Wednesday, September 13, 2006

Negeri Angin

Ini adalah sebuah cerita tentang negeri angin. Lebih tepatnya, ini hanyalah sebuah omong kosong yang muncul dari kegelisahan. Tak ada arti apapun dalam cerita ini, kecuali pembaca ingin memberikan arti sendiri.


Ini bulan ke enam sejak pengembaraannya di negeri angin dimulai. Negeri angin adalah negeri yang tiada terlihat, tapi terasakan. Tiada bunyi yang terdengarkan, kecuali angin yang menembus dari balik sunyi keca jendela hati[1]. Ini bulan keenam pengembaraannya di negeri angin. Dia jadi ingat negeri-negeri lain tempat dia pernah mengembara. Negeri abu-abu. Tempat semuanya tanpa warna untungnya adalah seorang penyihir si cemerlang yang menemukan kristal kacanya, sehingga cahaya yang selama ini nampak abu-abu berhasil dipendarkan menjadi warna-warna serupa pelangi yang kita kenal saat ini[2]. Dia pernah juga mengunjungi negeri senja dengan kereta yang berangkat penuh orang, tetapi selalu kembali kosong [3]. Dia tidak tahu, bagaimana caranya, ketika tiba-tiba menyadari bahwa dirinya sudah tidak lagi berada di negeri senja. Harusnya setelah negeri senja, dia berada di negeri malam, tapi tidak. Saat tertidur di negeri senja, ketika bangun, dia telah berada di negeri asalnya. Sebuah negeri yang aman dan damai, pulau kelapa yang amat subur, pulau melati pujaan bangsa.[4]

Ke negeri angin, enam bulan yang lalu dia menguatkan tekadnya. Dia tak perlu berpamitan pada anak-anaknya, karena memang belum memiliki anak. Dia juga tidak perlu berpamitan dengan suaminya, karena memang belum juga memiliki suami. Satu-satunya tempat dia harus pamit adalah pada kehidupannya sendiri. Kehidupan yang sangat mapan, dengan status profesional muda dan karir yang sangat baik. Berpamitan pada kehidupannya yang memberikan gaji tak berhingga dan beberapa mobil mewah dan tentu saja sebuah tempat tinggal yang super asri. Ke negeri Angin. Dia ingin melarikan diri dari kehidupan yang mapan. Seperti juga pada saat dia mengunjungi negeri abu-abu, atau menuju negeri senja. Tadinya dia ingin menuju negeri di awan. Ide negeri di awan muncul ketika dia mendengar sebuah kata-kata puitis dari seorang penyanyi, “Kau nyanyikan untukku, sebuah lagu tentang negeri di awan”
[5]. Tapi dia berubah pikiran karena negeri di awan terlalu dekat dengan tanah yang dipijaknya. Tentu saja teman-temannya akan menemuinya pada saat mereka terbang di pesawat.
“Negeri di awan terlalu dekat”, pikirnya. “Aku memerlukan sesuatu yang baru, sesuatu yang jauh dari kehidupanku saat ini. Nampaknya negeri angin paling cocok”.

Bulan ke enam dia di negeri angin. Tempat yang hanya dapat dirasakan, tetapi tak dapat dilihat. Tempat yang di dalamnya tanpa bunyi, kecuali desir angin.
“Inikah mimpiku?” Dia merenungi enam bulan yang berlalu.
“Mimpi yang didorong oleh kebosanan dan kemuakan melihat negeri dunia.”
Di negeri angin, dia tidak melihat apapun, tetapi merasakannya. Dia merasakan kehadiran orang-orang yang tidak dia kenal sebelumnya. Dia merasakan kenyamanan yang tak pernah terasakan sebelumnya.
“Inilah tempatku berlabuh....”



[1] Sunyi Kaca Jendela, kalau tidak salah puisi Gunawan Mohamad.
[2] Lihat Belgeduel si Cemerlang, sebuah buku dongeng anak-anak yang penuh fantasi dan edukasi..
[3] Seno Gumira, Negeri Senja.
[4] Rayuan Pulau Kelapa, masih adakah anak sekolah dasar yang dapat menngingat dengan baik lagu ini? Kalau ada, berarti kita telah mengajarkan kebohongan. Membuai anak bangsa dengan mimpi indah. Bukankah sekarang tak ada lagi pulau kelapa yang subur, karena penggundulan hutan telah memicu banjir. Banjir telah mengikis habis bagian subur yang ada di permukaan tanah.
[5] Katon Bagaskara, Negeri di Awan”

Perubahan

Ada nada yang sedih, ketika seseorang mengatakan temannya telah berubah.
Ah, mengapa kita takut akan perubahan? Bukankah perubahan itu jadi bagian dari keseharian kita. Apakah yang tidak berubah? Bukankah setiap kemajuan yang kita nikmati saat ini merupakan buah dari perubahan (demikian pula dengan kemunduran yang terjadi). Dahulu, manusia tidak mengenal penyakit kanker, tetapi kemajuan ilmu pengetahun mengubah pengetahuan kita tentang penyakit.

Apakah hati juga mengalami perubahan? Ada waktunya, ketika kita harus membuat jarak untuk melihat sesuatu dengan lebih utuh. Ada waktu lain, ketika kita mendekatkan jarak, untuk melihat detail dengan lebih jelas. Itukah perubahan? Bila memang demikian, bukankah kita akan melihat perubahan itu sebagai sumber pemikiran, sumber inspirasi, dan sumber dalam proses kreatif.
Apakah yang kita takutkan dari perubahan? Banyak hal menakutkan dari perubahan, tetapi semua bermula dari satu titik ketakutan manusia yang paling dasar, takut kehilangan. Perubahan membuat kita taku kehilangan lingkungan yang kita telah sangat menyatu di dalamnya. Perubahan juga membawa ketakutan akan hilangnya teman-teman dan rasa nyaman yang dinikmati selama ini. Perubahan mengharuskan kita menyesuaikan diri untuk hal-hal baru, yang tentu saja tidak mudah.

Mungkin (sekali lagi mungkin), hidup akan terasa lebih nyaman bila perubahan berhenti mengalir pada saat kita merasakan keindahannya.
(Tapi bukankah itu akan menimbulkan kebosanan?)

(Untuk seorang teman yang sedang merasakan adanya perubahan)