Pengantar
Ada sebuah buku
yang menarik dan menginspirasi saya dalam bekerja, KEBAHAGIAAN YANG MEMBEBASKAN.
Gede Prama yang menulisnya, seorang yang memilih jalan kebahagiaan dari dalam
diri sendiri setelah menyadari keberhasilan demi keberhasilan yang diraih dari
luar diri tidak mengarahkannya memasuki jalan kebahaagiaan yang “membebaskan”. Dalam renungan kita kali inipun, saya ingin berbagi sekaligus menguatkan diri sendiri, tentang jalan kebahagiaan ini . Setelah lebih dari 20 tahun bekerja rasanya saya masih belum menemukan jalan kebahagiaan dalam pekerjaan saya. Ada sesuatu yang belum saya peroleh. Mengapa? Bukankah semua sudah diraih, karir yang tak terlalu jelek, dan penghasilan yang cukup, apa lagi yang saya cari? Setiap hari saya pulang kerja dengan keluh kesah rasa lelah, bukan hanya lelah fisik, tetapi lelah jiwa. Bahkan pada puncak kelelahan itu, saya mengalami gangguan kesehatan yang sudah memasuki tahun ke empat, belum pulih seperti sedia kala.
Kalau kita baca buku-buku teks manajemen atau buku teks tentang pengembangan kepribadian, seseorang harus menuliskan tujuan hidupnya lebih dulu agar bisa meraih kepuasan dalam bekerja. Mengapa bekerja, apa yang ingin diraihnya dengan pekerjaan tersebut, dan sebagainya, seperti itulah yang diajarkan. Dan saya mengikuti anjuran buku-buku itu, menuliskan sasaran-sasaran saya bekerja, membuat evaluasi setiap periode tentang pencapaian angan-angan saya itu. Tapi, ternyata itu belum membahagiakan juga. Pasti ada yang salah dengan diri saya, atau pasti ada yang salah dengan cara saya memahami buku tersebut, karena rasanya tak mungkin buku itu salah. Kalau salah, tak mungkin menjadi “best seller”.
Saya akan sedikit menyimpang lebih dulu dan bicara tentang buku pengembangan kepribadian. Buku-buku teks semacam itu serta buku manajemen strategik, saat ini membanjiri rak-rak terdepan pada setiap toko buku, dan selalu menjadi best seller. Ketika, suatu saat saya diberi tugas untuk melakukan wawancara awal bagi calon pegawai perusahaan kita, saya bertanya kepada setiap peserta tentang buku yang mereka baca. Sembilan puluh lima persen calon pegawai mengatakan buku-buku tentang pengembangan kepribadian atau buku manajemen strategik sebagai buku favorit. Kebanyakan mereka menyebut “7 kebiasaan yang efektif”, atau “Blue Ocean Strategy”. Apakah mereka salah menjawab? TIDAK. Apakah mereka sukses dalam bekerja? Kemungkina besar YA. Tapi, apakah mereka bahagia? ENTAHLAH
Kinerja yang
Baik, Apakah Bahagia?
Pengembangan
kepribadian pegawai melalui buku dan training, maupun pengembangan karir
pegawai dengan sistem yang dibuat manajemen, semuanya berbasis kinerja. Tentu
saja tak ada yang salah, memang begitulah seharusnya. Bagaimana kita akan maju,
kalau kita mengembangkan karir berbasis non kinerja, misalnya basisnya adalah
kemampuan melayani atasan, tentu dampaknya akan parah, dan kompetisi para
pegawai bukan pada pencapaian target, tetapi bagaimana membawakan tas atasan,
membukakan pintu mobil, mengirimi makanan kesukaan atau mengajak makan siang. Saya sepakat, ukuran keberhasilan pegawai
adalah kinerja, kontribusinya terhadap perusahaan.
Kebanyakan kita
sebagai manusia lebih banyak menunggu, bereaksi setelah sesuatu terjadi. Ketika
merasa tak nyaman tak bahagia di tempat kerja, kita bereaksi. Reaksi yang
paling sederhana, menceritakan ketidaknyamanan ke orang lain, menulis status di
jejaring sosial. Reaksi yang agak positif, mencari lahan pekerjaan lain, dan
rekasi yang ekstrim, melakukan “mogok “ kerja.
Mogok kerja bukan dalam artian seperti pemogokan buruh dengan berbagai
orasinya, tetapi mogok kerja dengan sama sekali tak peduli dengan pekerjaan.
Badannya tetap bekerja, tetapi tanpa jiwa. Tubuhnya hadir, tapi hatinya tak
pernah bersama-sama dengan yang lain dalam satu tim. Saya sangat yakin, orang yang mogok kerja
seperti ini pastilah tak merasa bahagia.
kemudian aku cuma liwatdan hari lari
dan kau tak ada lagi.
[Goenawan Mohamad]
Memahami Kebahagiaan
Dengan perilaku proaktif, hampir dapat
dipastikan kita akan memperoleh kinerja kerja yang baik. Karena sifat proaktif
menjadikan kita selalu siap sebelum segala sesuatu terjadi. Dan disertai
keberuntungan, kitapun akan meraih karir yang baik. Tapi, apakah karir dan penghasilan yang baik
juga berarti rasa bahagia kita baik? Kita bersyukur bila hal itu terjadi,
tetapi, tak perlu berkecil hati, bila rasa bahagia itu tak sejalan dengan karir
dan kekayaan kita, itu sering terjadi.
Dan, yang paling penting, jangan pernah berkecil hati bahkan ketika
karir dan kekayaan kita berkorelasi signifikan secara negatif, artinya, sudah
hidupnya tak kaya, perasaannyapun tak gembira, itu sudah sangat lazim dalam
hidup di dunia ini.
Mengapa? Pencarian kita berfokus pada faktor
luar diri. Itu kesalahan terbesar manusia. Ketika saldo tabungan hanya cukup
untuk hidup sebulan dan tinggal di rumah sangat sederhana, rasanya hidup penuh
dengan kebahagiaan, tetapi selalu ada sesuatu yang kurang. Akal kita
mengatakan, kebahagiaan akan meningkat bila
rumah bisa sedikit lebih besar dan tak sepeda motor digantikan
mobil. Namun ketika mimpi tentang
kebahagiaan itu menjelma, suami penuh kesibukan di kantor. Pasangan hidup pulang malam bahkan pagi, tugas luar kota
tiap bulan. Rumah menjadi terminal,
sekedar tempat membersihkan diri dan berganti pakaian. Hidup tak lagi indah. Impian kebahagiaan yang
harusnya menjelma, malah menjadi awal dari kesedihan baru.
Kalau begitu, dimana kita mencarinya?
Orang-orang bijak yang mengalami manis dan pahit getirnya hidup mengatakan,
kebahagiaan ada di dalam diri sendiri. Mereka yang masih menggantungkan
kebahagiaannya pada dunia luar, tak akan meraihnya......
Mengapa Bekerja
Suatu hari, dalam doanya yang khusuk,
sahabat kita Nazarudin berdiskusi dengan Tuhannya:
N: Tuhan, mengapa Kau beri aku istri yang
cantik?
T: Karena cantiklah engkau memilihnya.N: Sudah cantik dia baik hati Tuhan
T: Karena itu juga kau memilihnya
N: Tapi, Tuhan, kenapa dia bodoh sekali?
T: [dengan suara sangat lembut], itulah sebabnya dia memilihmu
Jadi, kalau tujuan bekerja adalah mencari
kebahagiaan dan kalau definisi kebahagiaan itu
masih berasal dari luar diri, rasanya seperti minum air garam, tak akan
pernah sampai tujuan. Makin tinggi
jabatan yang kita raih, makin banyak pundi-pundi finansial yang kita
miliki, rasanya makin jauh kita dari pencapaian.
Saldo Rekening Penderitaan
Ketidakpuasan di Tempat Kerja Adalah
Sumber Penderitaan
Berapa tahun sahabat-sahabat telah
bekerja? Berapa cepat karir kita naik? Ah, tentu saja kalah cepat dengan si
Badu. Tiga tahun bekerja Badu telah menjadi penyelia, delapan tahun bekerja
Badu menjadi kepala cabang, empat tahun setelah kepala cabang, dia menjadi
kepala divisi. Kemudian kita kasak-kusuk cari informasi. Oh.., ternyata si Badu
keponakannya Pak Fulan, orang penting di pemerintahan, wajar saja karirnya
cepat. Satu cerita kita dapat, rasanya puas memperoleh informasi, tapi, tanpa
sadar, kita menambah saldo rekening penderitaan. Hubungan baik dengan si Badu berubah menjadi
hambar. Rasa iri dan cemooh kepada Badu, seperti deposito
dengan “special rate” bagi rekening ini. Apakah kita makin bahagia? Pencarian ke luar membuat kita makin mudah
membuat simpulan negatif. Padahal,
informasi yang kita dapatkan hanyalah Badu keponakan Pak Fulan. Kita bahkan tak
pernah tahu, apakah Pak Fulan memang menitipkan Badu pada manajemen atau tidak,
bahkan kita tak pernah tahu, bagaimana Badu bekerja.
Berapa besar bonus tahunan yang kita
dapatkan? Luar biasa, setahun kita bisa menerima
gaji lebih dari 15 bulan, begitu kalau kita melihat ke dalam diri. Tapi, “Oh...,sebentar
dulu, saya bekerja keras dan mencapai target yang tinggi, mengapa bonusnya sama
dengan si Budi, yang hanya duduk manis? Kalau begitu, ini tidak adil”. Ketika melihat atasan kita dapat kesempatan ke
luar negeri, kita berkata, “yang bekerja keras saya, tapi yang dapat bonus
jalan-jalan ke luar negeri atasan saya? Oh.. ini keterlaluan, ini lebih tidak
adil lagi”.
Begitulah kalau kita kemudian mencari
kebahagiaan dari luar. Alih-alih meraih
bahagia, kita telah mengubah peluang kebahagiaan menjadi sebuah neraka
kecemburuan. Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan ketidak adilan adalah
sesuatu yang harus kita terima, bukan seperti itu, tetapi, saya ingin
mengatakan, lakukan saja apa yang ada dalam diri kita dan bisa kita lakukan.
Kalau kita hanya memiliki kewenangan untuk berdoa, marilah kita doakan saja
agar ketidak adilan itu cepat berlalu.
Kecemasan dan Ketakutan, Bonus Rekening
Penderitaan
Sudah Agustus, posisi penyaluran kredit
masih 80%, bahkan untuk target bulan berjalanpun belum tercapai. Atasan tiap
bulan mendatangi meja kita, menyakan potensi yang ada sambil menebar pecahan
beling, “kalau kira-kira tak sanggup, di luar sana banyak orang yang siap
menggantikan anda”. Pecahan beling di jalan bisa melukai kaki. Bila kaki
terluka, cuci bersih, beri anti bakteri. Syukur-syukur saat kecil kita telah
diberi vaksin anti tetanus. Lakukan hal yang sama, ketika hati kita terkena
pecahan beling seperti itu. Bakteri
kecemasan tumbuh subur di ruang yang kotor.
Bersihkan hati, daripada menyebar cerita bahwa boss kita akan merekrut
teman-temannya dari luar untuk menguasai perusahaan ini, lebih baik
mendiskusikan masalah target dan mencari jalan keluar bersama. Jangan cemas
untuk memulai diskusi dengan atasan. Kalau ada teman lain yang mampu dan kita
tak berhasil, tentu saja harus melihat ke dalam diri, dimana letak ketidak
mampuan kita, bagaimana mengatasinya. Ini lebih membahagiakan, karena kita
memperbaiki diri sendiri.
Sikap proaktif membantu menghilangkan
kecemasan. Saat ruang tunggu nasabah penuh sesak, kita mungkin cemas, setiap
saat atasan kita bisa saja meminta penjelasan atas masalah tersebut. Sebelum
kita menjadi gagap karena tak bisa menjawab, lebih baik proaktif mencari
permasalahannya, dan mendiskusikan solusinya. Memberi jawaban dengan apa adanya
serta solusi yang sedang ditempuh dengan segala keterbatasannya, jauh lebih baik dari pada melarikan diri ke
belakang dan mematikan telepon seluler kita. Dengan cara ini, kita bukan saja
mengurangi saldo rekening penderiatan, tapi menambah saldo rekening kebahagiaan
bagi diri sendiri, bahkan lebih dari itu,
juga menambah saldo rekening
kebahagiaan atasan kita.
Saldo Rekening Kebahagiaan
Pada malam Nazarudin berdiskusi dengan
Tuhan, sang istri yang selalu merasa menderita dan salah memilih suami diam-diam
mengintip dan mencuri dengar pembicaraan itu. Saldo rekening penderitaannya
makin membengkak. Esok malamnya, saat suami lelap tertidur, dia mengetuk
jendela Tuhan.
I :
Tuhan, suamiku wajahnya sangat sederhana
T: Karena itulah engkau memilihnyaI : Suamiku miskin pula
T: Karena itulah engkau memilihnya
I : Kalau begitu aku orang yang sangat bodoh?
T: [menyerahkan sebuah kaca mata], cobalah pakai ini, besok kita ngobrol lagi.
T: [esok harinya] Apa yang ingin kau keluhkan padaku hari ini?
I : Maafkan, Aku terlalu bodoh untuk menyadari bahwa diriku pintar.....
Bicara tentang peran kita dalam bekerja
khususnys di perbankan, saya selalu mengutip pernyataan Joseph Stiglitz yang
ditulisnya tahun 2002 pada sebuah buku yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul
“Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional. Kutipan ini menjadi penting, karena peran
kita sebagai pegawai sebuah bank pembangunan di daerah. Bagaimana mungkin kita
bisa berperan dengan baik dalam perusahaan bila kita tak mengerti makna dari
kata “pemabangunan”. Namun demikian,
dalam agenda ini saya tidak ingin mengupas urusan-urusan ekonomi dan
pembangunan nasional, saya ingin mengupasnya dalam peran kita di perusahaan
agar hidup kita bahagia.
Banyak hal bisa dilakukan untuk
kebahagiaan kita dengan melihat potensi kekuatan kita untuk bahagia, serta
peluang yang ada untuk meraihnya, apalagi dengan bekerja pada sebuah bank
pembangunan. Karir dan kinerja kita memang diukur oleh manajemen berdasar
pencapaian target, tapi, untuk menambah saldo rekening kebahagiaan, jangan
gunakan ukuran yang sama. Gunakan kacamata yang diberikan kepada Tuhan, yang
jarang sekali kita pakai, sehingga kita mampu melihat sesuatu yang tak dilihat
orang lain. Kacamata itu adalah kacamata untuk mata hati.
Dari pada berpikir menghubungkan
pencapaian target dengan karir dan bonus yang seringkali tak sejalan, cobalah
melihat penyaluran kredit kita itu dinikmati oleh siapa saja. Sebuah hotel
mungkin akan menyerap 50 sampai 100 tenaga kerja, bahkan lebih kalau kita lihat
efek ikutannya, seperti datangnya turis yang menggunakan becak, berkembangnya
industri taksi, meningkatnya penjualan souvenir kerajinan, dan seterusnya. Pikirkan
dengan jernih, dan rasakan saldo rekening kebahagiaan kita meningkat.
Sahabat-sahabat saya di unit mikro,
peluangnya jauh lebih besar lagi. Rasakan bagaimana nasabah-nasabah kita tumbuh
dari usaha yang sangat kecil sampai memiliki kios. Rasakan bagaimana mereka
memandang masa depan yang menjadi semakin pasti. Itulah sumber kebahagiaan.
Dari pada menambah saldo rekening
penderitaan karena keluh kesah harus membuka ribuan rekening untuk penyaluran
bantuan siswa miskin atau beasiswa siswa berprestasi, pinjam kacamata Tuhan
untuk melihat mata-mata penuh harapan dari para siswa yang memperoleh beasiswa.
Sertakan niat dan doa dalam hati kita untuk mereka, “kelak mereka akan menjadi
orang-orang terbaik di negeri ini, yang akan menjadikan negara kita lebih adil,
lebih makmur, lebih membahagiakan.
Karena pembangunan adalah tentang
bagaimana mentransformasi masyarakat, meningkatkan kehidupan kaum miskin,
membantu setiap orang untuk memiliki kesempatan agar berhasil dan akses
pelayanan kesehatan dan pendidikan, saya tambahkan, juga akses untuk memperoleh
layanan perbankan
Terimakasih...
No comments:
Post a Comment