Monday, July 30, 2012

Perbankan Syariah [bagian 1]

Hasil dari tangan tak terlihat [invisible hand] itu, memang tak akan pernah terlihat, karena memang tangan itu tak pernah ada.

Begitu yang disanpaikan Stiglitz atas ekonomi kapitalis. Konsepsi ekonomi kapitalis adalah pemilik modal melakukan investasi dan meciptakan lapangan kerja. Distribusi kekayaan dilakukan dengan pola tetesan air dari atas. Persaingan akan mendorong efisiensi usaha sehingga harga-harga menjadi murah dan kualitas meningkat. Sebuah “tangan” yang tak terlihat akan mengatur proses tersebut. Tapi, puluhan tahun setelah Adam Smith menyatakan tangan tak terlihat, hasilnya bisa kita lihat, sampai sekarang keadilan semakin jauh. Perekonomian meningkat, tapi kesejahteraan dan keadilan makin menjauh.

Sebagian ekonom yakin akan adanya sesuatu yang salah dari teori ekonomi kapitalis. Bahkan Keynesian, dengan lantang mengatakan “dalam jangka panjang, orang-orang akan mati”, untuk membantah ekonom pasar bebas yang sangat yakin bahwa kesejahteraan dan keadilan ekonomi memerlukan waktu.

Pemikiran ekonomi Islam kemudian muncul seolah menjadi solusi terbaik keadilan dan kesejahteraan ekonomi. Maka digagaslah model pembangunan ekonomi berbasis Islam, termasuk di dalamnya perbankan syariah. Dengan perbankan syariah, setiap orang memiliki kesempatan untuk melakukan investasi, setidaknya investasi bersama-sama dengan pola bagi hasil.

Esensi utama dari perbankan syariah yang ada saat ini adalah “akad” dalam konsep bagi hasil. Ekonomi Islam tidak mengenal pinjaman untuk melakukan kegiatan usaha. Yang dikenal adalah konsep kerja sama. Tetapi, ini bukan berarti dalam ekonomi islam tidak terdapat pembelian secara angsuran. Pembelian barang secara angsuran tetap ada.

Contoh berikut akan mempermudah penjelasan. Bila ada peluang membuka sebuah toko sepeda motor yang memerlukan modal awal [investasi] senilai 100 juta rupiah sedangkan kita hanya memiliki uang 40 juta rupiah, maka dalam konsep ekonomi syariah, tak ada sistem meminjam uang sebanyak 60 juta. Yang ada adalah memberi kesempatan pihak lain untuk turut serta dalam kegiatan tersebut dengan share sampai 60 juta rupiah. Di perbankan konvensional, kita meminjam uang, di perbankan syariah, kita mengajak teman-teman yang dikoordinisaikan oleh bank syariah untuk menanamkan modal. 
Tetapi, menjual sepeda motor dengan angsuran adalah hal yang berbeda. Dalam hal seperti ini, layaknya penjualan lain, kita boleh menjual dengan angsuran dan menambah margin tertentu atas harga jual tersebut. Berbeda dengan bunga, margin tidak boleh berubah selama jangka waktu angsuran. Itu unsur kepastiannya.

Sekarang, kembali ke cerita tentang investasi. Apabila kegiatan perdagangan sepeda motor yang dilakukan bersama-sama tadi berhasil memperoleh laba, maka laba akan dibagi kepada seluruh pihak yang terlibat, termasuk bank, dengan konsep bagi hasil. Bila laba, bisa berbagi hasil, bagimana bila terjadi kerugian? Tentu saja kita berbagi risiko [kerugian].

Itu gambaran ideal dari sebuah perbankan syariah. Apakah itu sudah berjalan? Belum untuk saat ini, tapi setidaknya kita menuju kesana. Sulit membayangkan bahwa nasabah yang menanamkan dananya ke perbankan syariah akan mau menerima kenyataan bahwa investasi yang mereka lakukan mengalami kerugian. Ini sama sulitnya dengan pihak perbankan syariah untuk melihat proses bisnis dan pencatatan yang mendetail dari pengusaha yang menjadi sponsor utama proyek tersebut. Akibatnya, sambil menuju kesempurnaan, saat ini perbankan syariah masih bersedia menanggung kerugian yang terjadi pada nasabah, dengan menyebutkan rasio bagi hasil atas penanaman dana nasabah di bank tersebut. Dengan skema ini, hampir dapat dipastikan, nasabah penabung [sahibul mal] tidak akan mengalami kerugian. Mengapa bisa demikian? Karena perbankan syariah mengelola dananya dengan pola “pool” dana, bukan portfolio investasi individual. Artinya, demi kemaslahatan bersama, maka seluruh pendapatan [keuntungan] akan dihitung lebih dulu oleh bank, kemudian atas keuntungan tersebut, seluruh nasabah memperoleh hasil dengan rasio bagi hasil tertentu.

Apakah pola di atas telah benar-benar syariah? Tidak ada yang absolut di dunia ini. Tetapi, kami yang berkecimpung di dunia perbankan syariah setidaknya yakin dan selalu berupaya untuk menuju kesempurnaan. Meskipun yang sempurna dan absolut itu hanya milik Allah.

Hal penting lain, perbankan syariah bukanlah kegiatan dakwah, tetapi adalah sebuah konsep ekonomi yang memenuhi persyaratan hukum Islam. Jadi, perbankan syariah bukanlah untuk orang Islam saja. Di beberapa negara eropa dan juga mungkin di beberapa bank syariah di negara kita, terdapat eksektuif yang non muslim. Karena esensi yang ditawarkan perbankan syariah adalah sistem, bukan agama. Sistem yang tidak bertentangan dengan agama Islam. Siapapun yang tertarik dengan sistem tersebut, maka dia boleh menjadi nasabah. Di Inggris, perbankasan syariah berkembang pesat dengan lahirnya HSBC Amanah, sebelum perbankan syariah di Indonesia berkembang. Saya sendiri termasuk yang tidak begitu setuju bila sistem perbankan ini dikait-kaitkan dengan atribut keagamaan. Itu dua hal yang sangat berbeda.

Semoga penjelasan ini bisa memadai bagi teman-teman......

No comments: