Tuesday, June 12, 2012

Tentang Hujan

Beberapa angan-angan muncul saat mengikuti outbond di Baliwoso camp, Bali, saat api unggun dinyalakan dan tari-tarian bali disajikan. Sepulangnya, di Yogya, barulah rekaman-rekaman ini dituangkan dalam bentuk catatan. Tulisan ini, mungkin dinamakan orang puisi, tapi rasanya bukan, entahlah, saya bukan ahlinya. Ini catatan perasaan yang muncul saat itu.
Selamat menikmati, bila ini bisa dinikmati......


1
Ada yang berkhianat pada hujan, kataku.
Begitu hujan menuruni tangga dan melalui jalang yang lenggang itu, di atas awan mereka tertawa sambil membawa hadiah untukku, sebuah jarum, seuntai benang.
"Hatimu sobek, jahitlah dahulu agar kau bisa tersenyum."
Tidak, bukan hatiku. Senyumku untuk bunga-bunga yang hari ini bermekaran dan daun-daun yang hari ini hijau, juga ranting-ranting yang hari ini patah terlindas jejakku. Ada juga daun yang kering jatuh dan tersenyum tersapu bekasku. Aku pernah bertanya, dulu sekali, mengapa tersenyum? Karena aku akan menjadi sesembahan untuk kehidupan yang kelak, meskipun bukan yang kekal, begitu jawabnya.
Ada yang berkhianat pada hujan, kataku.
Begitu hujan menuruni tangga dan melalui jalan yang lenggang itu, di atas awan mereka tertawa sambil membawa hadiah untukku, sebuah daun yang kering. Ini daun, sebuah isyarat, kau akan kekal, mungkin kelak.

2.
Katakanlah ini kemarau yang panjang, karena jarum-jarum gerimis belum pernah runtuh meskipun ini sudah delapan kali purnama sejak terkahir dia menyirami kita.
Untuk apa menunggu? Mungkin tak pernah datang, kalaupun itu sekedar sebuah tanda.
Tapi aku berharap, karena pagi ini aku ingin menebar benih. Lihat ada awan, itulah pertanda. Percuma saja, katamu, karena angin akan meniupnya lagi.
Tapi, pagi ini aku ingin menebar benih di ladangku. Ada anak-anak yang membutuhkan tikar dan selimut. Percuma saja, karena ada yang telah menghianati hujan, dia tak akan hadir.
Aku Hujan akan datang, bukan karena kau atau mereka yang mengkhianati, tapi karena anak-anak yang ingin lelap dalam buaian Ibu...

3
Tak mengapalah engkau mengeluh, karena tak ada yang mendengar keluhan atau lenguhan, itu sama saja; sama seperti anyaman dan menganyam nyaman.
Tak mengapalah engkau mengeluh, karena, desahan ataupun resapan itu sama saja; sama seperti titik mata air dan air mata titik.
Sudah itu akan berakhir, ketika kering, karena mata air dan air mata serupa ketika menuju titik. Mungkin sebuah desah nafas panjang, atau sebuah lenguhan lepas.
Pada satu titik, dia akan menjadi keluhan. Maka hapuslah air matamu, saat hujan turun menggantikannya, membasahi.


Tentang Bulan dan Bintang

1
Bawakan aku bulan, pintanya. Mengapa bulan? Kau telah menghanguskan jagung bakar yang kutitipkan padamu untuk menjaganya, kau malah pergi dengan penari tanpa sedikitpun mengingat pesanku.
Bawakan aku bulan.
Tapi, malam itu bulan segaris alis, juga ada kabut karena kita di bukit; aku hanya punya sekarung mimpi yang berbaris di atas api.

2
Menarilah, dan kaupun menari; katakan padaku rahasia tarimu.
Adalah bulan turun dengan kipas, yang bergegas, dengan bintang-bintang yang mengawal.
Di tempatku, bintang adalah kuasa seperti itukah di tarimu?
Bukan, di tariku, bintang adalah senyum yang memberi jalan kepada siapapun untuk menganyam cahaya kuning .
Di tempatku, cahaya kuning adalah sejarah tirani, begitukah di tarimu?
Bukan, di tariku, cahaya kuning adalah kemilau yang mengantarkan engkau ke belaian ibu
Kalau begitu mainkanlah nina bobo, jangan beri aku xanax lagi.

3
Ke bintang, ke bintang, suara lantang melagukan dentang
Di mana itu? Sebuah tempat engkau bertapa menanti senja
Siapakah di situ? Aku suara, membawakanmu doa dalam satu mantra
Turunlah. Tidak, engkau tak akan kuat, bahkan bukit sinaipun merunduk
aku ingin mendengarMu kalau begitu.
Percuma saja, engkau menyebut namaKu, kalau kau tak pernah mendengar suaraKu.
Ke bintang, ke bintang aku turut karena aku rinduMu

 4.
Aku bintang, engkau siapa? Apakah kita pernah bertemu? Rasa-rasanya engkau pernah hadir dalam kehidupanku di masa lalu
Aku bintang, engkau siapa? Bulan? Mengapa tak ada warna kuning? Sepertinya engkau memang bulan, karena meskipun tak ada warna kuning, engkau masih membawa tanda yang dulu kita ikatkan di balik rusukmu.
Aku bintang, engkau siapa? Ragu.

5
Di lidah api itu mereka membawakan pucat. Punya siapakah ini? Di lidah api itu mereka membakar bulan dan bintang. Hujan tak jadi datang,. Jadi? Mungkin engkau perlu teman yang menggantikan hujan. Tak perlu, aku punya awan. Terima kasih.
Lidah apipun menari dalam lagu malam tanpa hujan yang datang.
ambilkan bulan Bu, ambilkan bulan Bu.....