Monday, July 30, 2012

Perbankan Syariah [bagian 2]

Seberapa Syariah?
Bagian pertama tulisan saya menjelaskan tentang model perbankan syariah. Pada bagian ini saya ingin menguraikan tentang kesyariahan-nya perbankan syariah. Mengapa? Karena banyak yang ragu dengan model ini, dan pesimis bahwa perbankan syariah tak beda dengan perbankan konvensional, kecuali baju luarnya yang berwarna hijau. Pendapat seperti itu tidak sepenuhnya salah, karena minimnya informasi proses bisnis dalam bank syairiah. Mari kita pahami dengan contoh sederhana berikut:

Seorang non muslim ingin membuka rumah makan. Karena tinggal di Indonesia, dan segmen pasar yang besar adalah kaum muslim, maka, si pengusaha ini berniat membuat rumah makan yang tunduk pada tata cara makanan muslim. Bolehkan non muslim membuka rumah makan dengan sajian makanan yang memenuhi persyaratan makanan muslim? Tentu saja boleh. Bahkan Nabi Muhammad pun berniaga dengan kaum yahudi.

Untuk menjamin restoran tadi menjual makanan yang halal, si pengusahan merekrut beberapa tenaga muslim yang fasih dalam menjamin makanan yang halal. Tenaga-tenaga ini menyusun sistem dan prosedur mulai dari pemiih bahan baku, penyiapan sebelum dimasak, sampai bagaimana makanan disajikan. Di dalam sistem dan prosedur itu, termasuk bagaimana cara menyembelih ayam atau menentukan pemasok daging ayam yang dipotong sesuai tata cara muslim.

Ayam goreng, sate ayam, steak dan semua yang disajikan restoran tersebut sama lezatnya dan mungkin sama gosongnya dengan penyajian di restoran lain. Kompor, wajar, pemanggang, gelas, piring yang digunakanpun sama. Cara memasaknyapun sama. Tak ada prosedur yang berbeda, kecuali pada niat [akad] saat penyiapan bahan. Restoran yang berani mempromosikan dagangannya sebagai “tunduk” pada syariah Islam tersebut memotong atau memilih daging yang dipotong dengan niat dan atas nama Allah, sedangkan restoran yang lain, tidak berpikir sampai di situ. Pemilik restoran yang lain mungkin berasumsi, dengan membeli daging atau ayam potong di pasaran, pasti sudah dipotong dengan cara yang benar menurut agama Islam, karena tinggal di negara dengan mayoritas muslim.

Begitu juga dengan perbankan syariah. Ini adalah lembaga keuangan dengan motif mencari laba. Sistem komputer di dalamnya sama, alat-alat yang dipakai sama. Akutansi dan pencatatannya sama dengan perbankan konvensional. Model matematika untuk penghitungan sama. Orang-orangnya sama berjualan. Yang membedakan adalah niat [akad] di dalamnya. Perbankan syariah tidak mengenal konsep bunga, yang ada adalah margin. Perbankan tidak mengenal pemberian kredit, yang ada adalah pembiayaan [project sharing] dan jual beli [ini yang paling banyak]. Bukan jual beli uang, tetapi jual beli barang yang diperlukan oleh konsumen.
Bila kita ingin membeli mobil seharga 200 juta dan hanya memiliki yang 50 juta, di perbankan konvensional kita meminjam yang 150 juta dan dikenakan bunga tertentu. Di perbankan syariah, mobil itu dibeli oleh bank, kemudian dijual kepada nasabah dengan margin tertentu.

Lantas, bagaimana dengan margin yang seringkali disetarakan dengan tingkat bunga? Itu hanya sebuah proses matematika dalam akuntansi. Perbankan harus memisahkan catatan Harga Pokok Pembelian dengan margin. Dengan sedikit pembeli dan jangka waktu yang singkat tanpa banyak variasi, mudah saja bagi kita untuk mencatat margin dalam bentuk absolut, tetapi, bila menyangkut ribuah nasabah dan variasi jangka waktu yang bermacam-macam, mencantumkan margin dalam bentuk persentase hanyalah sebuah model perhitungan.

Siapakah yang menjamin bahwa bank syariah tunduk kepada hukum Islam? Dalam tahap awalnya, untuk menjamin ini, sistem dan prosedur yang akan diberlakukan harus diuji lebih dulu oleh Majelis Ulama Indonesia dan Bank Indonesia. Pada tataran operasional selanjutnya, sebagaimana rumah makan dalam contoh di atas, harus ada Dewan Pengawas Syariah. Dewan ini beranggotakan orang-orang sangat paham pengetahuan agama terutama untuk muamalah. Keanggotaan Dewan Pengawas Syariah memiliki persyaratan kompetensi tertentu dan harus memperoleh persetujuan Majelis Ulama Indonesia. Tugas utama DPS ini adalah menjamin bahwa seluruh sitem dan prosedur serta produk yang ditawarkan oleh bank tunduk kepada aturan hukum Islam.

Namun demikian, sekali lagi, perbankan syariah bukanlah kegiatan dakwah. Perbankan syariah adalah sistem perbankan yang “tunduk” pada sistem ekonomi Islam. Siapapun yang cocok dan nyaman dengan sistem tersebut, boleh memanfaatkannya.

Sekarang, tak perlu ragu kan..

Perbankan Syariah [bagian 1]

Hasil dari tangan tak terlihat [invisible hand] itu, memang tak akan pernah terlihat, karena memang tangan itu tak pernah ada.

Begitu yang disanpaikan Stiglitz atas ekonomi kapitalis. Konsepsi ekonomi kapitalis adalah pemilik modal melakukan investasi dan meciptakan lapangan kerja. Distribusi kekayaan dilakukan dengan pola tetesan air dari atas. Persaingan akan mendorong efisiensi usaha sehingga harga-harga menjadi murah dan kualitas meningkat. Sebuah “tangan” yang tak terlihat akan mengatur proses tersebut. Tapi, puluhan tahun setelah Adam Smith menyatakan tangan tak terlihat, hasilnya bisa kita lihat, sampai sekarang keadilan semakin jauh. Perekonomian meningkat, tapi kesejahteraan dan keadilan makin menjauh.

Sebagian ekonom yakin akan adanya sesuatu yang salah dari teori ekonomi kapitalis. Bahkan Keynesian, dengan lantang mengatakan “dalam jangka panjang, orang-orang akan mati”, untuk membantah ekonom pasar bebas yang sangat yakin bahwa kesejahteraan dan keadilan ekonomi memerlukan waktu.

Pemikiran ekonomi Islam kemudian muncul seolah menjadi solusi terbaik keadilan dan kesejahteraan ekonomi. Maka digagaslah model pembangunan ekonomi berbasis Islam, termasuk di dalamnya perbankan syariah. Dengan perbankan syariah, setiap orang memiliki kesempatan untuk melakukan investasi, setidaknya investasi bersama-sama dengan pola bagi hasil.

Esensi utama dari perbankan syariah yang ada saat ini adalah “akad” dalam konsep bagi hasil. Ekonomi Islam tidak mengenal pinjaman untuk melakukan kegiatan usaha. Yang dikenal adalah konsep kerja sama. Tetapi, ini bukan berarti dalam ekonomi islam tidak terdapat pembelian secara angsuran. Pembelian barang secara angsuran tetap ada.

Contoh berikut akan mempermudah penjelasan. Bila ada peluang membuka sebuah toko sepeda motor yang memerlukan modal awal [investasi] senilai 100 juta rupiah sedangkan kita hanya memiliki uang 40 juta rupiah, maka dalam konsep ekonomi syariah, tak ada sistem meminjam uang sebanyak 60 juta. Yang ada adalah memberi kesempatan pihak lain untuk turut serta dalam kegiatan tersebut dengan share sampai 60 juta rupiah. Di perbankan konvensional, kita meminjam uang, di perbankan syariah, kita mengajak teman-teman yang dikoordinisaikan oleh bank syariah untuk menanamkan modal. 
Tetapi, menjual sepeda motor dengan angsuran adalah hal yang berbeda. Dalam hal seperti ini, layaknya penjualan lain, kita boleh menjual dengan angsuran dan menambah margin tertentu atas harga jual tersebut. Berbeda dengan bunga, margin tidak boleh berubah selama jangka waktu angsuran. Itu unsur kepastiannya.

Sekarang, kembali ke cerita tentang investasi. Apabila kegiatan perdagangan sepeda motor yang dilakukan bersama-sama tadi berhasil memperoleh laba, maka laba akan dibagi kepada seluruh pihak yang terlibat, termasuk bank, dengan konsep bagi hasil. Bila laba, bisa berbagi hasil, bagimana bila terjadi kerugian? Tentu saja kita berbagi risiko [kerugian].

Itu gambaran ideal dari sebuah perbankan syariah. Apakah itu sudah berjalan? Belum untuk saat ini, tapi setidaknya kita menuju kesana. Sulit membayangkan bahwa nasabah yang menanamkan dananya ke perbankan syariah akan mau menerima kenyataan bahwa investasi yang mereka lakukan mengalami kerugian. Ini sama sulitnya dengan pihak perbankan syariah untuk melihat proses bisnis dan pencatatan yang mendetail dari pengusaha yang menjadi sponsor utama proyek tersebut. Akibatnya, sambil menuju kesempurnaan, saat ini perbankan syariah masih bersedia menanggung kerugian yang terjadi pada nasabah, dengan menyebutkan rasio bagi hasil atas penanaman dana nasabah di bank tersebut. Dengan skema ini, hampir dapat dipastikan, nasabah penabung [sahibul mal] tidak akan mengalami kerugian. Mengapa bisa demikian? Karena perbankan syariah mengelola dananya dengan pola “pool” dana, bukan portfolio investasi individual. Artinya, demi kemaslahatan bersama, maka seluruh pendapatan [keuntungan] akan dihitung lebih dulu oleh bank, kemudian atas keuntungan tersebut, seluruh nasabah memperoleh hasil dengan rasio bagi hasil tertentu.

Apakah pola di atas telah benar-benar syariah? Tidak ada yang absolut di dunia ini. Tetapi, kami yang berkecimpung di dunia perbankan syariah setidaknya yakin dan selalu berupaya untuk menuju kesempurnaan. Meskipun yang sempurna dan absolut itu hanya milik Allah.

Hal penting lain, perbankan syariah bukanlah kegiatan dakwah, tetapi adalah sebuah konsep ekonomi yang memenuhi persyaratan hukum Islam. Jadi, perbankan syariah bukanlah untuk orang Islam saja. Di beberapa negara eropa dan juga mungkin di beberapa bank syariah di negara kita, terdapat eksektuif yang non muslim. Karena esensi yang ditawarkan perbankan syariah adalah sistem, bukan agama. Sistem yang tidak bertentangan dengan agama Islam. Siapapun yang tertarik dengan sistem tersebut, maka dia boleh menjadi nasabah. Di Inggris, perbankasan syariah berkembang pesat dengan lahirnya HSBC Amanah, sebelum perbankan syariah di Indonesia berkembang. Saya sendiri termasuk yang tidak begitu setuju bila sistem perbankan ini dikait-kaitkan dengan atribut keagamaan. Itu dua hal yang sangat berbeda.

Semoga penjelasan ini bisa memadai bagi teman-teman......

Monday, July 09, 2012

Kesaksian

Diskusi lebih dari tiga jam dengan seorang sahabat lama sungguh menarik. Karenanya, sayang bila materi diskusi itu tidak disebarkan kepada teman-teman. Ini sekedar gagasan yang mungkin bisa saja tidak sejalan dengan pemikiran teman-teman lain, tetapi, setidaknya ini akan menambah wawasan akan adanya sudut pandang yang berbeda dalam memahami sesuatu. Ini diskusi tentang syahadat.

Apakah syahadat itu? Teman saya mengajukan pertanyaan retoris, tapi tetap saja saya ingin menjawabnya. Saya mengucapkan syahadat sebagai persaksian bahwa saya meyakini keberadaan Allah, yang menciptakan langit dan bumi serta Muhammad sebagai sang rasul. Begitu jawab saya.
Teman saya, lantas bertanya kembali, mengapa engkau berani bersaksi tentang keberadaan Allah dan Muhammad, padahal engkau tak pernah bertemu dengan Muhammad, apalagi Allah?

Terus terang, saya tak dapat menjawab pertanyaan ini. Masalah kesaksian ini, bagi saya hanya sebuah kebenaran mutlak yang harus saya terima tanpa pertanyaan, begitulah yang diajarkan orang tua dan guru-guru saya.
Teman saya kemudian mencoba menguraikan kebingungan saya. Kesaksian tanpa menyaksikan pastilah sangat lemah. Seperti di pengadilan, seorang saksi sering diragukan kesaksiannya, karena jarak pandang yang jauh. Semakin dekat jarak pandang, maka makin pasti seseorang akan kesaksiaannya. Makin jauh jarak pandang, makin mudah pihak lain mengintimidasinya dengan keragu-raguan atas kesaksian yang dibuat. Begitulah hukumnya.

Kesaksian seseorang akan Allah dan Muhammad tentu saja sangat berbeda antara satu dengan yang lain, uraian sang teman ini dilanjutkan. Bagi Muhammad yang telah mengalami pertemuan langsung maupun tidak langsung dengan Allah, maka pastilah kesaksiannya akan sempurna. Atau kesaksian sabahat-sahabat Muhammad, yang berdiskusi langsung dengan Sang Rasul, tentulah mendekati sempurna. Tapi, kesaksian kita yang tidak mengalami interaksi langsung dengan Sang Rasul apalagi Sang Pencipta, tentu saja sulit untuk mendekati sempurna.
“Lantas, bagaimana agar aku bisa setidaknya makin menyempurnakan kesaksianku?”, tanyaku pada sang sahabat ini.

Sang sahabat menunjukkan sebuah batu berwarna putih cemerlang, tetapi tidak bening. Dia mengatakan serupa itulah hati kita [maksudnya tentu saja akal pikiran yang ada pada otak kita]. Kalau engkau terbiasa menjernihkan hati [pikiranmu], maka setiap pancaran sinar akan menembusnya, serupa kebeningan tanpa ada penghalang apapun. Kalau kebeningan itu telah engkau dapatkan, maka, engkau akan mampu memandang apapun dengan mata hatimu. Apapun yang kau pandang dengan mata hatimu itulah yang akan membawa perjumpaanmu pada Sang Pencipta. Ketika engkau memandang seekor semut, mengamati bakteri dengan mikroskop, memandang gunung, menikmati bintang, bahkan, memandang pada dirimu sendiri, apapun yang kau pandang, bila mata hati yang kau gunakan, maka engkau akan bertemu Allah.
Jadi, engkau bisa meningkatkan kesaksianmu dengan pasti bila mata hatimu digunakan dan dibersihkan secara terus menerus.

Setelah menyampaikan uraiannya, sahabat ini menyerahkan batu putih cemerlang tadi, sambil berpesan bahwa batu ini akan menguatkan kesaksianmu. Aku bertanya-tanya, bagaimana sebuah batu akan menguatkan kesaksianku akan Allah dan Muhammad? Seperti membaca pikiranku, sahabat ini menjelaskan bahwa batu itu tidak memiliki kesaktian apapun, kecuali, bila engkau ingin memandangnya dan memahaminya sebagaimana yang dia jelaskan sebelumnya. Batu itu hanya akan mengajakku untuk mengingat, bahwa hati yang bersih akan memendarkan cahaya ke setiap wujud yang ingin dilihat, sebagaimana Allah melihat dan mengetahui. Jadi, ketika engkau memandang batu itu, atau menggunakannya sebagai sebuah cincin, pandanglah dengan hatimu, bahwa sang batu diciptakan Allah untuk mengingatkan kita akan kebeningan, dengan demikian engkau akan menjernihkan pikiranmu. Dari situ, engkau akan semakin yakin dengan kesaksianmu. Itulah kekuatan sang batu

Danau Pisang

“Kau pergilah ke danau pisang, di sana ada banyakg makanan, pisang yang ranum berlipat dua dibandingkan apa yang kau lihat di sini,” kata raja kera kepada kera pejantan lain yang menjadi pesaingnya.

“Tapi, ingat, kau harus memetik yang di dalam danau terlebih dahulu, sebab, kalau engkau memetik yang di daratan lebih dulu, maka tanaman pisang yang di dalam danau akan melihatmu kemudian bersembunyi. Dia tak ingin dimakan oleh kera,” demikian lanjut raja kera.

Kera pejantan itupun dengan riang gembira menuju danau pisang. Benar-benar menakjubkan. Sekeliling danau dipenuhi tanaman pisang dengan buah yang ranum. Bukan hanya di daratan, tetapi juga di dalam danau.

Penasaran ingin membuktikan pesan sang raja, kera pejantan itupun mencoba meraih satu tandan pisang dari daratan. Setelah pisang dimakannya habis, dia melihat ke dalam danau. Benar sekali, buah pisang yang tadinya ada di dalam danau ikut menghilang. Alangkah bijaksana dan baik hatinya sang raja, pikir si kera. Beliau benar-benar tulus memberi informasi tentang danau ini. Kalau begitu, aku tak akan menyia-nyiakan kesempetan yang diberikannya padaku. Akan kuambil semua pisang yang ada di dalam danau lebih dulu, akan kubawa untuk sahabat-sahabatku di kerajaan kera.

Kera pejantan lantas menceburkan diri ke dalam danau dan tenggelam.....