Tuesday, June 23, 2009

GOLF

Ada surat dari asosiasi. Terbungkus amplop dan ketikan tipe huruf resmi. Ditutup rapat dengan perekat yang tak mudah di buka pula. Saya berpikir ini acara formal yang serius. Ternyata konfirmasi kesertaan pada turnamen golf.
Mengapa golf? Mengapa bukan bedah buku, atau klub fotografi, atau acara sosial lainnya?
Entah bagaimana sejarahnya, tetapi golf saat ini adalah sebuah status sosial. Kata para golfer juga, tidak ada kontrak bisnis tanpa lapangan golf. Untuk status sosial, saya akan sepakat, tetapi untuk ”tak ada kontrak bisnis tanpa golf”, saya akan berpikir kembali.
Mari sedikit berhitung, berapakah nilai investasi untuk sebuah lapangan golf? Bukan jumlah yang sedikit, dan tentu saja investasi lapangan golf bukan milik UMKM sebagaimana membangun lapangan futsal. Karenanya, untuk bermain golfpun kita harus membayar mahal. Bukankah itu prestisius? Tentu saja, harga sarana pendukung golf tak boleh murah. Kalau murah, pasti tak laku. Setidaknya membutuhkan 7 digit angka untuk mendapatkan tongkat pemukul yang termurah. Di lapangan? Jangan berharap teh panas seharga dua ribu rupiah seperti di lapangan bulutungkis di balai RT. Belum lagi kalau dilihat merk yang melekat di tubuh, mulai dari kepala (topi, kacamata), turun ke badan (pakaian, sarung tangan), kemudian bagian kaki (kaos kaki dan sepatu). Golf adalah sebuah aktualisasi diri sukses finansial.
Bandingkan dengan ucapan seorang teman di facebook, ”Lumayan, bulutangkis di depan rumah setengah jam...”
Bulutangkis di depan rumah, berkeringat, bersosial, cukup dengan raket seratus atau dua ratus ribu rupiah bahkan ada yang hanya puluhan ribu rupiah. Asal ada sedikit tanah kosong, buat garis tali plastik atau pakai kapur putih. Kalau kas RT/RW sedikit berlebih atau kalau ada warga yang sedikit berkelebihan, buat tiang bambu dan belikan net. Beli sedikit kabel dan lampu. Maka semua orang bisa berolah raga. Pagi hari diisi oleh para ibu, sore hari anak-anak. Malam hari para bapak. Tapi, itu murah meriah, dan yang murah tentu saja tidak meningkatkan status sosial....
Sepakat, golf adalah simbol status, silahkan saja bagi yang berminat dan dapat menikmatinya...
Apakah golf tempat memperoleh kontrak bisnis? Benar. Lapangan golf adalah tempat kumpulnya kelompok masyarakat yang secara ekonomi telah mapan. Tentu saja berkumpul dengan mereka membuka peluang untuk memperoleh kontrak bisnis. Tapi, akan berbeda ceritanya apabila kontrak bisnis baru didapat setelah menjamu bermain golf. Bisa lihat perbedaannya? Bertemu dan bersosial dengan banyak orang sukses (ekonomi), tentu saja membuka peluang untuk saling berinteraksi dan membuka peluang untuk bisnis baru. Tapi, menjamu pejabat tertentu bermain golf dengan harapan mendapatkan kontrak bisnis, nampaknya bukanlah hal yang bijaksana. Selain mengeluarkan uang perusahaan yang tidak sedikit, cara ini hanya akan menimbulkan lomba perjamuan. Kompetitor tentu saja akan memberi jamuan di lapangan lain, yang lebih prestisius. Pada ujungnya, yang terjadi adalah biaya proyek menjadi mahal, karena apapun juga, uang perusahaan yang telah dikeluarkan harus bisa diperoleh kembali. Kalaupun harga kontrak tidak dinaikkan, mungkin standar kualitas yang diturunkan.
Selamat menikmati golf bagi mereka yang menikmatinya. Saya sangat yakin, golf seperti juga setiap olahraga yang bertujuan mengalahkan diri sendiri, akan menimbulkan kecanduan. Jadi, saya meskipun tidak bermain golf, sangat bisa memahami adanya orang yang sangat mencintai permainan ini. Seperti pemancing yang selalu melamunkan ikan besar pada saat melempar kailnya, golfer pun pasti memimpikan keajaiban hole in one.
Bagi mereka, para eksekutif yang tidak bermain golf, tidak perlu cemas bila ingin menunjukkan sukses ekonominya. Ada banyak cara lain. Menjadi penyantun tetap di sekolah-sekolah pinggiran, menjadi ayah asuh bagi anak-anak yang kecerdasan dan kemampuan ekonominya terbatas, atau memberikan waktu dan sumberdaya yang dimilikinya untuk berbagi pengalaman dan mengembangkan ekonomi kelompok yang termarginalkan, mungkin bisa menjadi alternatif. Melihat mata anak-anak yang kembali berbinar menatap masa depannya mungkin akan terasa lebih indah daripada memandang hijaunya lapangan golf. Mungkin. Saya tidak tahu, karena saya tidak bermain golf.

Friday, June 19, 2009

Jejak

Seperti jejak-jejak air di pasir itu yang coba dihapuskan oleh angin atau terkadang jejak angin di air yang coba dihapuskan
tak akan hilang.
Itu juga setiap garis yang dibuat oleh kaki kaki kita
atau tangan-tangan kita
atau mata-mata kita
atau telinga-telinga kita
atau hidung-hidung kita
atau bibir-bibir kita
atau lidah-lidah kita.
Dan kita coba hapus dengan hati yang kita miliki. Tak akan pudar, karena setiap hapusannya telah menjadikan jejak baru yang makin dalam
Tak ada yang pernah tahu mengapa dan dimana atau akan kemana. Semuanya seperti telah digariskan dalam setiap angin yang melaluinya