Saturday, July 29, 2017

Kritik

Penonton biasanya lebih pandai dari pemain. Tapi, mungkin kita lupa bahwa memandang foto yang sudah disajikan dalam bingkai berbeda dengan fotografer memandang obyek foto. Kita memandang masalah harga garam tentu berbeda dengan bagaimana pengelola negara ini memandangnya. Mengapa? Pemandang foto hanya melihat foto itu dalam frame yang sendirian, obyek-obyek lain dihilangkan. Mereka yang memandang harga lombok atau garam sebagai masalah negara hanya melihat  yang ada di frame itu hanyalah garam, tak ada obyek lain.  Tak bisa disalahkan memang, karena memang seperti itulah yang nampak. Seperti anak yang protes karena uang sakunya diturunkan, sang anak tidak melihat bahwa ada banyak hal lain dalam keluarga yang harus dibiayai.

Seperti foto berikut, kita yang memandangnya hanya melihat kuntum bunga, sedangkan fotografer yang membuatnya memandang kuntum yang sangat kecil dengan diameter tak lebih dari satu sentimeter. Banyak semak belukar di sisinya juga dedaunan kering dari pohon lain. Fotografer merasakan terpaan angin atau mungkin sengatan panas matahari. Fotografer mendengar bunyi, bisa jadi suara mendesis mungkin ular yang berbahaya.


Jadi, mari kita belajar memandang sesuatu dengan utuh sebelum mengkritik. Bayangkanlah, kalau kita duduk sebagai  pembuat kebijakan, seribu permasalahan yang dihadapi. Sanggupkah kita? Bisakah kita membuat pilihan-pilihan yang semuanya berdampak positif dan negatif? Saya mendukung pemerintahan yang mencoba berbuat untuk negara kita, barangkali semacam upaya penyehatan. Kita memang prihatin saat ini, tapi, ini adalah terapi untuk hidup yang lebih baik di masa mendatang. Anak cucu kita. 


Tuesday, February 21, 2017

Supply Creates Its Own Demand


Tulisan ini pernah saya muat pada "catatan" di akun  fb pada tanggal 21 Januari 2011 pukul 9:39, saya tuliskan lagi di blog ini. Dulu rasanya semua "catatan" di fb berasal dari blog saya, tapi entah kenapa, saya tak menemukan yang satu ini. Karena itu, saya coba tulis ulang. Mohon maaf kalau ternyata menjadi dua kali entry di blog ini.  


“Bawakan aku seekor kera dewasa, dan aku akan membayarnya  seratus ribu rupiah per ekor, jangan lupa, bawakan sebanyak-banyaknya.”
Begitulah, ketika seorang pengusaha datang ke sebuah pulau kecil dengan penduduk yang miskin. Di pulau itu memang terdapat kera-kera liar yang sering mencuri hasil kebun masyarakat.
Minggu pertama, masyarakat menyetorkan seratus ekor kera. Semua dibeli dengan harga seratus ribu rupiah. Entah itu kera betina, jantan, sehat, ataupun sakit.
“Kemana Bapak kirimkan kera ini?” Tanya seorang petani ingin tahu.
“Pasar kera di luar sana sangat besar. Tak terbatas, berapapun yang engkau bawa”. Kata si pengusaha sambil menunjukkan kapal kecil yang penuh dengan peti-peti di atasnya. Kapal itu tiap sore berangkat dan kembali lagi pagi harinya....

Bulan kedua, populasi kera mulai menurun. Kera makin sulit diperoleh. Petani pencari kera mulai mengeluh.
“Baiklah, aku naikkan harganya menjadi tiga ratus ribu,” begitu kata sipengusaha

Bulan ketiga, makin susah memperoleh kera harga dinaikkan menjadi lima ratus ribu rupiah.
Bula ke enam, tak ada lagi kera bisa diperoleh. Pengusaha marah-marah.
“Kalau seperti ini, bagaimana bisa bisnis?” Teriaknya. Penduduk melongo, tapi tak bisa berbuat apapun. Membeli kera dari luar pulau terlalu jauh dan hitungannya dengan harga lima ratus ribu tak sebanding dengan biaya perjalanannya
“Baiklah, aku mau berlibur dulu. Selama sebulan ini, silahkan cari kera sebanyak-banyaknya. Nanti setelah liburan, aku akan naikkan harga kera menjadi dua juta rupiah perekor.  Ingat, dua juta rupiah ya... “

Pengusaha pergi berlibur. Penduduk makin melongo. Dua juta rupiah untuk satu kera, harga yang menakjubkan. Mereka hitung-hitung biaya perjalanan ke luar pulau, sewa kapal, bekal berburu dan sebagainya.
Tiba-tiba, pembantu si pengusaha datang. Berbisik-bisik tentang kera.
“Bagaimana kalau aku curi kera milik si pengusaha dan aku jual pada kalian 1 juta rupiah?”
Penduduk makin melongo. Dari pada keluar pulau, tawaran ini jauh lebih menarik. Ada keuntungan satu juta rupiah.  Mereka sepakat. Transaksi dilakukan. Ratusan kera berpindah tangan. Si pembantu berpesan ke penduduk, untuk tidak melapor apapun kepada majikannya, dan dia akan melarikan diri.
“Katakan pada majikanku nanti  bahwa aku tenggelam di laut, hilang,” begitu pesannya.
Sejak itu si pengusaha itu tak pernah kembali lagi.......