Saturday, November 29, 2008

Hanya Ada Yang Tak Ada

Luka itu bukan milik siapa-siapa karena tak ada siapapun yang pernah memiliki apapun
Ini sisa kemarin sore yang tak hengkang meskipun separuh samudera telah menorehkan jejaknya yang baru di atas pasir dan meskipun kita juga telah menghapusnya dengan seribu bunga yang kita beli dalam tidur kita yang tak nyenyak itu.
Percuma saja, karena kita memang tak ingin ada jejak yang terhapus,
Karena pada akhirnya, setiap hidup menyajikan kisahnya sendiri entah itu berharga ataupun sekedarnya. Itupun hanya permainan kata-kata, apakah itu bermakna atau tidak bukanlah karena memiliki atau tidak, karena, tak ada siapapun yang pernah memiliki apapun

Statistik

Mempelajari statistik bukanlah perkara mudah, apalagi bagi mereka yang terlahir dengan bakat seadanya di bidang angka-angka. Tetapi, mari kita lihat dari sudut pandang yang lain. Bukankah statistik tak lebih dari sebuah sejarah? Tak ada bedanya angka-angka statistik yang bisu dan dingin itu dengan sebuah batu candi yang teronggok di panas dan hujan. Mereka sama dingin dan bisunya. Mereka sama tak berartinya tanpa kita mencoba memahaminya. Mereka bahkan tak peduli pada apapun yang terjadi dengan atau tanpa kehadirannya.

Angka-angka statistik adalah kumpulan masa lalu yang dibawa ke masa kini, dan kita mencoba memahami apa yang terjadi di masa terjadinya peristiwa itu. Bukankah sejarah juga demikian?
Statistik menunjukkan angka kematian ibu melahirkan di negara ini masih tinggi. Apalah arti angka ini bagi mereka yang tak paham akan makna kematian seorang ibu? Statistik kematian ibu menggambarkan pada kita sebuah kepedihan, ketakutan, ketidakjelasan masa depan bahkan mungkin sekali sebuah keluarga yang di dalamnya tanpa kehangatan.

Angka statistik tentang pengangguran menunjukkan peningkatan. Kita tak akan mampu memahami angka ini apabila kita tak mampu memaknai (dengan jiwa kita) arti sebuah pengangguran. Statistik angka pengangguran membukakan hati kita tentang sebuah keterpurukan ekonomi, ketidakberdayaan hidup, anak-anak yang tidak cukup gizi dan pendidikan, rasa lapar, kedinginan, kesuraman masa depan, bahkan punahnya suatu generasi karena kemorosotan moral.

Karenanya, cobalah untuk memandang statistik dan sejarah adalah suatu disiplin kembar, yang membantu kita memahami peristiwa. Seperti kita mencoba memaknai setiap peristiwa sejarah sebagai sebuah proses dan peristiwa budaya, seperti itulah juga kita harus memaknai angka statistik. Tanpa pemaknaan tersebut, angka statistik dan sebuah batu candi, tak lebih dari kebisuan tanpa makna, dan sudah pasti, kita tak akan pernah peduli.

Wednesday, November 26, 2008

Tersisih

Tersisih menjadi kata yang tidak baik bagi perasaan, karena menimbulkan ketidaknyamanan, memunculkan kesedihan, menjadikan debar jantung meningkat, telinga menjadi merah, dan terkadang tanpa sadar mata mengeluarkan airnya. Tak ada yang menyukai menjadi pihak yang tersisih.

Tetapi, kehidupan tak akan lepas dari ketersisihan ini. Pohon-pohon muda yang lebih kokoh tumbuh baru, dan waktunya bagi pohon yang lebih tua untuk dipangkas.
Soekarno, pahlawan proklamasi bangsa ini, merupakan contoh bagaimana sebuah ketersisihan harus dihadapi, demikian pula Soeharto. Mereka adalah orang-orang yang disisihkan, mungkin meradang, mungkin menerima dengan lapang, mungkin menangis. Tersisih, karena harus berhenti pada waktu yang seharusnya belum berhenti. Terlepas dari berbagai kesalahan yang diperbuatnya, Soekarno tersisihkan bahkan menjadi tahanan di rumahnya sendiri tanpa komunikasi, tanpa boleh bertemu dengan sahabat-sahabatnya, bahkan yang paling ironis, tanpa dapat bertemu dengan rakyat yang sangat dicintainya.
Demikian pula dengan Soeharto. Bagaimana rasa tersisih itu muncul ketika orang-orang yang selama ini dekat dengan dirinya atas nama rakyat, tiba-tiba berpaling dengan juga mengatasnamakan rakyat.

Di kantor, mungkin sekali kita menghadapi ketersisihan. Ketika jalan kita mungkin sudah tidak sesuai lagi dengan jalan yang diinginkan atasan, biasanya kita tersisih dengan jalan minoritas yang kita yakini kebenarannya. Atau, ketika terjadi persaingan untuk meraih tangga yang lebih tinggi, dan kita disingkirkan oleh kelompok lain yang lebih kuat, ketersisihan itu akan dirasakan. Mungkin kita menerima dengan lapang. Mungkin juga ada sakit hati. Tetapi bukankah itu bagian dari kehidupan alamiah yang harus dilalui?

Seperti itulah kehidupan. Ada malam-malam yang panjang seolah waktu enggan mengalir dan kita dibuatnya tertekan. Tapi, selalu ada matahari pagi. Di setiap hujan, akan terbit matahari, di setiap kemarau akan hadir hujan. Mereka yang hanya menyukai kemarau akan memancarkan kebencian pada hujan, Tetapi mereka yang menyadari makna kehidupannya bagi orang lain akan menyukai keduanya, karena mereka sadar, tak akan ada siang kalau tak ada malam.
Seperti juga daun, satu persatu harus mengalah untuk tumbuhnya tunas baru. Bila daun itu tumbuh bersama-sama dan berdampingan, salah satu harus mengalah untuk sempurnanya daun yang lain.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip Stan Shih, Chairman - CEO Acer, dalam bukunya Me - Too is Not My Style “....Berbagi adalah satu konsep yang sangat penting dalam menajalankan sebuah bisnis..... Barbagi kepemilikan dengan orang lain membuat kami lebih makmur ..... Berbagi membantu kami memperoleh lebih banyak”

Tersisih adalah bagian dari laku hidup yang harus dijalani. Kita bisa memandangnya dari dua sudut. Pertama, kita yakini bahwa segala sesuatu memiliki periodenya sendiri, dan menikmati keberhasilan maupun ketersisihan secara seimbang akan menjadikan hidup makin tenang. Kedua ketersisihan dipandang dengan lapang serupa keihlasan untuk memberikan kesempatan tumbuh yang sempurna bagi daun lainnya. Dan dengan berbagi, bukankah kehidupan kita akan makin kaya?

Monday, November 10, 2008

Budi Darma

Lama sekali saya tidak marasakan kelezatan santapan rohani dari Budi Darma. Terakhir saya membaca novelnya mungkin sekitar tahun 1996, saya lupa persisnya, yaitu Nyonya Talis. Dulu saya selalu menunggu munculnya karya baru beliau, karena selalu menyisakan “rasa” yang tak seketika hilang. Budi Darma selalu menyisakan pertanyaan yang membuat hati kita miris di setiap akhir petualang dengan tulisannya. Biasanya beliau menulis dengan tokoh aku, yang merupakan manusia biasa dan seringkali penuh kekurangan. Inilah yang jarang dimiliki penulis lain. Di Indonesia, tokoh aku yang manusia biasa dan pragmatis sering juga muncul di novelnya Dini (NH Dini). Tapi, agak berbeda dengan Budi Darma, Dini, mungkin karena keperempuanannya (karena sifat empu – nya) sering menyajikan sifat pragmatis dan kelemahan ini dengan sangat halus.
Budi Darma lebih lugas. Disinilah menariknya. Budi berani menampilkan tokoh-tokoh pengecut, serakah, main kayu, lepas tanggung jawab, dan karakter gelap lainnya, yang mengakui setiap kelemahan, kepengecutan, dan keculasan yang dimilikinya. Ini seperti cermin diri kita, tetapi bedanya kita jarang mengakui kepengecutan dan keculasan kita.
Kita yang selama ini menutupi diri dengan kosmetik sopan santun dan tutur bahasa yang lembut, seolah ditelanjangi dan hanya bisa termenung membaca tulisannya.
Bulan September lalu, satu lagi kumpulan cerita pendek Budi Darma diterbitkan. Judulnya Laki-laki Lain Dalam Secarik Surat. Merupakan kumpulan cerita terbaik. Sayang sekali tidak ada pengantar penerbit mengenai pengertian kumpulan cerita terbaik tersebut, atau terbaik menurut siapa dan apa kriteria pemilihannya, siapa saja yang terlibat dalam pemilihan. Tapi itu hanyalah masalah teknis.
Terbitnya kumpulan cerita ini, mengingatkan kembali pada koleksi lama dan perenungan-perenungan lama yang mulai pudar. Seolah mengasah pisau nurani yang mulai tumpul. Coba kita simak salah satu percakapan dalam Secarik Surat berikut:

Dan sebagai layaknya seorang bawahan yang paling rendah bertemu dengan seorang atasan yang paling tinggi dan sangat dihormati dan dikagumi maka prajurit itupun memberi hormat yang berlebihan-lebihan sehingga untuk sekilas jendral tertinggi yang terlalu sering menerima sanjungan itu merasa kurang senang....

Bukankah ini cerminan kita? Pada saat menghadap atasan, berupaya membuat kesan luar biasa dengan penghormatan yang bahkan berlebihan? Atau sebaliknya, pada saat staf menghadap, kita merasa seolah tak senang dengan penghormatan yang berlebihan, meskipun, dalam hati kita ada kebanggaan sebagai atasan yang terhormat?
Atau coba kutipan berikut, masih dari cerita yang sama:

“Hai Prajurit, untuk apakah kau ikut perang?” kata jenderal.
“Tidak tahu, Jendral,” kata prajurit. “Saya kira karena dalam keadaan seperti ini mencari pekerjaan yang mudah adalah mencari pekerjaan sebagai prajurit. Lagi pula saya masih muda dan merasa senang mendapat kesempatan untuk memanggul senapan dan sekali tempo menembakkan senapan untuk menunjukkan bahwa saya betul-betul jantan.”

Budi Darma menyeruak hati kita dengan pertanyaan seberapa besarkah idealisme serorang manusia? Apakah “prajurit” selalu identik dengan patriotisme membela negara? Ada perut yang memerlukan makanan dan ada ego yang memerlukan pengakuan. Itulah manusia, dan Budi Darma mengingatkan kita akan itu.