Saturday, September 27, 2008

Kadang kala saya ingin menulis sesuatu yang berbeda dengan tulisan-tulisan lain di blog ini. Berikut ini ada contoh sesuatu yang berbeda tersebut. Sebenarnya tidak banyak perbedaannya dengan tulisan-tulisan lain, terutama menyangkut tema yang diangkat. Perbedaan yang pokok adalah menulis tidak dengan aturan bahasa. Mungkin semacan prosa liris atau semacam puisi, apapun itu, saya akan mengabaikannya saja.
Apakah tulisan-tulisan seperti di bawah ini memiliki makna tertentu? Saya tidak mencoba memaknainya secara khusus. Apa yang saya tulis keluar begitu saja. Kalau ada teman-teman yang melihat suatu makna di dalamnya saya akan sangat berterima kasih bila pemaknaan itu dituliskan pada ruang komentar.


Hujan yang pertama

Hujan yang pertama membawa turun debu-debu dari langit ke atas genting untuk akhirnya jatuh ke bumi.
“Bau debu ini sungguh harum”, bisik sebuah suara, tapi dimanakah ada yang mendengar berita tentang harum debu yang tertitik air hujan?

Hujan yang pertama membasuh daun-daun dan pepohonan serta taman rumput yang merengas.
“Bau rumput basah ini sungguh harum”, bisik sebuah suara, tapi dimanakah ada yang mendengar tentang harum pepohonan dan rerumputan yang tertitik air hujan

Mereka tak pernah tahu tentang makna, katamu.
Siapakah yang ingin peduli apakah bermakna atau tidak sebuah harum rerumputan yang terbasuh air hujan yang turun bersama debu-debu?

Itu bait suci, yang dinyanyikan dengan oboe, serupa dengan desah burung malam yang memanggil jibril, kepada siapa ia meratap.
Tapi, siapakah yang masih peduli pada sebuah lagu usang yang dinyanyikan oleh burung malam yang kelaparan itu?

Ini hujan yang pertama, hanya ada suara katak berteriak sumbang dan bau lumpur yang tak layak kau sandingkan dengan samsara.
Ini hanya hujan yang pertama, yang besok akan mengantarkan hujan kedua, ketiga dan seterusnya dan mengairi kota ini dengan banjir dan menutupi tanah pertanian dan rumah tinggal degan tanah longsor.

Kemudian, suara yang berbisik itupun menghilanglah, di sebuah senja menjelang malam yang menggigil gemetar karena hujan yang pertama...

(yogyakarta, 18 – 27 september 2008)



Hari ini Idul Fitri

Perempuan itu menyiapkan panganan dengan tangan yang gemetar.
Akankah hadir seorang laki laki dan coletah tiga bocah yang membekas kenangan dalam bilangan puluhan tahun berlalu.
Meja itu
Dulu tempat membelah ketupat dari sisa sisa keringat yang tak pernah sempat kering
Satu perempatnya untuk mereka berdua, satu perempatnya untuk si sulung, satu perempatnya untuk tengah, dan satu perempatnya untuk bungsu.
Tapi pembawa pesan itu tadi malam telah datang
Siapkanlah, karena akan ada banyak tamu yang datang
Siapakah? Bukankah semua telah tak berbekas
Tapi bungsu, tengah, dan sulung berkelabat dalam sebuah rengkuhan
Tangan dan wajah yang tak akan pernah terlupakan
Menyatu
Dingin
Senyum
Di rumah itu tamu yang datang tak pernah sebanyak hari itu

(Yogyakarta, 27 September 2009)