Wednesday, January 26, 2005

Yang Tulus

Kekayaan apakah yang terbesar di kehidupan dunia ini? Uang bukanlah ukuran segalanya. Uang dapat membeli apapun yang kita butuhkan dalam hidup ini, bahkan uang dapat membeli senyuman dan keramah tamahan, tetapi, uang tak pernah dapat membeli salam yang tulus.
Ketika kita menjadi supervisor dari seorang staf, maka pegawai akan menghormati kita, tetapi apabila hormat itu muncul dari sebuah kepura-puraan, maka kita akan merasakan sesuatu yang hilang pada saat tidak lagi menjadi supervisor.
Seorang guru, mungkin memiliki kekayaan terbesar, karena, hampir setiap orang akan mengingat kebaikan yang diberikan oleh sang guru.
Tetapi, kekayaan yang terbesar adalah memiliki keluarga yang berbakti, dan teman-teman yang tulus. Di dalamnya, kita tidak akan pernah merasa kehilangan, sekalipun jarak memisahkan, dan kita telah menjadi pensiunan, yang tak lagi memiliki kekuasaan.
Hari ini mungkin aku merasakan kehilangan, Inilah bagian dari hidup yang harus aku lalui, dan jiwaku akan terasah karenanya.
Setidaknya, hari ini aku mencoba untuk belajar mengenali wajah yang tulus, dan membedakannya dengan senyuman cantik yang dibalut kosmetik tebal.
(Meskipun, aku masih selalu berharap bahwa apa yang aku dapatkan selama ini adalah sebuah ketulusan)

Tuesday, January 18, 2005

Kehilangan Orientasi

Beban yang berat terkadang membuat kita kehilangan percaya diri. Ketika rasa percaya diri hilang, maka kita kehilangan fokus. Konsentrasi terhadap permasalahan yang dihadapi menjadi pecah. Hidup menjadi makin rumit.
Mengapa ini terjadi?
Manusia dikarunia sejumlah sistem alarm yang sangat baik. Sinyal-sinyal dikirim untuk memberikan peringatan akan adanya sesuatu yang tidak semestinya. Ketika menghadapi kenyataan yang sulit, kita merasa tak berdaya. Rasa tak berdaya tersebut menimbulkan kekalutan, karena situasi yang kita hadapi sangat berbeda dengan yang sebelumnya, dan diri kita memberikan peringatan dini, untuk menghindari situasi tersebut. Memaksakan diri untuk menghadapinya hanya menimbulkan ketakutan yang tak berkesudahan dan kita mulai tidak fokus, bahkan sangat mungkin kehilangan orientasi.
Apakah yang harus dilakukan?
Pada saat mulai kehilangan orientasi, berarti waktunya bagi kita untuk meminta pertolongan orang lain. Menghadapi segala sesuatu dengan sendiri, meskipun kita tahu tak akan mampu, adalah tindakan yang tidak bijaksana. Masalahnya adalah apakah kita selalu ingin meminta bantuan?
Mengasah jiwa, melatih diri untuk kuat, meningkatkan ambang batas kemampuan adalah sesuatu yang dapat dilakukan. Mencoba tetap fokus dimulai dari masalah-masalah kecil, dan menyelesaikan masalah-masalah besar, lama kelamaan akan menjadikan jiwa kita kuat.
Kehilangan staff handal di tempat kerja pada saat beban kerja sangat besar mungkin sebuah masalah besar, tetapi mencoba untuk bertahan, adalah cara lain untuk melatih kekuatan jiwa. Meminta pertolongan orang lain pada saat mulai kehilangan orientasi, bukanlah sesuatu hal yang memalukan tetapi tentu saja ada batasnya, karena setiap orang tentu punya permasalahannya sendiri.
Ketika bangsa dilanda bencana, mencoba untuk berteriak dan bangkit dengan kekuatan sendiri adalah sebuah cara untuk menguatkan jiwa. Tetapi, ketika menyadari kapasitas yang dimiliki tidak sebanding dengan masalah yang dihadapi, dan kita tidak meminta pertolongan, maka itu bukan sebuah keputusan yang bijaksana.

Thursday, January 06, 2005

Jiwa Yang (tak pernah) Resah

Setiap kita, pasti pernah merasakan kegelisahan, keresahan. kegalauan, apapun istilahnya, intinya adalah rasa tak nyaman yang membuat dada terasa penuh sesak. Seorang teman menulis di blognya tentang kegelisahan yang membuat dia tidak fokus. Kegelisahan, rasa yang selalu datang dengan tiba-tiba, tanpa diharapkan.
Mengapa kegelisahan muncul? Mengapa jiwa menjadi resah? Mengapa hidup harus melalui situasi-situasi yang tidak menyenangkan?
Kegelisahan adalah instink mahluk hidup, yang menyatakan adanya sesuatu yang tidak sesuai dengan yang semestinya, entah itu baik ataupun buruk. Hewan-hewan gelisah ketika bencana alam akan datang, dan kegelisahan tersebut mendorong migrasi hewan secara besar-besaran. Ribuan burung berwarna putih terbang beberapa saat sebelum bencana alam, mereka menyelamatkan diri.
Kegelisahan muncul dari jiwa-jiwa yang terasah. Jiwa yang dapat merasakan "sakitnya" mahluk lain. Jiwa yang dapat mendengarkan dalam kesenyapan. Jiwa yang dapat melihat dalam kegelapan. Jiwa yang belum dipenuhi dengan keserakahan. Kegelisahan akan mendorong manusia untuk mengenangkan Sang Pencipta, dan mengadahkan tangan untuk, paling tidak, memohon ampun atas segala kesalahan yang telah diperbuat.
Kegelisahan akan menghasilkan ketakutan apabila muncul dari jiwa yang kosong, jiwa yang tidak pernah mendengar suara hatinya atau jiwa yang hanya memikirkan kenikmatan sesaat.
Ribuan jiwa menjadi resah karena bencana alam, ribuan hati menangis, tapi apakah kita pernah merasakan kegelisahan itu?
Seorang budayawan menulis dialog imajiner dengan Kyai Sudrun, dan memprotes, mengapa bencana harus diturunkan di tempat orang-orang yang beribadah dengan khusuk, bukan di tengah keserakahan yang tak berhenti. Kyai Sudrun bertutur, "Tuhan memberkati mereka yang menjadi korban, dengan menyelamatkan mereka ke kehidupan kekal yang indah." Apakah ini berarti, kita yang tersisa, adalah manusia yang dimurkai Sang Pencipta? Diberkati usia yang lebih, agar, setidaknya, pernah berdoa untuk mohon ampun, dan sedikit janji untuk tidak mengulangi kenistaan yang selama ini diperbuat.
Tetapi, kenyataan hidup selalu bicara lain. Diberbagai tempat manusia hiruk pikuk memberikan bantuan, dengan pemberitaan yang mencolok. Nothing to loss atau nothing tu - lus. Karena kita hanya memiliki jiwa yang takut, bukan jiwa yang gelisah. Karena kita tak pernah mengasah jiwa. Karena kita belum mampu melihat dalam kegelapan, mendengar dalam kesenyapan, dan merasakan dalam ketiadaan.
Tuhan, berkatilah kami, berikanlah sedikit kepekaan pada kami, jadikanlah kami dengan jiwa yang dipenuhi kegelisahan bukan ketakutan.