Wednesday, January 28, 2009

Bulan

Tadi malam mendung tipis, mungkin bukan mendung, hanya sekedar kabut yang agak tebal. Menyelimuti sawah-sawah. Menutupi cahaya bintang. Tapi, ada rembulan yang mencoba bertahan. Mungkin ingin memberikan sedikit kecerahan kepada manusia yang hari-hari belakangan ini kehidupannya semakin susah. Cahaya kuningnya memudar pucat, tapi masih mampu menembus tirai kabut itu. Dia seperti malu-malu untuk menampakkan dirinya sendiri.
Mungkinkah Bulan malu untuk menampakkan diri? Bukankah dia bersama bintang kemilau selalu menjadikan sumber cahaya dan petunjuk arah dalam kegelapan?
Bulan memang terkadang aneh. Pernah suatu pagi yang cerah, dia bertahan tak mau hengkang, padahal matahari sudah datang. Seolah dia hendak menantang matahari.
”Oh.. itu bukan bulan yang tahu diri,” bisikku dalam hati. Bukankah Bulan selalu hadir sebagai bayangan matahari, karena sesungguhnya kuningmu itu hanyalah milik matahari semata? Tapi Bulan kadang memang keterlaluan. Pernah suatu ketika dia mengelabui anak-anak kecil dengan logika aneh yang dibuat jungkir balik, tetapi banyak yang mempercayainya. Mungkin itu karena keindahan yang selalu ditampilkan Bulan – yang selalu membius para penikmatnya.

Begini. Suatu ketika Bulan bertanya pada sekumpulan anak-anak yang sedang bermain di halaman rumput mereka
”Hai.. selamat pagi anak-anak, pagi ini aku punya pertanyaan untuk kalian,” sapa Rembulan (nama lengkapnya Bulan).
”Seellaammaaaattt Paaaaggiiiiii Bulannnnn...., pertanyaan apakah itu?” teriak anak-anak sambil kegirangan. Anak-anak memang tak pernah sedih.
”Tahukah kalian, manakah yang lebih bermanfaat, Matahari atau dirikukah?” tanya Bulan.
Anak-anak tak mampu menjawab, sebaliknya mereka terpesona pada kemilau kuning Bulan.
Melihat hal tersebut, Bulan dengan lantang (dan ehm.. tentu saja sedikit kesombongan – jangan terlalu ditampakkan, agar tetap nampak mempesona), berkata
”Siapakah yang datang ketika kalian menghadapi gelap?”
”Siapakah yang hadir ketika bintang tak cukup menerangi kalian?”
”Siapakah yang selalu diminta hadir untuk menemani tidur kalian yang lelap di malam gelap?”[1]
”Apakah kalian tidak melihat, aku selalu datang di malam hari saat kegelapan hadir, sedangkan matahari hadir ketika siang saat terang?”

Bulan memang aneh, dia akan membius anak-anak dengan logika anehnya , dan membius orang dewasa dengan sihir indahnya. Bahkan, seorang penyair pernah menuliskan lagu

Juwita malam, siapakah gerangan tuan
Juwita malam, dari bulankah tuan
[2]

Malam ini bulan itu muncul dengan malu-malu, dari balik kabut tipis. Seperti selapis sutera menjadi cadar juwita malam. Sungguh mempesona. Dan, manusiapun seperti terbius, kehilangan nalar pikiran, kehilangan akal budi, kehilangan jati dirinya, kecuali mereka yang memandanginya dengan hati yang bersih, dan memikirkan sumber cahaya yang sesungguhnya. Mereka yang benar-benar memahami bahasa rembulan, yang sering berteka-teki dan menyesatkan hati yang tak bersih.

[1] Ambilkan Bulan, sebuah lagu anak-anak
[2] Juwita Malam, Ismail Marzuki

Tuesday, January 20, 2009

Kesendirian dan Kesedihan

Ada kalanya, hidup rasanya begitu sepi. Teman-teman seolah lenyap begitu saja dari hati kita. keberadaan teman di sekitar kita tak lagi terasakan. Sepi yang seperti itu rasanya seperti memasuki ruang kosong yang senyap – tapi dipenuhi kegelisahan. Di tengah hiruk pikuk pekerjaan yang mengalir, di tengah arus lalu lalang pegawai lain, dan mungkin di tengah tumpukan pekerjaan yang tak terjamah, dan di tengah kompetisi untuk jenjang karir yang lebih tinggi kita, merasakan kesendirian, karena ditinggal oleh teman-teman lain.
Ada orang-orang yang begitu mudah mengusir kesendirian ini dan menemukan banyak aktivitas dan kekawanan baru. Tapi, mungkin lebih banyak yang tidak menyukai kesendirian, karena sepi yang ditimbulkannya.

Namun, pada tulisan ringkas ini, saya ingin menyampaikan pesan yang pernah ditulis oleh Gede Prama, ”bila masih ada orang yang bisa membuat kita bahagia atau menderita, itu tandanya saklar kebahagiaan masih dipegang oleh orang lain.

Saya ingin menafsirkan kalimat di atas dalam konteks kesendirian, bahwa setiap orang pasti pernah mengalami kesendirian dan merasakan sepinya ruang hati yang kosong, tetapi, tidak perlu mengalami kesengsaraan karenanya, sebab, dia sendirilah pemegang kunci kebahagiaan itu, bukan orang lain.

Monday, January 12, 2009

Menyalip di Tikungan

Menyalip di tikungan merupakan atraksi yang sangat menarik pada sebuah balapan, entah itu untuk roda dua maupun roda empat. Tetapi tentu saja atraksi itu menarik di arena balap, bukan di jalan raya. Di jalan raya biasanya antrian lampu lalu lintas untuk berbelok lebih panjang dari pada mereka yang harus jalan lurus. Dan, kesempatan ini sering dimanfaatkan oleh pengemudi yang tidak sabar dalam antrian panjang untuk mengambil jalur lurus dan ketika lampu menyala hijau, tiba-tiba membelokan kendaraannya. Tentu saja mereka menutup antrian kendaraan lain yang hendak berbelok. Ini juga menyalip di tikungan, tapi, maaf, ini bukan atraksi yang menarik, tapi ini, sekali lagi maaf, adalah bentuk ketidak sopanan di jalanan.
Di lingkungan kerjapun kadang kita temukan hal seperti ini. Ketika harus bersaing dengan kandidat lain, kadang kita terlupa dengan berbagai etika perilaku. Kadang ambisi membutakan kita dengan menutup jalur orang lain untuk menampakkan kinerjanya. Bahkan, kadang kita terlupa dan mengangkat diri kita sendiri dengan berdiri di atas kepala orang lain. Sebenarnya mungkin kita tidak bermaksud untuk menjatuhkan atau merendahkan kandidat lain, tetapi karena keinginan untuk dilihat oleh pengambil keputusan, maka kita berupaya menonjolkan diri, dan cara yang paling mudah untuk menonjol adalah dengan membuat yang lain terlihat merunduk. Menyampaikan ide cemerlang atau jejak sejarah keberhasilan pada atasan kadang memang perlu dilakukan. Tetapi, menambah bumbu laporan dengan kisah kegagalan pihak lain bukanlah sesuatu yang bijaksana.
Seperti katak yang berenang, selalu menjejakkan kaki untuk menekan air. Semoga kita tidak menjadi serupa dengan katak, menjejak kepala teman kita hanya karena sebuah ambisi untuk berkarir lebih tinggi.
Di arena balapan, menyalip di tikungan menjadi daya tarik. Di jalanan, menyalip di tikungan dan menutup jalur kendaraan lain akan membahayakan dan tentu saja mungkin menimbulkan sumpah serapah. Di tempat kerja, menyalip di tikungan dan menutup akses orang lain bukanlah gambaran calon pemimpin yang baik.