Seorang Bunda merasakan betapa repotnya menjaga anak yang masih di bawah 5 tahun, karena sang Anak yang sehat, akan mengeksplorasi lingkungannya sebagai proses belajar yang alami. Setiap hari Bunda mengeluh, tetapi, tentu saja bahagia dan bangga karena Bunda dan Anak saling mengasihi. Mereka diikat dalam hubungan kejiwaan yang sangat kuat.
Ketika Anak mulai mandiri, kerepotan Bunda berkurang, tetapi, apakah Bunda senang? Mungkin tidak. Ada yang hilang ketika sang Anak mulai menemukan dunianya. Ada yang hilang ketika Anak tidak lagi merasa bagian dari kehidupan Bunda. Ada kesepian di hati Bunda.
Ketika Bunda membutuhkan teman untuk berpergian, ketika Bunda membutuhkan teman untuk berbagi kebahagiaan, ketika Bunda membutuhkan teman untuk berbagi kesedihan, sang Anak sudah bukan lagi bagian dari kehidupannya.Sang Anak telah memiliki dunianya sendiri.
Hidup adalah proses kehilangan. Setiap orang ditakdirkan untuk saling bertemu, saling memperoleh, tetapi tentu juga saling kehilangan. Pada saat kehilangan, kita akan bersedih, betapa beratnya hidup ini.
Bencana alam mendatangkan banyak kehilangan, harta benda, sanak saudara, bahkan yang paling menyedihkan, kehilangan harapan hidup. Apa yang kita miliki sebelumnya, menjadi tiada hanya dalam sesaat.
Seorang pengemudi truk berangkat dengan niat mencari nafkah bagi anak istri dalam keadaan sehat, tetapi pagi hari, keluarga di rumah merasakan kehilangan sang pecari nafkah karena kecelakaan.
Betapa dekatnya kehilangan itu dengan diri kita.
Pada saat kehilangan kita menangis, pada saat memperoleh kita (seringkali) lupa untuk menyiapkan diri menghadapi kehilangan.
Pada saat kehilangan, Bunda, dengan sangat sedih berkata, betapa tak adilnya, ketika dahulu engkau kutimang-timang dan kubesarkan, sekarang bahkan engkau tak memandang pada kesedihan yang aku miliki. Kemudian, Bunda, dengan segala kepasrahannya berkata,
“Anakku, jiwaku sakit, karena aku selalu membutuhkanmu untuk mendampingiku, tetapi nampaknya engkau bahkan sedikitpun tak memerlukan aku”.
Sang Anak berkata:
“Bunda, maafkan aku, tetapi aku sangat sibuk. Bukankah kesibukan ini semua juga berasal dari Bunda? Bukankah Bunda yang menginginkan aku untuk sekolah? Bukankah Bunda yang menginginkan aku untuk selalu menjaga nama baik Bunda?”
Hidup adalah kehilangan. Mereka yang tidak pernah menyiapkan diri untuk kehilangan, akan merasakan sakit di jiwanya kemudian tenggelam dalam penderitaan serta keputus-asaan.
Mereka yang menyiapkan diri untuk kehilangan, juga akan merasakan sakit yang sama, tetapi, rasa sakit itu adalah bagian dari pengasahan jiwa yang menjadikannya kuat.
Ketika aku sakit hati, aku menerima rasa sakit itu sebagai bagian dari ujian kehidupanku, dan aku berharap menjadikan aku sebagai orang yang makin kuat. Sakit hati adalah bagian dari pengasahan jiwaku.
Sapardi Djoko Damono menulis kata-kata yang sangat indah untuk memaknai sebuah kehilangan pada hubungan yang penuh kasih:
Aku ingin mencintaimu, dengan sederhana
dengan kata-kata yang tak pernah diucapkan kayu kepada api,
yang menjadikannya abu.