Tuesday, October 05, 2004

Menjadi Pemimpin

(Mereka yang terpilih untuk menjadi pemimpin pada saat ini adalah orang-orang yang membuat kontrak moral bagi generasi berikutnya)

Mengapa banyak orang terobsesi untuk menjadi pemimpin? Ada banyak jawaban di situ. Menjadi pemimpin dapat diartikan sebagai upaya kita untuk menerapkan idealisme (subyektif menurut si calon pemimpin). Menjadi pemimpin adalah akses untuk meraih keuntungan (pemikiran kapitalis, mereka yang menguasai sumber daya akan memiliki keunggulan komptitif). Menjadi pemimpin adalah kebanggaan karena akan memanen begitu banyak hormat dari orang yang dipimpin (aktualisasi diri, bagian dari teori motivasi Maslow).
Terlepas dari semua itu, keinginan untuk menjadi pemimpin adalah karunia Yang Kuasa, agar manusia termotivasi untuk maju.
Pada mahluk hidup kelompok yang lebih rendah dari manusia, mereka yang terkuat akan menjadi pemimpin (melalui serangkaian perkelahian). Pemimpin kelompok binatang memperoleh hak untuk mendapatkan pasangan yang juga terbaik. Artinya, yang kuat adalah yang menang. Hukum alam ini membuat mahluk hidup bertahan melalui sistem regenerasi yang tertata untuk menghasilkan mahluk-mahluk yang kuat, yang mampu bertahan dalam kerasnya alam.
Naluri primitif manusia pada dasarnya sama dengan mahluk hidup lain, yaitu mempertahankan kehidupan manusia dengan menciptakan keturunan-keturunan yang terbaik. Tetapi manusia dikaruniai lebih dengan akal budi. Menjadi pemimpin manusia berarti bertanggung jawab untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi siapapun yang ada pada saat ini maupun bagi generasi berikutnya. Mereka yang hanya berpikir tentang kesejahteraan sesaat, dengan menjual hutan, menghabiskan sumber daya alam, meningkatkan kualitas hidup melalui hutang yang tak terkendali, bukanlah seorang pemimpin. Pemimpin yang baik memandang jauh ke depan, menyiapkan penggantinya.
Gajah Mada bukanlah pemimpin yang baik, karena Majapahit mulai runtuh ketika beliau telah tiada.
Banyak CEO perusahaan multinasional sukses sesaat, tetapi perusahaan mengalami penurunan ketika ditinggalkan. Steve Job membawa keberhasilan pada Apple Computer, tetapi perusahaan segera mengalami penurunan ketika Steve mengembangkan Next Computer (yang ternyata juga tidak begitu berhasil).
Gaya manajemen jepang, dengan kepemimpinan kolektif biasanya lebih berhasil dalam meneruskan kepemimpinan. Di Indonesia, PT Astra, yang kental dengan manajemen gaya Toyota, berhasil mempertahankan eksistensinya sekalipun William Suryajaya tidak lagi bergabung. Sony Corp tetap eksis meskipun Akio Morita tidak terlibat langsung. Kondisi ini sangat berbeda dengan perusahaan dengan gaya manajemen barat yang menekankan pada kemampuan individu.
Pelajaran apa yang dapat kita tarik di sini? Pertama, memimpin adalah menyiapkan satu generasi ke depan. Kedua, kepemimpinan individual dapat memberikan hasil sesaat yang sangat mengagumkan, tetapi biasanya akan gagal bertahan pada saat sang pemimpin kehilangan enersinya atau pada saat terjadi pergantian kepemimpinan.
Bagi pribadi kita masing-masing, kesimpualan yang dapat kita ambil adalah kepemimpinan tidak dapat dinilai dari apa yang didapat pada saat ini, tetapi dari apa yang didapat dari generasi berikutnya.

Ekonomi Kapitalis dan Pulau Dewata

(Bali adalah tempat tinggal para dewa, karenanya sering dinamakan pulau dewata.........)
Tapi, cobalah untuk melihat Bali saat ini dengan mata hati kita?
Pernahkah kita meresapkan spirit dewata yang mulai pudar, tergantikan oleh keserakahan kapitalis. Mungkin ada yang salah di sana. Ketika keserakahan kapitalis mengajarkan kita untuk mengejar tumpukan uang, ketika hotel-hotel berbintang dibangun, ketika seribu turis mengejar seribu “kenikmatan”, dan ketika itulah sejuta makna kedewataan telah menghilang.
Disebuah kampung yang katanya mempertahankan bentuk asli rumah dan adat Bali, kopi bubuk dengan kualitas yang sangat diragukan, terbungkus dalam plastik berdebu ukuran 250 gram, ditempatkan lagi dalam sebuah wadah tempurung kelapa dengan buatan yang sangat kasar, dihargai Rp60.000,00 (dari $6?). Siapakah yang mengajarkan ini?
Kapitalisme telah hidup subur di sebuah desa adat. Di mana para dewa tersisa?
Kapitalisme telah mengajarkan masyarakat untuk menjual apa saja, demi setumpukan uang, bahkan harga diri sekalipun.
Suatu saat kelak, kita akan merenungi sebuah kenyataan, kemanakah para dewa berpindah?