Tuesday, December 09, 2008

Gerimis

Kesibukan seringkali membutakan kita pada keindahan kecil yang dianugrahkan Tuhan melalui alam. Ruang kerja yang kebanyakan tak lagi terhubungkan dengan dunia luar menyebabkan kita tak dapat menikmati bagaimana indahnya jarum-jarum gerimis menyeruak di biasan sinar matahari pagi.
Dulu, ada sebuah blog yang seringkali menulis keindahan-keindahan kecil seperti ini dan aku selalu menikmatinya. Tetapi, sahabat maya ini seperti menghilang entah kemana. Hari ini aku mencoba untuk menggambarkan keindahan seperti itu, dengan bahasa ala kadarnya – setidaknya aku mencoba.
Di gerimis pagi, ada jarum-jarum kecil menyeruak biasan sinar matahari. Mendung putih terkadang menyilaukan mata, tetapi ketika kita lelapkan hati kita ke dalamnya, ada ketenangan yang luar biasa, yang membawa rasa tentram. Terkadang muncul pula pelangi melengkung di kaki langit. Hadirnya seolah mewartakan surgawi yang kekal di atas sana. Saat kecil sering diceritakan, pelangi adalah tangga menuju surga, dan malaikat yang penuh kasih turun menyampaikan kebahagiaan tentang sebuah tempat di langit yang berisikan keindahan. Dengan nalar anak berusia empat tahun, aku sangat mempercayainya dan beberapa kali aku bertanya, dimanakah tempat asal pelangi itu? Aku ingin sekali mendakinya.
Setelah gerimis reda, biasanya beberapa serangga mulai aktif. Capung mulai menjelajahi kawat-kawat pagar. Kupu-kupu kecil berwarna kuning akan bergerombol terbang bersama. Burung-burung mulai menampakkan dirinya sambil meregangkan sayap mengibaskan bulunya. Mungkin sekedar menghadirkan kehangatan. Daun-daun meneteskan sisa hujan, satu demi satu, jatuh. Manakala suasana sedang senyap kita bisa mendengarkan suara dan irama tetesan air dari dedaunan yang menyihirkan keabadian. Waktu seolah berhenti.
Pagi ini gerimis. Aku menyempatkan diri menghampiri jendela, memandangi gerimis dan melarutkan diriku menjadi bagian dari kegerimisan itu. Meskipun kali ini pelangi tak hadir, tetapi, sungguh gerimis itu memberi kenyamanan bagi jiwaku.

Monday, December 01, 2008

Lalu Desember...

Berapa Desember yang lalu dalam ingatan? Tak membekas keharuman bumi yang terhiaskan bunga-bunga putih, itu layu tanpa pernah sempat terengkuhkan
Mungkin itu bukan bunga yang putih, karena seandainya putih datang, bukankah kita bisa memandangnya dalam sunyi yang suci?
Hanya sepotong bunga hutan yang dipetik oleh sekumpulan peri di tengah malam, yang kemudian meninggalkannya begitu saja, tanpa pernah berpikir untuk apa dan mengapa.
Lalu Adampun datanglah bersama perempuannya, melihat potongan bunga hutan – apapun namanya, itu lebih suci dari pada tebaran melati yang telah dipegang oleh tangan-tangan kotor dibungkus mantera para dewa.
Ada yang melengkingkan kalimat yang tak henti memukuli gendang di telinga, ”Januari mengeras di tembok itu juga, lalu Desember..”[1]
Entah berapa Desember lagi, mungkin peri itu akan datang nanti malam, mengambil kembali bunga hutannya yang tergeletak – maka ambillah sekarang.
Sembunyikanlah di dalam jiwamu yang paling dalam, karena bunga itu mungkin kelak akan menjadi lebih putih dari kuntuman melati yang ditebar dan diinjak-injak oleh para tamu. Tak akan ada yang pernah tahu.

[1] Sapardi Djoko Damono, Buat Ning, musikalisasi puisi oleh Dua Ibu