Sunday, December 09, 2007

Sajak SDD: untuk seorang sahabat

Ini adalah puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, yang saya pilih untuk mengantar perjalanan panjang seorang sahabat. Banyak sekali yang ingin dituliskan di sini. Ada beberapa alasan, pertama untuk menyalurkan apa yang menjadi pemicu “emosi”. Kedua, setidaknya banyak hal yang bisa kita petik dari sebuah perjalanan panjang seorang sahabat, apalagi bila kita sedikit merenungkan apa yang ditulis dalam bait-bait puisinya SDD

Buat Ning, saya pilih sebagai pembuka, untuk mengingatkan kita semua, bahwa betapa segala sesuatu menjadi sangat singkat, datang dan pergi begitu saja tanpa sempat kita menghitungnya.

Pada malam itu beberapa teman menghubungi memberi kabar yang menyesakkan dada. Tak ada yang bisa saya katakan, selain pergilah, sudah tiba saatnya, berdukalah...
Menyekap beribu kata di antara karangan bunga. Tak ada yang mampu saya keluarkan, kecuali bercakap denganmu dalam senyap. Sore itu memang mendung, angin mereda. Semua merunduk, melapangkan jalan buatmu
Sebagai penutup saya ingin menyampaikan puisi SDD yang sangat terkenal, aku ingin. Dalam setiap diri kita, pastilah terdapat kecintaan yang melampaui dimensi ruang dan waktu. Kecintaan yang sangat sederhana, tetapi tak berbatas oleh nilai-nilai duniawi. Kecintaan seperti ini, tentu saja tak akan muncul bila kita hanya bicara tentang ukuran dunia. Kecintaan yang dilandasi kerinduan untuk bertemu sang Pencipta.


Buat Ning
Pasti datangkah semua yang ditunggu
Detik-detik berjajar pada mistar yang panjang
Barang kali tanpa salam terlebih dahulu
Januari mengeras di tembok itu juga lalu Desember
Musimpun masak sebelum menyala cakrawala
Tiba-tiba kita bergegas pada jemputan itu


Sajak
Pergilah kerna malam sudah reda. Kau menolehku
Ke padang mana lagi, ke laut
(mencapai sunyi)
tapi sudah tiba saatnya, berdukalah

Saat sebelum berangkat
mengapa kita masih juga bercakap
hari hampir gelap
menyekap beribu kata di antara karangan bunga
di ruang semakin maya, dunia purnama

sampai tak ada yang sempat bertanya
mengapa musim tiba-tiba reda
kita di mana. Waktu seorang bertahan di sini
di luar para penggiring jenazah menanti



Berjalan di belakang jenazah
berjalan di belakang jenazah anginpun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengembang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya


Sehabis mengantar jenazah
masih adakah yang akan kautanyakan
tentang hal itu? Hujanpun belum selesai
sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak ada habisnya
bercakap
di bawah bunga-bunga menua, musim yang senja

pulanglah dengan payung di tangan, tertutup
anak-anak kemballi bermain di jalanan basah
seperti dalam mimpi kuda meringkik di bukit-bukit jauh
barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya

masih adakah? Alangkah angkuhnya langit
alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita
seluruhnya seluruhnya kecuali kenangan
pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba

Aku ingin
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata-kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


Monday, December 03, 2007

Selamat Jalan

Apa yang terasa di hati, ketika seorang yang kita kasihi meneruskan perjalanan panjangnya dengan begitu tiba-tiba? Meninggalkan kita dengan rasa tak percaya.
Datang dan pergi adalah bagian dari “ada”. Seperti juga mendapatkan dan kehilangan. Saat kita mendapatkan, kita harus siap untuk kehilangan. Saat sesuatu datang, kita harus siap untuk kepergian. Ketiadaan adalah bagian dari ada.
Seorang sahabat yang pernah datang dalam kehidupan kita, suatu saat pasti akan pergi.
Sedih? Setiap orang yang kehilangan pasti bersedih. Tapi, ada satu hal yang harus selalu kita ingat. Ketika kau melambaikan tanganmu pada seseorang yang mengayuh perahunya di tepian danau, tersenyumlah, karena di seberang danau itu pasti ada orang lain yang melambaikan tangan menyambut kedatangannya.
Seorang sahabat mungkin telah pergi dari kita. Bumi yang damai, mendung, sedikit gerimis dan angin yang sejuk mengiringinya. Tapi, bukan untuk menjadikan kita sedih. Sahabat kita tak ingin kita bersedih, karena dia tak pernah pergi, kecuali kita sendiri yang tak menginginkan hadirnya di hati kita masing-masing.
Selamat jalan sahabat.