Friday, March 27, 2009

Taman Kasih

Ada sebuah taman, kata penutur cerita itu memulai. Taman itu sangat indah, didalamnya mengalir sungai-sungai yang jernih.
“Itu surga”, seorang pendengar memecah keheningan.
“Bukan, itu Indonesia” orang lain menimpali. “Tapi itu Indonesia yang dulu, waktu manusianya tidak sebanyak dan serakus sekarang.”
“Sstt, diamlah, biarkan ceritanya,”

“Taman itu adalah taman yang sangat indah. Di dalamnya mengalir sungai yang jernih. Bukan itu saja, ada satu perahu yang selalu lewat. Perahu Kertas”.
Tukang cerita itu kemudian melantunkan sebuah puisi:
“Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.....” [1]

Perahu itu setiap pagi menelusuri tepian sungai. Di dalamnya, pemilik taman, mengemudikan sendiri perahu itu. Pemilik taman itu sesungguhnya adalah wanita yang tidak terlalu cantik. Tidak, tak ada bintang film cantik di ceritaku ini, karena ini hanyalah cerita tentang taman kasih.”
“Teruskan saja ceritamu kami juga tak peduli apakah ada perempuan cantik atau tidak..,” sebuah suara menyela.
“Sshh, diamlah, biarkan dia bercerita,” yang lain menimpali.
“Pemilik taman itu selalu mengemudi sendiri perahu kertasnya. Dia akan menghampiri siapa saja yang ada ditepian sungai, menyapa mereka penuh semangat dan tentu saja memberikan senyum yang hangat. Sesungguhnya pemilik taman itu bukan seorang perempuan yang cantik dan tak pernah muncul di layar televisi dalam cerita selebritis. Dia hanya perempuan biasa saja, yang memiliki taman yang didalamnya mengalir sungai-sungai yang jernih. Dia hanya perempuan yang ingin berbagi kebahagiaan kecil setiap hari dengan siapa saja yang dia temui di pinggiran sungai yang mengalir di tamannya.”
“Mengapa dia membangun taman seperti itu?”. Sebuah suara bertanya.
“Sshh, diamlah, biarkan ceritanya mengalir.” Suara lain memotongnya.
“Benar,” jawab si pencerita. “Aku pernah bertemu dengannya dan bertanya mengapa dia membangun taman seperti itu. Aku dulu juga belum paham mengapa harus membangun taman dan menyapa setiap orang dan berbagi kebahagiaan kecil di setiap pagi. Tapi, sungguh, tak mudah untuk melupakan jawabannya. Perempuan yang tidak cantik itu hanya ingin melakukannya begitu saja, tanpa harus memiliki alasan apapun. Inilah yang kira-kira dikatakannya – karena aku tak mampu mengingat dengan pasti kata demi kata:"
“Mengapa harus ada alasan? Bukankah lebih banyak kehadiran kita yang tanpa alasan dan ada begitu saja. Mengapa sekedar untuk berbagi kebahagiaan kita harus memiliki alasan? Mungkin aku bisa membuat berbagai alasan yang menarik, yang membuat decak kagum orang banyak atau mungkin aku bisa beralasan yang berbau politis, sehingga ada petinggi partai yang akan membacanya kemudian tertarik untuk mengikutkan aku sebagai calon anggota legislatif di partainya. Bila itu yang aku lakukan, berarti tujuanku membuat taman bukanlah berbagi kebahagiaan, tetapi mencari jalur untuk meningkatkan derajat kehidupanku. Jadi, aku pikir, tak perlu ada alasan. Biarkan segalanya menjadi ada atau tak ada tanpa harus bertanya apa dan mengapa. Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.”[2]

“Itu kesombongan,” bisik sebuah suara, “Dia menunjukkan kesombongannya dengan merendahkan diri, seperti sombongnya pohon padi yang buahnya penuh, badannya seolah membungkuk, tapi yang ditampakkan bukanlah kerendahan melainkan pamer bulir-bulir yang padat berisi” lanjut bisikan suara tadi.
“Shhh, diamlah, aku ingin mendengar ceritanya”, orang lain disampingnya menimpali.

Demikianlah tukang cerita itu berkisah tentang sebuah taman yang terindah dengan pemiliknya yang setiap pagi berkunjung dengan perahu kertas ke rumah-rumah tetangganya dan menyapa siapa saja yang ditemui sepanjang sungai itu, sekedar menyampaikan salam dengan kebahagiaan kecil di hari itu.
Tukang cerita itu sangat memukau, sehingga semua orang menjadi terpesona dan tak ingin memalingkan dirinya sejenakpun dari rangkaian kisah yang disampaikan. Pagi berubah menjadi siang, siang menjadi sore, sore menjadi malam, dan malam menjadi pagi lagi, tukang cerita itu tak juga menghentikan kisahnya. Tak ada yang beringsut, Semua mendengar takjub. Anak-anak kecil sekalipun larut
Seisi perkampungan itupun tak ada yang ingat dengan ladang dan ternak miliknya. Anak-anak lupa dengan sekolahnya. Perut mereka serasa telah terisi penuh tanpa perlu makanan lagi. Demikian pula meraka tak perlu memikirkan bagaimana membuang ampas makanan yang ada dalam perut, karena ampas itu hilang sirna dengan sendirinya.

Pada sebuah siang yang mendung dan lembab dengan udara yang tak nyaman, akhirnya cerita itu diselesaikan.
“Dulu, aku termasuk sering beristirahat di sana, tetapi sekarang tak lagi. Taman itu tetap terbuka, tetapi perempuan itu tak pernah lagi hadir dengan perahu kertasnya. Entah kemana. Mungkin juga terlalu lelah untuk selalu berbagi. Mungkin juga sekarang harus mengurusi anak-anaknya yang semakin besar dan menuntut banyak perhatian. Tapi, yang jelas pemilik taman itu tak pernah lagi menyapa pengunjungnya. Mungkin juga pemilik taman itu sekarang masih sering mengunjungi tetangganya, tetapi memasang sihir agar aku tak dapat memandangnya dan memasuki taman itu, entahlah." Wajah tukang cerita itupun tiba-tiba berubah menjadi murung.

Setelah cerita ditutup, pendudukpun bubar, memasuki ke dunia yang pengap dan sesak. Bau selokan tercium kembali. Lapar mulai terasa. Teriakan penjaja makanan berwarna-warni terdengar nyaring, bersahutan dengan teriakan penjual sayur dan air minum. Umpatan dan kata kotor mulai terdengar di tengah suara serak teriakan tangis anak kecil.

[1] Perahu Kertas, Puisinya Sapardi Djoko Damono
[2] Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa, diambil dari puisinya Goenawan Mohamad berjudul “Pada Sebuah Pantai: Interlude