningan tanpa ada penghalang apapun. Kalau kebeningan itu telah engkau dapatkan, maka, engkau akan mampu memandang apapun dengan mata hatimu. Apapun yang kau pandang dengan mata hatimu itulah yang akan membawa perjumpaanmu pada Sang Pencipta. Ketika engkau memandang seekor semut, mengamati bakteri dengan mikroskop, memandang gunung, menikmati bintang, bahkan, memandang pada dirimu sendiri, apapun yang kau pandang, bila mata hati yang kau gunakan, maka engkau akan bertemu Allah.
Jadi, engkau bisa meningkatkan kesaksianmu dengan pasti bila mata hatimu digunakan dan dibersihkan secara terus menerus.
Setelah menyampaikan uraiannya, sahabat ini menyerahkan batu putih cemerlang tadi, sambil berpesan bahwa batu ini akan menguatkan kesaksianmu. Aku bertanya-tanya, bagaimana sebuah batu akan menguatkan kesaksianku akan Allah dan Muhammad? Seperti membaca pikiranku, sahabat ini menjelaskan bahwa batu itu tidak memiliki kesaktian apapun, kecuali, bila engkau ingin memandangnya dan memahaminya sebagaimana yang dia jelaskan sebelumnya. Batu itu hanya akan mengajakku untuk mengingat, bahwa hati yang bersih akan memendarkan cahaya ke setiap wujud yang ingin dilihat, sebagaimana Allah melihat dan mengetahui. Jadi, ketika engkau memandang batu itu, atau menggunakannya sebagai sebuah cincin, pandanglah dengan hatimu, bahwa sang batu diciptakan Allah untuk mengingatkan kita akan kebeningan, dengan demikian engkau akan menjernihkan pikiranmu. Dari situ, engkau akan semakin yakin dengan kesaksianmu. Itulah kekuatan sang batu
No comments:
Post a Comment