Monday, February 15, 2010

Buah Karet [catatan masa kecil]

Ada permainan musiman yang sering kami lakukan, yaitu mengadu buah para, buah pohon karet. Secara bergantian buah para di letakkan saling menindih kemudian dipukul dengan bagian bawah telapak tangan sebelah dalam sekeras-kerasnya. Yang tidak pecah adalah pemenangnya. Bila musimnya telah tiba, sepanjang pagar luar halaman sekolah akan dipenuhi penjual para. Harganya bervariasi tergantung pada kualitas. Ada yang dinamakan para kancil, dengan lima rupiah kami bisa meperoleh 5 buah. Ada yang namanya macan, warnanya loreng-loreng kuning coklat, harganya 5 rupiah untuk 2 biji. Yang terbaik dan paling keras dinamakan kingkong, harganya bisa 5 rupiah per biji. Selain itu, ada lagi yang paling murah yang bisa diperoleh 10 sampai 15 biji dengan harga 5 rupiah. Uang lima rupiah rasanya sangat banyak, sehingga aku hampir tak pernah membeli kingkong. Paling sering aku membeli kancil atau macan. Pernah juga aku membeli kingkong. Dan ketika diadu dengan milik teman lain, kingkongku pecah. Sejak itu aku tak mau lagi membeli kingkong, karena waktu bermainku menjadi sangat singkat.
Suatu hari Jeffrey memberitahu sebuah rahasia, katanya ada buah para yang sangat kuat, tetapi kami harus memetiknya sendiri. Jefrey yang tahu tempatnya, dan seperti biasa, tugas panjat memanjat adalah bagianku. Berdua, aku dengan sepeda jengki tua dan Jefrey dengan sepeda mininya yang bagus, menelusuri jalan Bukit Besar, menuju daerah Padang Selasa, dan terus masuk ke arah Lorok Pakjo, menuju ladang karet. Tak ada jalan aspal, hanyalah jalan stapak dan tanah tanah merah. Kami tiba di sana saat mendung sangat tebal, tapi belum hujan.
Memanjat pohon karet tidaklah mudah. Pohon bagian bawah biasanya lurus sepanjang tiga sampai lima meter. Cabang pohonnya getas dan mudah patah, jadi harus hati-hati. Buahnyapun berada di ujung-ujung pohon. Aku berhasil meraih beberapa gerombol buah. Menjatuhkannya, dan Jefrey menunggu di bawah, mengupas kulitnya yang keras dengan batu.
Buah-buah karet itu sangat memukau. Warnanya coklat dengan sedikit gores kuning keemasan. Bentuknyapun menarik, bagian punggung buah agak meruncing, tidak datar sebagaimana yang dijual di depan sekolah. Kami penuh keyakinan, buah ini istimewa dan sangat kuat. Punggungnya yang runcing tentu saja akan menyulitkan lawan pada saat diadu. Aku membayangkan keramaian yang akan terjadi ketika teman-teman besok melihat buah para yang kami miliki.
Hujan mulai turun. Bergegas kami bereskan buah-buah itu, menyimpannya sebaik mungkin agar tidak tercecer di jalan. Semakin deras. Jalan mulai berlumpur. Kayuhan sepeda menjadi sangat berat. Berkali-kali aku terperosok dalam kubangan lumpur. Berkali-kali tanah lempung melekat di ban sepeda, sehingga tak dapat dikayuh. Susah payah kami saling membersihkan sepeda.
Setiba di rumah, sepeda langsung aku tuntun ke sumur di halaman belakang. Kubersihkan sepeda dan juga baju yang penuh lumpur. Tak boleh ada bekasnya. Bermain sepedaku terlalu jauh, lumpur-lumpur akan menjadi pertanyaan. Dan, yang pasti aku tak akan pernah bisa berbohong ataupun mengarang alasan.
Aku yang pertama tiba di sekolah esok paginya. Rasanya tak sabar ingin memamerkan buah para terbaik yang kami miliki. Tak sabar ingin melihat dan mendengar decak kagum. Sekolah mulai ramai. Teman-teman bermain mulai datang. Aku memperlihatkan buah paraku, dan beberapa decak kagum sempat terdengar. Mereka belum pernah melihat yang seperti ini.
Permainan dimulai. Dan..., dalam sekejap decak kagum hilang, buah para kebanggaan satu demi satu pecah setiap kali di adu. Tak bersisa......


Catatan: kebun karet itu sekarang mungkin berada di sekitar istana gubernur Sumatera Selatan, Jalan Demang Lebar Daun. Dulu hanya ada jalan tanah menuju lokasi tersebut, setelah belokan dari jalan Bukit Besar dekat SMEA Negeri.

Friday, February 12, 2010

Bankir

Apa yang nampak dari pertemuan sekelompok bankir? Jas mahal, pastilah itu. Ada lagi, jam tangan dan perangkat tulis bermerk kelas atas.
Suara apa yang terdengar dalam pertemuan sekelompok bankir? Yang sangat jelas adalah tawa yang lepas. Ha..ha...ha... dan hi...hi....hi... akan mendominasi gelombang suara yang dapat ditangkap telinga. Ada lagi, prospek bisnis dan tukar informasi mengenai nasabah kakap dan isu transaksi derivatif, tapi, itu tak begitu pentinglah, nanti saja dibahas di ruang rapat sambil sedikit mengantuk dan bisa juga sambil memantau email laporan dari bawahan di masing-masing kantor. Terus apa yang penting? Lapangan golf tentu saja. Sudah coba lapangan golf sana belum? Rumputnya tak rata. Lapangan golf yang di situ, luar biasa sulit dipahami. Dimana main golf? Kalau itu bankir lokal, yang terdengan mungkin sekedar Nusa Dua atau tempat golf lainnya di dalam negeri. Kalau yang kumpul bankir nasional papan atas, suara yang terdengar adalah lapangan golf di suatu negeri di seberang benua....
Kapan mereka bekerja? Oh, jangan naif begitu. Mereka dibayar mahal karena kemampuannya untuk memandang jauh ke depan. Coba bayangkan tarif kita untuk bertransaksi dengan peramal terkenal, mahal sekali bukan. Apalagi ini, para futurist yang menentukan masa depan perekonomian bangsa. Kalau pekerjaan teknis rutin, itu bukan cakupan tugas mereka.
Aroma apa yang tercium dalam pertemuan para bankir? Parfum lembut dan mahal, itu pastilah. Apalagi kalau di antara para bankir itu ada kaum per-empu-an. Tapi, yang lebih pasti lagi, di situ bisa dirasakan aroma makanan yang maha lezat. Tentu saja bukan makanan angkringan yang seratus ribu bisa untuk makan 15 orang. Kalau mereka bankir papan atas, setidaknya tiga ratus sampai lima ratus ribu rupiah perorang, tapi kalau hanya bankir kelas lokal, mungkin berkisar seratus sampai tiga ratus ribu rupiah, untuk sekali makan.
Pakai jas di negara tropis, apakah tidak panas dan gerah? Panas dan gerah, itu di luar sana. Di dalam ruang pertemuan, tentu saja sangat dingin. Dalam kendaraan, mobil sedan itu dilengkapi dengan pengatur suhu udara yang terbaik. Bankir lokal maupun nasional, tak akan mampu memikirkan masa depan keuangan perusahaan apalagi keuangan negara apabila udara panas dan gerah.
Jadi, nyaman sekali hidup bankir? Oh.. itu hanya kelihatannya saja. Orang bilang rumput tetangga lebih hijau. Coba, lihat, kadang mereka iri melihat para buruh tani dan buruh bangunan yang bisa dengan lelapnya tidur siang antara saat istirahat mereka. Kadang mereka makan di angkringan pinggir jalan, karena iri dengan kenikmatan makan sambil berkeringat dan sambal yang pedas, bumbu masak yang bertumpuk, dan tempat makan yang kumuh.
Dan, mungkin di antara mereka ada yang menangis, membaca berita seseorang yang diadili karena dituduh mencuri kaos yang telah dibuang di pinggir jalan. Atau menangis saat membaca berita anak sekolah mengakhiri hidupnya karena malu menunggak uang sekolah. Atau mungkin mereka menangis, melihat satu keluarga suami istri dan dua anak kecil berboncengan penuh tawa dengan sebuah vespa tua, sambil membawa kail.
Yang pasti, ada diantara mereka yang kerap menangis, melihat kenyataan ketidakadilan ekonomi di negaranya, tapi hanya mampu merasakan, tanpa mampu berbuat apapun.