Monday, December 29, 2014

Marketing: Menjual Pengalaman


Dalam empat tulisan sebelumnya kita membahas bagaimana rencana bisnis dibuat. Banyak orang mampu membuat rencana dengan baik dan detail, namun, banyak orang yang tidak berani memulai langkah pertama. Pengusaha yang berhasil pasti mengalami jatuh.  Karena itu, kitapun harus siap menghadapinya. Persiapan yang paling aman adalah jangan menghabiskan seluruh tabungan  dalam memulai usaha, jadi bila gagal, masih ada kesempatan lain, masih ada waktu dan sumber daya untuk nmemperbaiki kesalahan.  Dan salah satu kiat untuk mencegah kegagalan, ada baiknya kita memahami tentang marketing mix, atau diterjemahkan menjadi bauran pemasaran.
Memasarkan produk, bukan sekedar menjual.  Kalau di awal-awal tulisan saya sempat mengulas tentang menghitung peluang pasar, sebenarnya itu adalah bagian dari kegiatan pemasaran.  Sebegitu luasnya pengertian pemasaran, bermula jauh sebelum kita membuat produk, bahkan sebelum kita menjalankan usaha hingga proses purna jual. Untuk mempermudah pemahaman dan memudahkan penerapannya pemasaran ini, para ahli  membagi-bagi kegiatan pemasaran tersebut minimal menjadi 4 kelompok, yaitu tentang produk, tentang harga (price), tentang tempat atau saluran distribusi (place), dan tentang promosi. Kesemuanya dalam dimulai dengan huruf “P”,  sehingga dikenal sebagai 4 P dalam pemasaran.
Kita akan bahas masalah tersebut satu persatu, namun sebelum masuk ke sana, perlu dipahami bahwa sukses sebuah usaha itu bukan  sekedar produk yang baik, harga yang murah, mudah diperoleh, dan program promosi yang tepat.  Banyak penjual makanan gagal, padahal  rasa masakannya sama dengan tempat lain. Ada warung makan di plosok yang susah dijangkau tetapi tetap dicari orang. Ada barang murah dengan kualitas memadai tapi tak laku. Lantas, apa yang menyebabkan suatu usaha berkembang dengan baik?
Pengalaman. Itulah kuncinya. Dalam transaksi pembelian, konsumen memperoleh pengalaman. Pengalaman buruk berdampak buruk, pengalaman menyenangkan akan berdampak baik. Makanan enak, harga murah, tempat mudah dijangkau, parkir mudah, tetapi, saat ingin bersantap, konsumen ini bertatap muka dengan kita, yang kebetulan sedang sakit gigi tak sedap dipandang, hilang selera makan pembeli ini. Satu pelanggan memperoleh pengalaman tak indah, berita menyebar ke seluruh dunia, lewat jejaring sosial.
Pengalaman kadang muncul dari hal-hal sederhana yang tak terpikirkan. Misalnya, entah karena kelalaian pegawai, ruang displai kita sedikit basah dan licin. Satu pelanggan datang, dan terpeleset. Berita itu menyebar begitu cepat. Awalnya, mungkin konsumen kita sekedar iseng mengunggah fotonya saat jatuh, karena kita telah meminta maaf dan sudah tak ada masalah lagi, namun, berita akan terreduksi pada setiap turunannya. Dan cerita yang paling seru , yang bisa menyebar “salah paham dengan konsumen, pemilik toko aniaya pembeli..”
Pengalaman, bisa berasal dari mana saja, bukan saja saat transaksi pembelian, bisa juga setelah pembelian, bisa juga hanya dari cerita orang.  Pengalaman bisa berasal dari produk secara fisik itu sendiri misalnya produk cacat. Pengalaman juga bisa berasal dari program promosi, misalnya, saat konsumen akan bertransaksi setelah membaca iklan kita, ternyata ada catatan kecil pada iklan yang dibuat tak mencolok, tak terbaca oleh konsumen, yang menjadi syarat berlakunya program promosi. Ini tentu saja mengecewakan pembeli.
Pengalaman konsumen  menjadi penting bagi pengusaha, karena itu, pengusaha harus memberikan pengalaman yang  “luar biasa” untuk dirasakan pembeli, sehingga mereka bersedia melakukan pembelian ulang, bahkan bersedia  “menjadi tenaga penjual sukarela”. 
Dalam konteks itulah, maka kita akan membahas 4 P dalam pemasaran pada tulisan minggu depan. Tetaplah bersama kami UKM Center Bank BPD DIY.
(dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Senin, 29 Desember 2014)

Wednesday, December 24, 2014

Good Governance: Hukum dan Etika


Saya pernah berseloroh pada sebuah diskusi tentang tata kelola yang baik. Terjadi beberapa tahun yang lalu, ketika regulator perbankan mengeluarkan berbagai kebijakan tentang tata kelola [Good Corporate Governance]. Saya katakan begini, makin banyak produk hukum di suatu negara, makin rendah peradaban penduduk negara tersebut. Tentu saja sebuah seloroh, tapi rasa-rasanya ini benar juga. Bayangkan, ketika semua harus diatur secara tertulis, bukankah itu dapat diartikan  banyak hal terjadi yang menimbulkan gesekan antar masyarakatnya. Sederhananya begini, menjadi aturan tidak tertulis, ketika ada tetangga yang mengalami musibah, maka kita akan sampaikan belasungkawa kita, bahkan mungkin bila itu sebelah rumah, kita akan batalkan acara perayaan ulang tahun anak kita, atau kalau di lingkungan rumah merangkap toko, kita akan ikut menutup toko. Tak ada aturan tertulisnya, karena, orang-orang menjalankan sesuatu dengan dasar saling menghormati. Derajat hukumnya mungkin lebih tinggi, yaitu etika, meskipun di sana tak ada ancaman kurungan. Mengapa saya katakan lebih tinggi? Karena etika mengatur “jiwa”, Yang dihukum bukan raga kita dengan hukuman kurungan atau denda tapi, jiwa kita, dengan hukuman rasa bersalah.
Etika adalah hukum tertinggi. Berasal dari kehidupan yang penuh peradaban, ketika manusia melakukan hal yang  benar bukan karena tekanan dari luar, tetapi, karena kesadaran jiwanya, bahwa kita harus berbuat benar.
Sekarang saya ingin mengaitkan etika ini dengan ketentuan tata kelola perusahaan yag baik, atau good corporate governance, yang akan saya ringkas saja dengan GCG.  GCG dalam industri perbankan di Indonesia adalah hukum tertulis, ada panduan ada kewajiban untuk melaksanakan, dan ada sanksi. Segala seuatu harus dilakukan dengan transparan, akuntabel [dapat dipertanggung jawabkan], dan adil, begitu saja kita ringkaskan.  Namun di dunia nyata, terutama di Indonesia, praktek-praktek bisnis kadang sulit bahkan dapat berbenturan dengan regulasi GCG ini. Kita tahu, menjamu relasi adalah bagian dari praktek bisnis, dan banyak perusahaan mengalokasikan biaya khusus untuk ini, tetapi menjamu yang seperti apa yang dapat kita anggap sebagai kegiatan yang tak bertentangan dengan praktek GCG?
Eksekutif perusahaan diberi fasilitas khusus untuk mengeluarkan biaya jamuan dengan relasi. Perusahaan menganggap  pejabat eksekutif adalah representasi perusahaan di lingkungannya. Itu sesuatu yang wajar, karena perusahaan yang memiliki reputasi baik, tak ingin wakilnya nampak hidup “menderita”. Bila kesan itu yang muncul, bisa jadi pelanggan membatalkan kontraknya, karena khawatir perusahaan dalam keadaan tak sehat.
Penjelasan bahwa pejabat eksekutif sebagai representasi perusahaan belum bisa menjawab pertanyaan, jamuan seperti apa yang pantas diberikan kepada relasi? Ada banyak diskusi tentang hal ini. Beberapa pengamat yang beraliran “GCG murni” mengatakan, harus dibuat aturan yang jelas agar tidak menimbulkan salah penggunaan. Pejabat eksekutif yang sangat berorientasi pasar, tentu akan berkata sebaliknya, kewenangan pengeluaran biaya representasi itu haruslah sangat fleksibel, karena dalam dunia bisnis ada wilayah abu-abu yang sulit untuk memenuhi persyaratan transparansi dan akuntabel sebagaimana diatur pedoman GCG.
Lantas, apa yang harus dilakukan? Saya akan kembali ke seloroh di atas, makin banyak aturan tertulis makin tak beradab rasanya kehidupan kita ini. Dari sudut pandang saya, ini adalah masalah etika. Rasanya, cukup dibuat aturan garis besar dengan kalimat singkat, “dana representasi tidak dipergunakan untuk menunjang gaya hidup pejabat eksekutif dalam keseharian yang tidak berhubungan dengan kinerja perusahaan”.  Apakah ukurannya? Etika. Siapa yang mengatur? Suara hati.
Rasanya tidak etis bila kita menjamu relasi atas nama perusahaan, tetapi tujuannya adalah  untuk memperoleh impresi  pada pribadi kita. Sulitkah? Tidak sama sekali, kecuali kita mematikan saluran suara hati.
Saya akan tutup tulisan ini dengan kutipan dari Jakob Oetama, “sukses tidak diraih dari cara-cara yang tidak etis”
Selamat menyambut tahun baru 2015, Allah memberkati setiap langkah kebaikan kita.