Tuesday, October 31, 2006

Kedatangan dan Kepergian

Seorang teman sedang menikmati masa-masa penuh keajaiban sebagai seorang ibu yang menantikan kelahiran putra kedua.
Kebanyakan kita menyambut setiap kedatangan dengan kebahagiaan dan menangisi setiap perpisahan. Bagaimanapun, kehidupan di dunia tak dapat lepas dari dua sisi yang selalu bertentangan. Kedatangan - kepergian, malam - siang, terang - gelap, susah - senang, panas - dingin dan seterusnya. Secara matematis, apabila seluruh yang ada didunia ini dijumlahkan, maka kita akan mendapatkan angka nol. Itulah titik keseimbangan. Orang-orang ekonomi mengatakan, manusia akan selalu menambah "kekayaannya" selama tambahan itu masih memberikan manfaat, dengan sedikit bahasa teknis, orang yang haus akan terus minum sampai marginal utility dari air yang diminum itu sama dengan nol. Artinya dia berhenti minum ketika tidak merasakan tambahan manfaat lagi.
Titik nol adalah hakekat kehidupan. Ketika manusia merasa tidak menjadi apa-apa, ketika manusia menghilangkan "akunya" dan menjadikan dirinya sebagai "Aku", yaitu wujud fisik keberadaan Sang Pencipta di atas dunia, maka disitulah hakekat.
Datang dan pergi tak dapat lepas dari hidup manusia, seperti juga tawa dan tangis serta gembira dan sedih. Tetapi menjadi terlalu gembira menyebabkan kita lupa akan adanya sedih. Menjadi terlalu sedih menyebabkan kita lupa akan kegembiraan.
Sambutlah setiap kedatangan seperti itu pula kita menyiapkan setiap kepergian.

Wednesday, September 13, 2006

Negeri Angin

Ini adalah sebuah cerita tentang negeri angin. Lebih tepatnya, ini hanyalah sebuah omong kosong yang muncul dari kegelisahan. Tak ada arti apapun dalam cerita ini, kecuali pembaca ingin memberikan arti sendiri.


Ini bulan ke enam sejak pengembaraannya di negeri angin dimulai. Negeri angin adalah negeri yang tiada terlihat, tapi terasakan. Tiada bunyi yang terdengarkan, kecuali angin yang menembus dari balik sunyi keca jendela hati[1]. Ini bulan keenam pengembaraannya di negeri angin. Dia jadi ingat negeri-negeri lain tempat dia pernah mengembara. Negeri abu-abu. Tempat semuanya tanpa warna untungnya adalah seorang penyihir si cemerlang yang menemukan kristal kacanya, sehingga cahaya yang selama ini nampak abu-abu berhasil dipendarkan menjadi warna-warna serupa pelangi yang kita kenal saat ini[2]. Dia pernah juga mengunjungi negeri senja dengan kereta yang berangkat penuh orang, tetapi selalu kembali kosong [3]. Dia tidak tahu, bagaimana caranya, ketika tiba-tiba menyadari bahwa dirinya sudah tidak lagi berada di negeri senja. Harusnya setelah negeri senja, dia berada di negeri malam, tapi tidak. Saat tertidur di negeri senja, ketika bangun, dia telah berada di negeri asalnya. Sebuah negeri yang aman dan damai, pulau kelapa yang amat subur, pulau melati pujaan bangsa.[4]

Ke negeri angin, enam bulan yang lalu dia menguatkan tekadnya. Dia tak perlu berpamitan pada anak-anaknya, karena memang belum memiliki anak. Dia juga tidak perlu berpamitan dengan suaminya, karena memang belum juga memiliki suami. Satu-satunya tempat dia harus pamit adalah pada kehidupannya sendiri. Kehidupan yang sangat mapan, dengan status profesional muda dan karir yang sangat baik. Berpamitan pada kehidupannya yang memberikan gaji tak berhingga dan beberapa mobil mewah dan tentu saja sebuah tempat tinggal yang super asri. Ke negeri Angin. Dia ingin melarikan diri dari kehidupan yang mapan. Seperti juga pada saat dia mengunjungi negeri abu-abu, atau menuju negeri senja. Tadinya dia ingin menuju negeri di awan. Ide negeri di awan muncul ketika dia mendengar sebuah kata-kata puitis dari seorang penyanyi, “Kau nyanyikan untukku, sebuah lagu tentang negeri di awan”
[5]. Tapi dia berubah pikiran karena negeri di awan terlalu dekat dengan tanah yang dipijaknya. Tentu saja teman-temannya akan menemuinya pada saat mereka terbang di pesawat.
“Negeri di awan terlalu dekat”, pikirnya. “Aku memerlukan sesuatu yang baru, sesuatu yang jauh dari kehidupanku saat ini. Nampaknya negeri angin paling cocok”.

Bulan ke enam dia di negeri angin. Tempat yang hanya dapat dirasakan, tetapi tak dapat dilihat. Tempat yang di dalamnya tanpa bunyi, kecuali desir angin.
“Inikah mimpiku?” Dia merenungi enam bulan yang berlalu.
“Mimpi yang didorong oleh kebosanan dan kemuakan melihat negeri dunia.”
Di negeri angin, dia tidak melihat apapun, tetapi merasakannya. Dia merasakan kehadiran orang-orang yang tidak dia kenal sebelumnya. Dia merasakan kenyamanan yang tak pernah terasakan sebelumnya.
“Inilah tempatku berlabuh....”



[1] Sunyi Kaca Jendela, kalau tidak salah puisi Gunawan Mohamad.
[2] Lihat Belgeduel si Cemerlang, sebuah buku dongeng anak-anak yang penuh fantasi dan edukasi..
[3] Seno Gumira, Negeri Senja.
[4] Rayuan Pulau Kelapa, masih adakah anak sekolah dasar yang dapat menngingat dengan baik lagu ini? Kalau ada, berarti kita telah mengajarkan kebohongan. Membuai anak bangsa dengan mimpi indah. Bukankah sekarang tak ada lagi pulau kelapa yang subur, karena penggundulan hutan telah memicu banjir. Banjir telah mengikis habis bagian subur yang ada di permukaan tanah.
[5] Katon Bagaskara, Negeri di Awan”

Perubahan

Ada nada yang sedih, ketika seseorang mengatakan temannya telah berubah.
Ah, mengapa kita takut akan perubahan? Bukankah perubahan itu jadi bagian dari keseharian kita. Apakah yang tidak berubah? Bukankah setiap kemajuan yang kita nikmati saat ini merupakan buah dari perubahan (demikian pula dengan kemunduran yang terjadi). Dahulu, manusia tidak mengenal penyakit kanker, tetapi kemajuan ilmu pengetahun mengubah pengetahuan kita tentang penyakit.

Apakah hati juga mengalami perubahan? Ada waktunya, ketika kita harus membuat jarak untuk melihat sesuatu dengan lebih utuh. Ada waktu lain, ketika kita mendekatkan jarak, untuk melihat detail dengan lebih jelas. Itukah perubahan? Bila memang demikian, bukankah kita akan melihat perubahan itu sebagai sumber pemikiran, sumber inspirasi, dan sumber dalam proses kreatif.
Apakah yang kita takutkan dari perubahan? Banyak hal menakutkan dari perubahan, tetapi semua bermula dari satu titik ketakutan manusia yang paling dasar, takut kehilangan. Perubahan membuat kita taku kehilangan lingkungan yang kita telah sangat menyatu di dalamnya. Perubahan juga membawa ketakutan akan hilangnya teman-teman dan rasa nyaman yang dinikmati selama ini. Perubahan mengharuskan kita menyesuaikan diri untuk hal-hal baru, yang tentu saja tidak mudah.

Mungkin (sekali lagi mungkin), hidup akan terasa lebih nyaman bila perubahan berhenti mengalir pada saat kita merasakan keindahannya.
(Tapi bukankah itu akan menimbulkan kebosanan?)

(Untuk seorang teman yang sedang merasakan adanya perubahan)

Friday, August 25, 2006

Pencarian


Hari ini gelisah
Mungkin pagi tak hendak memberikan matahari pada kita. Mungkin matahari tak hendak memberikan hangat. Tak ada yang tahu
Keluhan yang membosankan muncul di setiap pagi, "pekerjaan menumpuk, waktu yang segera lalu"
"Selamat Ulang tahun..." serangkaian mawar itu dikirim oleh seorang teman (mungkin juga lawan), yang tak menerakan seberkas jejakpun. Itu hanya sebuah ritual tentang tanggal kelahiran dari jalan kehidupan yang tak pernah jelas.
Ada kebahagiaan , yang hadir dari telepon dan pesan pendek. Setidaknya aku masih punya teman yang peduli

Wednesday, August 02, 2006

Orientasi

Ketika masuk dalam suatu lingkungan baru, seseorang diperkenalkan pada lingkungannya. Seperti orang tua mengenalkan lingkungan pada anaknya yang baru menjadi penghuni dunia. Di tempat kerja, pegawai baru mengalami masa orientasi dengan waktu yang bervariasi mulai dari 3 hari, ada yang sampai 6 bulan bahkan lebih. Memasuki sekolahpun demikian.
Yang paling sering menjadi berita adalah orientasi yang dilakukan untuk memasuk dunia pendidikan lanjutan (SLTA) serta orientasi untuk menjadi siswa yang maha (bukan siswa biasa).




Seringkali jatuh korban, karena "gemblengan" senior. Senior beralasan, seorang yang akan menjasi siswa yang maha, harus berbeda dengan siswa yang biasa. Harus pandai mengambil keputusan dalam kondisi terdesak (sehingga ada tugas yang tidak masuk akal, seperti mencari 7 jenis serangga berikut nama-namanya dalam waktu satu malam ...., sangat luar biasa). Siswa yang tidak mampu dianggap belum memiliki mental siswa yang maha, sehingga harus di"didik" (baca: didikan melalui hukuman yang menimbulkan derita fisik).
Saya sendiri termasuk beruntung, karena satu-satunya orientasi yang menyulitkan hanyalah mencari tanda tangan guru dan senior saat masuk SLTA. Ketika hendak menjadi siswa yang maha, era orientasi diganti dengan kuliah Pancasila dengan pola 100 jam. Tak ada derita fisik, kecuali duduk mengantuk dan bosan.

Pertanyaannya adalah, apakah orientasi yang hanya beberapa hari tersebut akan mampu membentuk mental seorang siswa yang biasa menjadi siswa yang maha? Kalau seperti itu, bukankah hidup ini menjadi teramat mudah? Ada yang salah dengan kita, yang telah membiarkan pemahaman ini. Ketika kita dibiasakan dengan sesuatu yang instan dan sekejap, ketika kita tak lagi menilai proses sebagai bagian dari prestasi maka kita telah menjadi manusia yang tidak memiliki kemanusiaan.

Friday, July 28, 2006

Air


Masuru Emoto, mungkin termasuk orang yang aneh, ketika beride meneliti air dan pola kristalnya. Apakah air menyembuhkan? Apakah kata-kata dan tulisan mempengaruhi air? Apakah musik mempengaruhi air?
Ketika kita memandang air sebagai pemuas hasrat dahaga, dan ketika biaya yang kita keluarkan untuk tagihan akan air yang berkualitas makin hari makin membengkak, maka kita melihat air sebagai barang ekonomi. Saat pertama kali memahami pelajaran ekonomi puluhan tahun yang lalu, air termasuk kelompok barang bebas, yang dapat diperoleh di mana-mana. Air bersih tersedia dari berbagai sumber, termasuk sumur. Tetapi, tidak untuk saat ini.
Kembali pada Emoto (The True Power of Water atau The secret life of Water), saya tidak sepenuhnya percaya, bahwa air dapat dipengaruhi oleh kata-kata atau musik. Tetapi, saya percaya bahwa kehidupan bermula dari air. Kota-kota awal bertumbuh di tepi sungai. Tubuh manusia lebih banyak airnya dari pada unsur lain. Air menyapu kekotoran. Tanaman menjadi layu tanpa air. Sehingga saya percaya bahwa air yang sehat dapat menyembuhkan penyakit. Karena, penyakit manusia, seringkali berasal dari keserakahan, yang menimbulkan kekotoran dalam jiwa (dan tentu saja raga yang ditempatinya). Untuk itu, kita memerlukan "air" yang akan membersihkan jiwa (dan raga) sebagai penyembuhan dari sumber penyakit.

Thursday, July 27, 2006

Kuntum



Kuntum ini berkata padaku,
"Semoga bencana tak lagi datang, karena aku ingin mekar ............."

Wednesday, April 26, 2006

Mpu Djeno






Seorang Mpu masih berkarya, di usia senjanya. Menempa besi, mempertahankan semangat mencipta.


Setidaknya, kita dapat bercermin pada loyalitas profesi, semangat berkarya, dan semangat menyiapkan generasi pengganti.

(terima kasih kepada Edial Rusli, yang dengan dedikasinya pula telah menghasilkan foto-foto ini)

Saturday, March 04, 2006

Daun Berserakan

Seorang teman mengirimkan paket "Daun Berserakan", buku yang ditulis oleh Palgunadi T. Setyawan. Teman ini seperti mengingatkan, betapa tidak pedulinya kita dengan apa yang kita alami.
Seperti dalam keseharian hidup kita yang selalu melewati daun-daun berserakan (dan kita tidak pernah peduli dengan daun itu-kecuali untuk segera menyapunya), demikian pula peristiwa-peristiwa kecil dalam kehidupan sering kali hanya sebagai daun-daun berserakan yang tak pernah kita pedulikan untuk mengambil manfaat darinya.
Seorang ayah menyerahkan anaknya kepada siapa saja yang mau merawatnya karena ayah tak mampu lagi untuk menghidupi anak, anak sekolah dasar mencoba bunuh diri karena malu belum membayar biaya sekolah, dan seribu informasi menyedihkan lain. Seperti melalui padang yang penuh daun berserakan, semua informasi tersebut masuk dan keluar begitu saja dalam pemikiran kita.
Padahal, bila kita ingin sedikit saja memikirkan segalanya dengan lebih sungguh-sungguh, maka betapa banyak yang dapat hikmah yang kita dapatkan, dan betapa banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membantu sesama manusia. Seperti yang ditulis oleh Palgunadi,

"daun, daun yang menua akan berguguran. Jatuh di atas tanah. Keindahan yang tadinya menyala takala berada di pohon berubah manfaatnya. Daun yang berserakan di tanah lama kelamaan akan berubah menjadi humus. Ia memberikan manfaat bagi tanah meskipun tidak lagi berupa keindahan, tapi berupa kesuburan."

Terima kasih, untuk seorang temah yang telah mengingatkan hal-hal yang sering terabaikan begitu saja dalam hidup ini.

Saturday, January 21, 2006

Manusia

Kehidupan manusia semakin sulit untuk dipahami, karena kebanyakan kita pada saat ini mencoba memadukan dua alam yang berbeda kutub. Seorang polisi yang harus menjaga kemanan justru terlibat dalam kejahatan. Ulama yang harusnya memberi contoh keagamaan ternyata memberikan contoh kekacauan pikiran dengan memasukkan "obyek yang tidak jelas" (entah apapun namanya) ke dalam botol. Ilmuwan yang menjaga kesucian ilmu pengetahuan terlibat dalam kasus plagiat. Ijazah derajat kesarjanaan dapat "dibeli" dengan mudah. Para hakim dan jaksa terlibat secara negatif dalam proses peradilan. Pengusaha harus memberi "layanan prima" kepada para pejabat penguasa keuangan negara agar proyek-proyek lancar. Anggota Legislatif melakukan studi banding di luar negeri untuk mencari ilmu tentang perjudian.
Manusia telah menjadi mahluk yang pandai mengemas, bukan lagi sekedar homo erectus (jenis kera yang berjalan tegak) atau mahluk sosial. Ketika pemberian kepada pejabat negara dilarang, maka pengusaha memasukkan para pejabat negara sebagai bagian dari kegiatan bisnis, entah itu sebagai konsultan, penasehat, bahkan sebagai pemegang saham. Maka organisasi bisnis sekarang perlu dilengkapi dengan "staf ahli", "konsultan", "Dewan Penasehat", dan banyak lagi.
Sumbangan sosial dilakukan oleh banyak pihak, baik itu pengusaha maupun individu. Karangan bunga duka cita dikirim, tetapi publikasi atas sumbangan itu mungkin lebih mahal dari nilai sumbangannya sendiri. Sumbangan sosial didasari pemikiran manfaat publikasi yang diperoleh, tidak ada yang tulus).
Mengapa demikian ini terjadi? Pertama, kebutuhan manusia makin meningkat. Kebutuhan fisik yang ditunggangi oleh kebutuhan emosi (kebanggaan atas sesuatu pemilikan tertentu), telah dimanfaatkan benar oleh ahli marketing. Mengendarai Suzuki Carry tentu berbeda dengan Toyota Camry. Kenyamanan Camry tentu juga berbeda dengan S Class, tetapi seberapakah perbedaan itu? Yang paling terasa bedanya adalah kesombongan kita yang muncul pada saat duduk di dalamnya.
Ahli marketing adalah pesulap-pesulap terhebat di dunia. Ilusi yang mereka bangun menyihir seluruh masyarakat dunia. Pesulap terkenal dunia hanya mampu menyihir sejumlah penonton saja. Ahli marketing menyulap umat manusia menjadi kaum hedonis, yang memuja kenikmatan dan kesombongan.
Pada saat ini, kita telah mencapai taraf ketika antrian untuk memperoleh izin mengemudi sebagai sebuah ketidaknikmatan (karena memang dibuat tidak nyaman dengan berbagai alasan yang tidak jelas), karenanya, keluarkan sedikit uang, dan kitapun memperoleh banyak kemudahan yang menyenangkan.
Materi menjadi tuntutan utama, jiwa-jiwa telah menjadi kosong. Sebuah rumah mewah dibangun dengan taman yang sangat indah, tetapi pemiliknya memandang dengan penuh takut akan kehilangan nikmat dunia tersebut.
Sebagian yang tersadar mungkin hanya mampu berdoa, semoga ini semua tidak menjadi tanda-tanda akhir zaman dari bangsa kita.