Monday, January 02, 2012

Berbuat Baik

Kami bertemu di sebuah tempat terapi alternatif untuk penyakit-penyakit yang tak kunjung sembuh dengan pendekatan ilmu kesehatan standar. Sebuah rumah sangat sederhana yang dijadikan tempat praktek. Kami duduk di teras sebuah rumah


Saat tiba, di ruang dalam nampak penuh tak ada kursi tersisa. Di teras, seorang Ibu yang tak dapat dikatakan muda, dengan pakaian yang agak norak kaos hitam ketat tanpa lengan, duduk di bangku yang tak terlalu panjang. Melihatku kebingungan mencari tempat duduk si Ibu berbaik hati menawarkan berbagi. Namanya Bu Yayuk. Dengan alis yang digambar dan pulasan kosmetik yang memudar karena keringat, si Ibu nampak bukan orang baik-baik, menurut persepsi manusia kebanyakan. Kami mengobrol. Si Ibu mengantarkan seorang temannya yang sedang sakit dan tak kunjung sembuh setelah bertahun-tahun.

“Saya bekerja apa saja Mas. Kalau siang mengumpulkan rosok, kadang saya mengamen, kalau malam saya memijat tetangga,” begitulah si Ibu memulai ceritanya, setelah kami berbasa-basi saling bertanya.

“Suami saya kerja sebagai tukang parkir di Terminal Jombor”, katanya lebih lanjut. “Usianya sudah lebih dari 70 tahun, tetapi suami saya orang yang baik hati. Seluruh penghasilannya selalu diberikan pada saya. Beginilah saya, kalau sudah bercerita saya sulit untuk berhenti. Tapi, saya hanya bercerita pada orang-orang yang mau mendengarkan. Saya tahu, Bapak dengan tulus mendengarkan cerita saya. Kalau Bapak hanya berbasa-basi, saya bisa merasakannya, dan saya tak akan banyak cerita.”

Dia bercerita banyak, saya mendengarkan dengan terheran-heran. Antrian saya nomor empat belas, seroang pasien di terapi sekitar 15 – 20 menit. Bukan waktu yang singkat.

“Saya terimakasih sekali Pak, ada yang mau bicara dengan saya. Kebanyakan mereka hanya memberikan uang dari balik teralis pagar. Ada seorang ibu yang saya lihat jalan terpincang-pincang, saat ngamen, kemudian saya tawarkan diri untuk memijat. Hanya di teras rumah Pak, saya tak ingin masuk, khawatir kalau ada barang-barang hilang dan juga khawatir dianggap tak tahu diri. Saya pijat 2 jam Pak. Selesai pijat, si Ibu merasa baikan, dan meminta alamat saya untuk pijak lagi. Dua jam itu, Pak, saya hanya diberi uang lima ribu rupiah. Tapi, saya ikhlas Pak, meskipun rasanya sedih.”

“Saya muslim Pak, tapi saya belum shalat. Tiap malam saya berdoa. Saya hafal Al Fatihah, hanya itu yang saya hafal. Setiap hari saya berdoa pada Gusti Allah, menyebut namanya sepanjang jalan. Saya juga mengikuti ajaran kejawen Pak. Kadang malam saya tak tidur dan duduk di makam-makam tua.”

“Dulu, payudara saya pernah besar membengkak Pak, sangat besar. Saya hanya bisa merintih kesakitan. Tak ada biaya untuk berobat, saya hanya pasrah pada Tuhan yang memberi saya hidup. Berbulan-bulan merintih Pak, tak bisa apa-apa. Kemudian saya bertemu seorang kyai dari Banten. Katanya, saya hamil dan yang menghamili saya adalah bangsa jin.”

“Ini benar-benar terjadi Pak, Bapak pasti tak percaya cerita saya”, tegas perempuan itu ketika pikiran normal saya mulai bereaksi atas cerita yang seperti ini.

“Suatu hari, oleh kyai dari Banten itu, saya disuruh berbaring dan diberi tahu, jin yang saya kandung akan segera lahir, tepat jam 12 malam. Saya menurut saja Pak. Rasanya saat itu saya sudah tak hidup lagi. Para santri membaca berbagai doa yang saya tidak tahu. Kemudian kesadaran saya hilang, seperti tertidur yang lelap. Saya merasa seperti mimpi berpisah dengan seseorang. Perpisahan yang sangat berat. Kami berpegangan tangan seperti tak ingin saling melepaskan. Kalau Bapak muda dulu ingin berpisah dengan pacar, seperti itulah, tangan seolah tak ingin lepas sampai lepasnya sentuhan ujung jari. Kemudian tangan saya menggapai-gapai ingin meraih tangannya kembali. Dalam mimpi itu, sang laki-laki seperti pamit pada saya, dan meninggalkan sesuatu agar saya gunakan untuk membantu setiap orang yang memerlukan.”

“Saya tersadar Pak, dikelilingi para santri. Seorang murid Pak Kyai berteriak ketika melihat saya sudah sadar. Rasanya aneh sekali Pak. Saya pikir saya sudah meniggal, karena sekian bulan menahan sakit yang tak terhingga. Payudara saya tiba-tiba mengempis, hanya tersisa bekas goresan sedikit. Rasa sakit menghilang dalam beberapa hari.”

“Ini kejadian benar Pak, saya mengalaminya, memang aneh. Sejak itu, saya selalu ingin menolong orang. Mungkin saya hanya punya sedikit harta, tapi saya dikaruniai kelebihan, niat untuk selalu menolong orang. Ada tetangga kelaparan belum makan, saya hanya punya beras sedikit, saya bagi setengahnya untuk tetangga. Ada orang kelelahan, saya pijat dengan tanpa mengharap bayaran. Ada orang sakit, saya coba sembuhkan. Kalau saya tidak mampu sembuhkan, saya bawa ke tempat lain yang bisa membantu kesembuhannya. Kalau tidak mampu membayar, saya berikan harta saya untuk membayarnya. Tentu saja, saya hanya mampu mengantarkan ke tempat seperti ini Pak, yang tidak menentapkan tarif bagi pasiennya. Di sini, setiap pasien bebas untuk berderma.”

“Hidup saya penuh kotoran Pak, saya bukan orang yang bersih, tapi saya selalu ingin menolong orang. “

“Saya muslim Pak, meskipun saya tidak shalat.” Kalimat itu diulanginya lagi.
“Maaf, mengapa Ibu tidak shalat?”
“Mungkin saya belum sadar ya Pak...”. Suaranya mulai bergetar, dan makin lirih.
“Apa saja yang saya minta pada Gusti Allah, selalu dikabulkan, tetapi saya belum shalat Pak. Terimakasih Pak, mengingatkan saya .Saya janji, akan shalat Pak, Kalau ada yang memberi saya rukuh, saya segera shalat...”..

Giliran pasien yang diantar Ibu tersebut untuk terapi. Obrolan kami terhenti. Kemudian giliran saya tiba.

Keluar dari ruang terapi, si Ibu dan pasien yang diantarnya masih duduk di pinggir jalan, menunggu taksi katanya. Aku pamit mendahului. Mendoakannya semoga pasiennya segera sembuh dan si Ibu selalu mendapat kasih sayangNya...

Begitu saja. Kemudian angan-anganku berkecamuk di benakku. Mengapa tak membelikannya rukuh? Sempat terpikirkan tadi, saat dia mengatakannya. Mengapa pula membiarkan mereka berdua duduk menderita di pinggir jalan dan tak mengantarkan mereka pulang? Lihat, mereka mungkin menjalani kehidupan yang sangat termarginalkan, tapi, tak sedikitpun mereka mengeluh dan meminta bantuan orang. Apakah susahnya bagiku untuk meminta supirku membelikan rukuh dan mengantar mereka pulang? Mengapa sering muncul pikiran jahat dan ketidakpedulian pada hatiku? Mungkin dia diutus oleh Sang Kuasa untuk mengingatkanku, bahwa ibadahku masih sebatas upacara, belum menjadi bagian dari kehidupanku.....