Monday, December 14, 2009

Pohon Rahasia


Sungguh, dia telah menanti lebih dari 30 tahun untuk bertemu dan mengatakan yang seharusnya dia katakan. Tapi, itu tak mudah. Tiga puluh tahun, bukan waktu yang singkat memang, karena itu dimulainya sejak pertama kali mengeja nama itu, mengenali wajah dengan rambut lurus sebahu dengan sedikit poni di atas matanya. Dia masih sangat ingat, ada beberapa waktu ketika perempuan yang dikenalinya sejak kecil itu mengubah tampilannya dengan sedikit mengombakkan rambut. Sebenarnya itu sangat tak indah. Tapi tak dikatakannya, tak pernah berani untuk berkata-kata ketika itu, selain menatap mata. Pernah juga dia melihatnya memotong rambutnya sangat pendek. Kelihatan sangat lebih cantik. Kelihatan sangat cerdas. Dia sangat menyukai perempuan yang cerdas dengan rambut terpotong pendek.

Dia telah menantikan lebih dari 30 tahun sejak pertama kali menyebutkan nama perempuan itu dengan keraguan yang luar biasa, dan akhirnya dibatalkannya memanggil nama itu, menunggu besok hari, yang mungkin datang membawa keberanian lebih banyak. Tiga puluh tahun lebih, itu dulu, ketika dia bersekolah masih bercelana pendek dan baju dekil yang penuh bekas getah buah hutan dan debu halaman sekolah berbaur bau keringat menempel.

Tiga puluh tahun lebih, dia biarkan tumbuh, mengakar, berdaun, tumbuh rindang di padang hatinya, karena setiap hari disiraminya dengan kata yang tak pernah terucapkan itu. Dan dia berjanji pada dirinya sendiri akan menyampaikan kabar itu kepadanya suatu hari kelak nanti, entah kapan dan dimana, tetapi dia yakin pasti akan bertemu.

Ternyata hari ini datang sama saja dengan kemarin dan lebih dari tigapuluh kali tiga ratus enam puluh lima hari yang terlalui, dia tak juga berani mengabarkan berita tentang pohon rindang itu, dan sekarang diapun menjadi ragu-ragu untuk mengabarkan berita itu. Karena apapun juga, masihkah ada gunanya?.

Monday, October 12, 2009

Reuni



Idul fitri, saling memaafkan, saling berkunjung. Bagian dari tradisi hidup. Sangat menarik, apalagi ketika teman-teman lama saling berjanji untuk ketemu. Ada yang sudah menjadi guru besar. Ada yang meninggalkan negara tercinta mencari kehidupan di negeri yang jauh. Ada yang sukses besar, ada yang menikmati hidup yang mengalir begitu saja. Setiap orang memliki takdirnya sendiri-sendiri, seperti garis tangan, tak ada yang pernah sama. Tetapi ada yang selalu sama sejak dulu, kekawanan.....

Tuesday, June 23, 2009

GOLF

Ada surat dari asosiasi. Terbungkus amplop dan ketikan tipe huruf resmi. Ditutup rapat dengan perekat yang tak mudah di buka pula. Saya berpikir ini acara formal yang serius. Ternyata konfirmasi kesertaan pada turnamen golf.
Mengapa golf? Mengapa bukan bedah buku, atau klub fotografi, atau acara sosial lainnya?
Entah bagaimana sejarahnya, tetapi golf saat ini adalah sebuah status sosial. Kata para golfer juga, tidak ada kontrak bisnis tanpa lapangan golf. Untuk status sosial, saya akan sepakat, tetapi untuk ”tak ada kontrak bisnis tanpa golf”, saya akan berpikir kembali.
Mari sedikit berhitung, berapakah nilai investasi untuk sebuah lapangan golf? Bukan jumlah yang sedikit, dan tentu saja investasi lapangan golf bukan milik UMKM sebagaimana membangun lapangan futsal. Karenanya, untuk bermain golfpun kita harus membayar mahal. Bukankah itu prestisius? Tentu saja, harga sarana pendukung golf tak boleh murah. Kalau murah, pasti tak laku. Setidaknya membutuhkan 7 digit angka untuk mendapatkan tongkat pemukul yang termurah. Di lapangan? Jangan berharap teh panas seharga dua ribu rupiah seperti di lapangan bulutungkis di balai RT. Belum lagi kalau dilihat merk yang melekat di tubuh, mulai dari kepala (topi, kacamata), turun ke badan (pakaian, sarung tangan), kemudian bagian kaki (kaos kaki dan sepatu). Golf adalah sebuah aktualisasi diri sukses finansial.
Bandingkan dengan ucapan seorang teman di facebook, ”Lumayan, bulutangkis di depan rumah setengah jam...”
Bulutangkis di depan rumah, berkeringat, bersosial, cukup dengan raket seratus atau dua ratus ribu rupiah bahkan ada yang hanya puluhan ribu rupiah. Asal ada sedikit tanah kosong, buat garis tali plastik atau pakai kapur putih. Kalau kas RT/RW sedikit berlebih atau kalau ada warga yang sedikit berkelebihan, buat tiang bambu dan belikan net. Beli sedikit kabel dan lampu. Maka semua orang bisa berolah raga. Pagi hari diisi oleh para ibu, sore hari anak-anak. Malam hari para bapak. Tapi, itu murah meriah, dan yang murah tentu saja tidak meningkatkan status sosial....
Sepakat, golf adalah simbol status, silahkan saja bagi yang berminat dan dapat menikmatinya...
Apakah golf tempat memperoleh kontrak bisnis? Benar. Lapangan golf adalah tempat kumpulnya kelompok masyarakat yang secara ekonomi telah mapan. Tentu saja berkumpul dengan mereka membuka peluang untuk memperoleh kontrak bisnis. Tapi, akan berbeda ceritanya apabila kontrak bisnis baru didapat setelah menjamu bermain golf. Bisa lihat perbedaannya? Bertemu dan bersosial dengan banyak orang sukses (ekonomi), tentu saja membuka peluang untuk saling berinteraksi dan membuka peluang untuk bisnis baru. Tapi, menjamu pejabat tertentu bermain golf dengan harapan mendapatkan kontrak bisnis, nampaknya bukanlah hal yang bijaksana. Selain mengeluarkan uang perusahaan yang tidak sedikit, cara ini hanya akan menimbulkan lomba perjamuan. Kompetitor tentu saja akan memberi jamuan di lapangan lain, yang lebih prestisius. Pada ujungnya, yang terjadi adalah biaya proyek menjadi mahal, karena apapun juga, uang perusahaan yang telah dikeluarkan harus bisa diperoleh kembali. Kalaupun harga kontrak tidak dinaikkan, mungkin standar kualitas yang diturunkan.
Selamat menikmati golf bagi mereka yang menikmatinya. Saya sangat yakin, golf seperti juga setiap olahraga yang bertujuan mengalahkan diri sendiri, akan menimbulkan kecanduan. Jadi, saya meskipun tidak bermain golf, sangat bisa memahami adanya orang yang sangat mencintai permainan ini. Seperti pemancing yang selalu melamunkan ikan besar pada saat melempar kailnya, golfer pun pasti memimpikan keajaiban hole in one.
Bagi mereka, para eksekutif yang tidak bermain golf, tidak perlu cemas bila ingin menunjukkan sukses ekonominya. Ada banyak cara lain. Menjadi penyantun tetap di sekolah-sekolah pinggiran, menjadi ayah asuh bagi anak-anak yang kecerdasan dan kemampuan ekonominya terbatas, atau memberikan waktu dan sumberdaya yang dimilikinya untuk berbagi pengalaman dan mengembangkan ekonomi kelompok yang termarginalkan, mungkin bisa menjadi alternatif. Melihat mata anak-anak yang kembali berbinar menatap masa depannya mungkin akan terasa lebih indah daripada memandang hijaunya lapangan golf. Mungkin. Saya tidak tahu, karena saya tidak bermain golf.

Friday, June 19, 2009

Jejak

Seperti jejak-jejak air di pasir itu yang coba dihapuskan oleh angin atau terkadang jejak angin di air yang coba dihapuskan
tak akan hilang.
Itu juga setiap garis yang dibuat oleh kaki kaki kita
atau tangan-tangan kita
atau mata-mata kita
atau telinga-telinga kita
atau hidung-hidung kita
atau bibir-bibir kita
atau lidah-lidah kita.
Dan kita coba hapus dengan hati yang kita miliki. Tak akan pudar, karena setiap hapusannya telah menjadikan jejak baru yang makin dalam
Tak ada yang pernah tahu mengapa dan dimana atau akan kemana. Semuanya seperti telah digariskan dalam setiap angin yang melaluinya

Friday, March 27, 2009

Taman Kasih

Ada sebuah taman, kata penutur cerita itu memulai. Taman itu sangat indah, didalamnya mengalir sungai-sungai yang jernih.
“Itu surga”, seorang pendengar memecah keheningan.
“Bukan, itu Indonesia” orang lain menimpali. “Tapi itu Indonesia yang dulu, waktu manusianya tidak sebanyak dan serakus sekarang.”
“Sstt, diamlah, biarkan ceritanya,”

“Taman itu adalah taman yang sangat indah. Di dalamnya mengalir sungai yang jernih. Bukan itu saja, ada satu perahu yang selalu lewat. Perahu Kertas”.
Tukang cerita itu kemudian melantunkan sebuah puisi:
“Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.....” [1]

Perahu itu setiap pagi menelusuri tepian sungai. Di dalamnya, pemilik taman, mengemudikan sendiri perahu itu. Pemilik taman itu sesungguhnya adalah wanita yang tidak terlalu cantik. Tidak, tak ada bintang film cantik di ceritaku ini, karena ini hanyalah cerita tentang taman kasih.”
“Teruskan saja ceritamu kami juga tak peduli apakah ada perempuan cantik atau tidak..,” sebuah suara menyela.
“Sshh, diamlah, biarkan dia bercerita,” yang lain menimpali.
“Pemilik taman itu selalu mengemudi sendiri perahu kertasnya. Dia akan menghampiri siapa saja yang ada ditepian sungai, menyapa mereka penuh semangat dan tentu saja memberikan senyum yang hangat. Sesungguhnya pemilik taman itu bukan seorang perempuan yang cantik dan tak pernah muncul di layar televisi dalam cerita selebritis. Dia hanya perempuan biasa saja, yang memiliki taman yang didalamnya mengalir sungai-sungai yang jernih. Dia hanya perempuan yang ingin berbagi kebahagiaan kecil setiap hari dengan siapa saja yang dia temui di pinggiran sungai yang mengalir di tamannya.”
“Mengapa dia membangun taman seperti itu?”. Sebuah suara bertanya.
“Sshh, diamlah, biarkan ceritanya mengalir.” Suara lain memotongnya.
“Benar,” jawab si pencerita. “Aku pernah bertemu dengannya dan bertanya mengapa dia membangun taman seperti itu. Aku dulu juga belum paham mengapa harus membangun taman dan menyapa setiap orang dan berbagi kebahagiaan kecil di setiap pagi. Tapi, sungguh, tak mudah untuk melupakan jawabannya. Perempuan yang tidak cantik itu hanya ingin melakukannya begitu saja, tanpa harus memiliki alasan apapun. Inilah yang kira-kira dikatakannya – karena aku tak mampu mengingat dengan pasti kata demi kata:"
“Mengapa harus ada alasan? Bukankah lebih banyak kehadiran kita yang tanpa alasan dan ada begitu saja. Mengapa sekedar untuk berbagi kebahagiaan kita harus memiliki alasan? Mungkin aku bisa membuat berbagai alasan yang menarik, yang membuat decak kagum orang banyak atau mungkin aku bisa beralasan yang berbau politis, sehingga ada petinggi partai yang akan membacanya kemudian tertarik untuk mengikutkan aku sebagai calon anggota legislatif di partainya. Bila itu yang aku lakukan, berarti tujuanku membuat taman bukanlah berbagi kebahagiaan, tetapi mencari jalur untuk meningkatkan derajat kehidupanku. Jadi, aku pikir, tak perlu ada alasan. Biarkan segalanya menjadi ada atau tak ada tanpa harus bertanya apa dan mengapa. Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.”[2]

“Itu kesombongan,” bisik sebuah suara, “Dia menunjukkan kesombongannya dengan merendahkan diri, seperti sombongnya pohon padi yang buahnya penuh, badannya seolah membungkuk, tapi yang ditampakkan bukanlah kerendahan melainkan pamer bulir-bulir yang padat berisi” lanjut bisikan suara tadi.
“Shhh, diamlah, aku ingin mendengar ceritanya”, orang lain disampingnya menimpali.

Demikianlah tukang cerita itu berkisah tentang sebuah taman yang terindah dengan pemiliknya yang setiap pagi berkunjung dengan perahu kertas ke rumah-rumah tetangganya dan menyapa siapa saja yang ditemui sepanjang sungai itu, sekedar menyampaikan salam dengan kebahagiaan kecil di hari itu.
Tukang cerita itu sangat memukau, sehingga semua orang menjadi terpesona dan tak ingin memalingkan dirinya sejenakpun dari rangkaian kisah yang disampaikan. Pagi berubah menjadi siang, siang menjadi sore, sore menjadi malam, dan malam menjadi pagi lagi, tukang cerita itu tak juga menghentikan kisahnya. Tak ada yang beringsut, Semua mendengar takjub. Anak-anak kecil sekalipun larut
Seisi perkampungan itupun tak ada yang ingat dengan ladang dan ternak miliknya. Anak-anak lupa dengan sekolahnya. Perut mereka serasa telah terisi penuh tanpa perlu makanan lagi. Demikian pula meraka tak perlu memikirkan bagaimana membuang ampas makanan yang ada dalam perut, karena ampas itu hilang sirna dengan sendirinya.

Pada sebuah siang yang mendung dan lembab dengan udara yang tak nyaman, akhirnya cerita itu diselesaikan.
“Dulu, aku termasuk sering beristirahat di sana, tetapi sekarang tak lagi. Taman itu tetap terbuka, tetapi perempuan itu tak pernah lagi hadir dengan perahu kertasnya. Entah kemana. Mungkin juga terlalu lelah untuk selalu berbagi. Mungkin juga sekarang harus mengurusi anak-anaknya yang semakin besar dan menuntut banyak perhatian. Tapi, yang jelas pemilik taman itu tak pernah lagi menyapa pengunjungnya. Mungkin juga pemilik taman itu sekarang masih sering mengunjungi tetangganya, tetapi memasang sihir agar aku tak dapat memandangnya dan memasuki taman itu, entahlah." Wajah tukang cerita itupun tiba-tiba berubah menjadi murung.

Setelah cerita ditutup, pendudukpun bubar, memasuki ke dunia yang pengap dan sesak. Bau selokan tercium kembali. Lapar mulai terasa. Teriakan penjaja makanan berwarna-warni terdengar nyaring, bersahutan dengan teriakan penjual sayur dan air minum. Umpatan dan kata kotor mulai terdengar di tengah suara serak teriakan tangis anak kecil.

[1] Perahu Kertas, Puisinya Sapardi Djoko Damono
[2] Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa, diambil dari puisinya Goenawan Mohamad berjudul “Pada Sebuah Pantai: Interlude

Wednesday, January 28, 2009

Bulan

Tadi malam mendung tipis, mungkin bukan mendung, hanya sekedar kabut yang agak tebal. Menyelimuti sawah-sawah. Menutupi cahaya bintang. Tapi, ada rembulan yang mencoba bertahan. Mungkin ingin memberikan sedikit kecerahan kepada manusia yang hari-hari belakangan ini kehidupannya semakin susah. Cahaya kuningnya memudar pucat, tapi masih mampu menembus tirai kabut itu. Dia seperti malu-malu untuk menampakkan dirinya sendiri.
Mungkinkah Bulan malu untuk menampakkan diri? Bukankah dia bersama bintang kemilau selalu menjadikan sumber cahaya dan petunjuk arah dalam kegelapan?
Bulan memang terkadang aneh. Pernah suatu pagi yang cerah, dia bertahan tak mau hengkang, padahal matahari sudah datang. Seolah dia hendak menantang matahari.
”Oh.. itu bukan bulan yang tahu diri,” bisikku dalam hati. Bukankah Bulan selalu hadir sebagai bayangan matahari, karena sesungguhnya kuningmu itu hanyalah milik matahari semata? Tapi Bulan kadang memang keterlaluan. Pernah suatu ketika dia mengelabui anak-anak kecil dengan logika aneh yang dibuat jungkir balik, tetapi banyak yang mempercayainya. Mungkin itu karena keindahan yang selalu ditampilkan Bulan – yang selalu membius para penikmatnya.

Begini. Suatu ketika Bulan bertanya pada sekumpulan anak-anak yang sedang bermain di halaman rumput mereka
”Hai.. selamat pagi anak-anak, pagi ini aku punya pertanyaan untuk kalian,” sapa Rembulan (nama lengkapnya Bulan).
”Seellaammaaaattt Paaaaggiiiiii Bulannnnn...., pertanyaan apakah itu?” teriak anak-anak sambil kegirangan. Anak-anak memang tak pernah sedih.
”Tahukah kalian, manakah yang lebih bermanfaat, Matahari atau dirikukah?” tanya Bulan.
Anak-anak tak mampu menjawab, sebaliknya mereka terpesona pada kemilau kuning Bulan.
Melihat hal tersebut, Bulan dengan lantang (dan ehm.. tentu saja sedikit kesombongan – jangan terlalu ditampakkan, agar tetap nampak mempesona), berkata
”Siapakah yang datang ketika kalian menghadapi gelap?”
”Siapakah yang hadir ketika bintang tak cukup menerangi kalian?”
”Siapakah yang selalu diminta hadir untuk menemani tidur kalian yang lelap di malam gelap?”[1]
”Apakah kalian tidak melihat, aku selalu datang di malam hari saat kegelapan hadir, sedangkan matahari hadir ketika siang saat terang?”

Bulan memang aneh, dia akan membius anak-anak dengan logika anehnya , dan membius orang dewasa dengan sihir indahnya. Bahkan, seorang penyair pernah menuliskan lagu

Juwita malam, siapakah gerangan tuan
Juwita malam, dari bulankah tuan
[2]

Malam ini bulan itu muncul dengan malu-malu, dari balik kabut tipis. Seperti selapis sutera menjadi cadar juwita malam. Sungguh mempesona. Dan, manusiapun seperti terbius, kehilangan nalar pikiran, kehilangan akal budi, kehilangan jati dirinya, kecuali mereka yang memandanginya dengan hati yang bersih, dan memikirkan sumber cahaya yang sesungguhnya. Mereka yang benar-benar memahami bahasa rembulan, yang sering berteka-teki dan menyesatkan hati yang tak bersih.

[1] Ambilkan Bulan, sebuah lagu anak-anak
[2] Juwita Malam, Ismail Marzuki

Tuesday, January 20, 2009

Kesendirian dan Kesedihan

Ada kalanya, hidup rasanya begitu sepi. Teman-teman seolah lenyap begitu saja dari hati kita. keberadaan teman di sekitar kita tak lagi terasakan. Sepi yang seperti itu rasanya seperti memasuki ruang kosong yang senyap – tapi dipenuhi kegelisahan. Di tengah hiruk pikuk pekerjaan yang mengalir, di tengah arus lalu lalang pegawai lain, dan mungkin di tengah tumpukan pekerjaan yang tak terjamah, dan di tengah kompetisi untuk jenjang karir yang lebih tinggi kita, merasakan kesendirian, karena ditinggal oleh teman-teman lain.
Ada orang-orang yang begitu mudah mengusir kesendirian ini dan menemukan banyak aktivitas dan kekawanan baru. Tapi, mungkin lebih banyak yang tidak menyukai kesendirian, karena sepi yang ditimbulkannya.

Namun, pada tulisan ringkas ini, saya ingin menyampaikan pesan yang pernah ditulis oleh Gede Prama, ”bila masih ada orang yang bisa membuat kita bahagia atau menderita, itu tandanya saklar kebahagiaan masih dipegang oleh orang lain.

Saya ingin menafsirkan kalimat di atas dalam konteks kesendirian, bahwa setiap orang pasti pernah mengalami kesendirian dan merasakan sepinya ruang hati yang kosong, tetapi, tidak perlu mengalami kesengsaraan karenanya, sebab, dia sendirilah pemegang kunci kebahagiaan itu, bukan orang lain.

Monday, January 12, 2009

Menyalip di Tikungan

Menyalip di tikungan merupakan atraksi yang sangat menarik pada sebuah balapan, entah itu untuk roda dua maupun roda empat. Tetapi tentu saja atraksi itu menarik di arena balap, bukan di jalan raya. Di jalan raya biasanya antrian lampu lalu lintas untuk berbelok lebih panjang dari pada mereka yang harus jalan lurus. Dan, kesempatan ini sering dimanfaatkan oleh pengemudi yang tidak sabar dalam antrian panjang untuk mengambil jalur lurus dan ketika lampu menyala hijau, tiba-tiba membelokan kendaraannya. Tentu saja mereka menutup antrian kendaraan lain yang hendak berbelok. Ini juga menyalip di tikungan, tapi, maaf, ini bukan atraksi yang menarik, tapi ini, sekali lagi maaf, adalah bentuk ketidak sopanan di jalanan.
Di lingkungan kerjapun kadang kita temukan hal seperti ini. Ketika harus bersaing dengan kandidat lain, kadang kita terlupa dengan berbagai etika perilaku. Kadang ambisi membutakan kita dengan menutup jalur orang lain untuk menampakkan kinerjanya. Bahkan, kadang kita terlupa dan mengangkat diri kita sendiri dengan berdiri di atas kepala orang lain. Sebenarnya mungkin kita tidak bermaksud untuk menjatuhkan atau merendahkan kandidat lain, tetapi karena keinginan untuk dilihat oleh pengambil keputusan, maka kita berupaya menonjolkan diri, dan cara yang paling mudah untuk menonjol adalah dengan membuat yang lain terlihat merunduk. Menyampaikan ide cemerlang atau jejak sejarah keberhasilan pada atasan kadang memang perlu dilakukan. Tetapi, menambah bumbu laporan dengan kisah kegagalan pihak lain bukanlah sesuatu yang bijaksana.
Seperti katak yang berenang, selalu menjejakkan kaki untuk menekan air. Semoga kita tidak menjadi serupa dengan katak, menjejak kepala teman kita hanya karena sebuah ambisi untuk berkarir lebih tinggi.
Di arena balapan, menyalip di tikungan menjadi daya tarik. Di jalanan, menyalip di tikungan dan menutup jalur kendaraan lain akan membahayakan dan tentu saja mungkin menimbulkan sumpah serapah. Di tempat kerja, menyalip di tikungan dan menutup akses orang lain bukanlah gambaran calon pemimpin yang baik.