Thursday, December 27, 2012

Mpu [Catatan Untuk Hari Ibu]

Pembuat keris,  diberi gelar Mpu. Bukan hanya pembuat keris, mereka yang memiliki keahlian tertentu sehingga sangat dihormati dalam masyarakat, dipanggil sebagai Mpu.

Hidup manusia, seperti jemari tangan, bermula dari kanak-kanak dan diakhiri dengan mpu jari. Pencerahan demi pencerahan mendorong manusia berproses sesuai dengan tahapan yang dilalui. Masa kanak-kanak adalah masa yang penuh kegembiraan, tanpa tanggung jawab kecuali untuk dirinya sendiri, belajar segala hal, memahami segala hal. Ketika mengijak remaja, dunia menjadi manis. Hanya ada dunianya sendiri. Masa muda dilewati dengan kesombongan. Merasa ilmunya paling tinggi sendiri. Kalau dia berlatih beladiri, pastilah dia melupakan makna bela diri itu sendiri, kecuali, serangkaian latihan untuk menjadi yang terkuat.  Setelah itu, karir kehidupan makin meningkat, maka mulailah main tuding. Tunjuk sana-sini, tuding sana-sini, perintah sana-sini….

Apakah meraih kebahagiaan? Pasti tidak, karena sesuatu yang berasal dari wadah kasar tak akan memberikan kebahagiaan sempurna. Kalau tidak terlambat menyadari ketidakbahagiaan itu, beruntunglah manusia, karena, dia akan memasuki alam spiritual yang membawakan kebahagiaan sejati. Penempaan diri fase terakhir, menjadi seorang mpu. Seorang yang menurut Gede Prama, meletakkan saklar kebahagiaannya di dalam hatinya sendiri, bukan di luar diri.   Bila tahap ini lulus, seseorang memasuki tahapn mpu. Hanya mpu yang bisa menghadirkan kembali setiap kehidupan yang telah lewat, menjadi sebuah kebahagiaan. Cobalah kelingking sampai telunjuk [anak-anak sampai pejabat tinggi yang ahli tunjuk], apakah mereka bisa meraih kebahagiaan sang mpu [menyentuhkan jarinya pda ibu jari]?  Tak akan.

Hanya Ibu jari [mpu], mampu meraih semua jemari yang lain, kecuali dirinya sendiri. Karena dirinya sendiri adalah bukanlah miliknya. Seorang mpu sekalipun hanyalah wadah, yang menjalankan peran dari sang Kuasa.

Karena itu, benarlah kita menggunakan per-empu-an untuk menghormati mereka yang membawa tugas suci melahirkan generasi terbaik. Per-empu-an, yang membawa semua sifat kebahagiaan lahir dan jiwa.

Monday, July 30, 2012

Perbankan Syariah [bagian 2]

Seberapa Syariah?
Bagian pertama tulisan saya menjelaskan tentang model perbankan syariah. Pada bagian ini saya ingin menguraikan tentang kesyariahan-nya perbankan syariah. Mengapa? Karena banyak yang ragu dengan model ini, dan pesimis bahwa perbankan syariah tak beda dengan perbankan konvensional, kecuali baju luarnya yang berwarna hijau. Pendapat seperti itu tidak sepenuhnya salah, karena minimnya informasi proses bisnis dalam bank syairiah. Mari kita pahami dengan contoh sederhana berikut:

Seorang non muslim ingin membuka rumah makan. Karena tinggal di Indonesia, dan segmen pasar yang besar adalah kaum muslim, maka, si pengusaha ini berniat membuat rumah makan yang tunduk pada tata cara makanan muslim. Bolehkan non muslim membuka rumah makan dengan sajian makanan yang memenuhi persyaratan makanan muslim? Tentu saja boleh. Bahkan Nabi Muhammad pun berniaga dengan kaum yahudi.

Untuk menjamin restoran tadi menjual makanan yang halal, si pengusahan merekrut beberapa tenaga muslim yang fasih dalam menjamin makanan yang halal. Tenaga-tenaga ini menyusun sistem dan prosedur mulai dari pemiih bahan baku, penyiapan sebelum dimasak, sampai bagaimana makanan disajikan. Di dalam sistem dan prosedur itu, termasuk bagaimana cara menyembelih ayam atau menentukan pemasok daging ayam yang dipotong sesuai tata cara muslim.

Ayam goreng, sate ayam, steak dan semua yang disajikan restoran tersebut sama lezatnya dan mungkin sama gosongnya dengan penyajian di restoran lain. Kompor, wajar, pemanggang, gelas, piring yang digunakanpun sama. Cara memasaknyapun sama. Tak ada prosedur yang berbeda, kecuali pada niat [akad] saat penyiapan bahan. Restoran yang berani mempromosikan dagangannya sebagai “tunduk” pada syariah Islam tersebut memotong atau memilih daging yang dipotong dengan niat dan atas nama Allah, sedangkan restoran yang lain, tidak berpikir sampai di situ. Pemilik restoran yang lain mungkin berasumsi, dengan membeli daging atau ayam potong di pasaran, pasti sudah dipotong dengan cara yang benar menurut agama Islam, karena tinggal di negara dengan mayoritas muslim.

Begitu juga dengan perbankan syariah. Ini adalah lembaga keuangan dengan motif mencari laba. Sistem komputer di dalamnya sama, alat-alat yang dipakai sama. Akutansi dan pencatatannya sama dengan perbankan konvensional. Model matematika untuk penghitungan sama. Orang-orangnya sama berjualan. Yang membedakan adalah niat [akad] di dalamnya. Perbankan syariah tidak mengenal konsep bunga, yang ada adalah margin. Perbankan tidak mengenal pemberian kredit, yang ada adalah pembiayaan [project sharing] dan jual beli [ini yang paling banyak]. Bukan jual beli uang, tetapi jual beli barang yang diperlukan oleh konsumen.
Bila kita ingin membeli mobil seharga 200 juta dan hanya memiliki yang 50 juta, di perbankan konvensional kita meminjam yang 150 juta dan dikenakan bunga tertentu. Di perbankan syariah, mobil itu dibeli oleh bank, kemudian dijual kepada nasabah dengan margin tertentu.

Lantas, bagaimana dengan margin yang seringkali disetarakan dengan tingkat bunga? Itu hanya sebuah proses matematika dalam akuntansi. Perbankan harus memisahkan catatan Harga Pokok Pembelian dengan margin. Dengan sedikit pembeli dan jangka waktu yang singkat tanpa banyak variasi, mudah saja bagi kita untuk mencatat margin dalam bentuk absolut, tetapi, bila menyangkut ribuah nasabah dan variasi jangka waktu yang bermacam-macam, mencantumkan margin dalam bentuk persentase hanyalah sebuah model perhitungan.

Siapakah yang menjamin bahwa bank syariah tunduk kepada hukum Islam? Dalam tahap awalnya, untuk menjamin ini, sistem dan prosedur yang akan diberlakukan harus diuji lebih dulu oleh Majelis Ulama Indonesia dan Bank Indonesia. Pada tataran operasional selanjutnya, sebagaimana rumah makan dalam contoh di atas, harus ada Dewan Pengawas Syariah. Dewan ini beranggotakan orang-orang sangat paham pengetahuan agama terutama untuk muamalah. Keanggotaan Dewan Pengawas Syariah memiliki persyaratan kompetensi tertentu dan harus memperoleh persetujuan Majelis Ulama Indonesia. Tugas utama DPS ini adalah menjamin bahwa seluruh sitem dan prosedur serta produk yang ditawarkan oleh bank tunduk kepada aturan hukum Islam.

Namun demikian, sekali lagi, perbankan syariah bukanlah kegiatan dakwah. Perbankan syariah adalah sistem perbankan yang “tunduk” pada sistem ekonomi Islam. Siapapun yang cocok dan nyaman dengan sistem tersebut, boleh memanfaatkannya.

Sekarang, tak perlu ragu kan..

Perbankan Syariah [bagian 1]

Hasil dari tangan tak terlihat [invisible hand] itu, memang tak akan pernah terlihat, karena memang tangan itu tak pernah ada.

Begitu yang disanpaikan Stiglitz atas ekonomi kapitalis. Konsepsi ekonomi kapitalis adalah pemilik modal melakukan investasi dan meciptakan lapangan kerja. Distribusi kekayaan dilakukan dengan pola tetesan air dari atas. Persaingan akan mendorong efisiensi usaha sehingga harga-harga menjadi murah dan kualitas meningkat. Sebuah “tangan” yang tak terlihat akan mengatur proses tersebut. Tapi, puluhan tahun setelah Adam Smith menyatakan tangan tak terlihat, hasilnya bisa kita lihat, sampai sekarang keadilan semakin jauh. Perekonomian meningkat, tapi kesejahteraan dan keadilan makin menjauh.

Sebagian ekonom yakin akan adanya sesuatu yang salah dari teori ekonomi kapitalis. Bahkan Keynesian, dengan lantang mengatakan “dalam jangka panjang, orang-orang akan mati”, untuk membantah ekonom pasar bebas yang sangat yakin bahwa kesejahteraan dan keadilan ekonomi memerlukan waktu.

Pemikiran ekonomi Islam kemudian muncul seolah menjadi solusi terbaik keadilan dan kesejahteraan ekonomi. Maka digagaslah model pembangunan ekonomi berbasis Islam, termasuk di dalamnya perbankan syariah. Dengan perbankan syariah, setiap orang memiliki kesempatan untuk melakukan investasi, setidaknya investasi bersama-sama dengan pola bagi hasil.

Esensi utama dari perbankan syariah yang ada saat ini adalah “akad” dalam konsep bagi hasil. Ekonomi Islam tidak mengenal pinjaman untuk melakukan kegiatan usaha. Yang dikenal adalah konsep kerja sama. Tetapi, ini bukan berarti dalam ekonomi islam tidak terdapat pembelian secara angsuran. Pembelian barang secara angsuran tetap ada.

Contoh berikut akan mempermudah penjelasan. Bila ada peluang membuka sebuah toko sepeda motor yang memerlukan modal awal [investasi] senilai 100 juta rupiah sedangkan kita hanya memiliki uang 40 juta rupiah, maka dalam konsep ekonomi syariah, tak ada sistem meminjam uang sebanyak 60 juta. Yang ada adalah memberi kesempatan pihak lain untuk turut serta dalam kegiatan tersebut dengan share sampai 60 juta rupiah. Di perbankan konvensional, kita meminjam uang, di perbankan syariah, kita mengajak teman-teman yang dikoordinisaikan oleh bank syariah untuk menanamkan modal. 
Tetapi, menjual sepeda motor dengan angsuran adalah hal yang berbeda. Dalam hal seperti ini, layaknya penjualan lain, kita boleh menjual dengan angsuran dan menambah margin tertentu atas harga jual tersebut. Berbeda dengan bunga, margin tidak boleh berubah selama jangka waktu angsuran. Itu unsur kepastiannya.

Sekarang, kembali ke cerita tentang investasi. Apabila kegiatan perdagangan sepeda motor yang dilakukan bersama-sama tadi berhasil memperoleh laba, maka laba akan dibagi kepada seluruh pihak yang terlibat, termasuk bank, dengan konsep bagi hasil. Bila laba, bisa berbagi hasil, bagimana bila terjadi kerugian? Tentu saja kita berbagi risiko [kerugian].

Itu gambaran ideal dari sebuah perbankan syariah. Apakah itu sudah berjalan? Belum untuk saat ini, tapi setidaknya kita menuju kesana. Sulit membayangkan bahwa nasabah yang menanamkan dananya ke perbankan syariah akan mau menerima kenyataan bahwa investasi yang mereka lakukan mengalami kerugian. Ini sama sulitnya dengan pihak perbankan syariah untuk melihat proses bisnis dan pencatatan yang mendetail dari pengusaha yang menjadi sponsor utama proyek tersebut. Akibatnya, sambil menuju kesempurnaan, saat ini perbankan syariah masih bersedia menanggung kerugian yang terjadi pada nasabah, dengan menyebutkan rasio bagi hasil atas penanaman dana nasabah di bank tersebut. Dengan skema ini, hampir dapat dipastikan, nasabah penabung [sahibul mal] tidak akan mengalami kerugian. Mengapa bisa demikian? Karena perbankan syariah mengelola dananya dengan pola “pool” dana, bukan portfolio investasi individual. Artinya, demi kemaslahatan bersama, maka seluruh pendapatan [keuntungan] akan dihitung lebih dulu oleh bank, kemudian atas keuntungan tersebut, seluruh nasabah memperoleh hasil dengan rasio bagi hasil tertentu.

Apakah pola di atas telah benar-benar syariah? Tidak ada yang absolut di dunia ini. Tetapi, kami yang berkecimpung di dunia perbankan syariah setidaknya yakin dan selalu berupaya untuk menuju kesempurnaan. Meskipun yang sempurna dan absolut itu hanya milik Allah.

Hal penting lain, perbankan syariah bukanlah kegiatan dakwah, tetapi adalah sebuah konsep ekonomi yang memenuhi persyaratan hukum Islam. Jadi, perbankan syariah bukanlah untuk orang Islam saja. Di beberapa negara eropa dan juga mungkin di beberapa bank syariah di negara kita, terdapat eksektuif yang non muslim. Karena esensi yang ditawarkan perbankan syariah adalah sistem, bukan agama. Sistem yang tidak bertentangan dengan agama Islam. Siapapun yang tertarik dengan sistem tersebut, maka dia boleh menjadi nasabah. Di Inggris, perbankasan syariah berkembang pesat dengan lahirnya HSBC Amanah, sebelum perbankan syariah di Indonesia berkembang. Saya sendiri termasuk yang tidak begitu setuju bila sistem perbankan ini dikait-kaitkan dengan atribut keagamaan. Itu dua hal yang sangat berbeda.

Semoga penjelasan ini bisa memadai bagi teman-teman......

Monday, July 09, 2012

Kesaksian

Diskusi lebih dari tiga jam dengan seorang sahabat lama sungguh menarik. Karenanya, sayang bila materi diskusi itu tidak disebarkan kepada teman-teman. Ini sekedar gagasan yang mungkin bisa saja tidak sejalan dengan pemikiran teman-teman lain, tetapi, setidaknya ini akan menambah wawasan akan adanya sudut pandang yang berbeda dalam memahami sesuatu. Ini diskusi tentang syahadat.

Apakah syahadat itu? Teman saya mengajukan pertanyaan retoris, tapi tetap saja saya ingin menjawabnya. Saya mengucapkan syahadat sebagai persaksian bahwa saya meyakini keberadaan Allah, yang menciptakan langit dan bumi serta Muhammad sebagai sang rasul. Begitu jawab saya.
Teman saya, lantas bertanya kembali, mengapa engkau berani bersaksi tentang keberadaan Allah dan Muhammad, padahal engkau tak pernah bertemu dengan Muhammad, apalagi Allah?

Terus terang, saya tak dapat menjawab pertanyaan ini. Masalah kesaksian ini, bagi saya hanya sebuah kebenaran mutlak yang harus saya terima tanpa pertanyaan, begitulah yang diajarkan orang tua dan guru-guru saya.
Teman saya kemudian mencoba menguraikan kebingungan saya. Kesaksian tanpa menyaksikan pastilah sangat lemah. Seperti di pengadilan, seorang saksi sering diragukan kesaksiannya, karena jarak pandang yang jauh. Semakin dekat jarak pandang, maka makin pasti seseorang akan kesaksiaannya. Makin jauh jarak pandang, makin mudah pihak lain mengintimidasinya dengan keragu-raguan atas kesaksian yang dibuat. Begitulah hukumnya.

Kesaksian seseorang akan Allah dan Muhammad tentu saja sangat berbeda antara satu dengan yang lain, uraian sang teman ini dilanjutkan. Bagi Muhammad yang telah mengalami pertemuan langsung maupun tidak langsung dengan Allah, maka pastilah kesaksiannya akan sempurna. Atau kesaksian sabahat-sahabat Muhammad, yang berdiskusi langsung dengan Sang Rasul, tentulah mendekati sempurna. Tapi, kesaksian kita yang tidak mengalami interaksi langsung dengan Sang Rasul apalagi Sang Pencipta, tentu saja sulit untuk mendekati sempurna.
“Lantas, bagaimana agar aku bisa setidaknya makin menyempurnakan kesaksianku?”, tanyaku pada sang sahabat ini.

Sang sahabat menunjukkan sebuah batu berwarna putih cemerlang, tetapi tidak bening. Dia mengatakan serupa itulah hati kita [maksudnya tentu saja akal pikiran yang ada pada otak kita]. Kalau engkau terbiasa menjernihkan hati [pikiranmu], maka setiap pancaran sinar akan menembusnya, serupa kebeningan tanpa ada penghalang apapun. Kalau kebeningan itu telah engkau dapatkan, maka, engkau akan mampu memandang apapun dengan mata hatimu. Apapun yang kau pandang dengan mata hatimu itulah yang akan membawa perjumpaanmu pada Sang Pencipta. Ketika engkau memandang seekor semut, mengamati bakteri dengan mikroskop, memandang gunung, menikmati bintang, bahkan, memandang pada dirimu sendiri, apapun yang kau pandang, bila mata hati yang kau gunakan, maka engkau akan bertemu Allah.
Jadi, engkau bisa meningkatkan kesaksianmu dengan pasti bila mata hatimu digunakan dan dibersihkan secara terus menerus.

Setelah menyampaikan uraiannya, sahabat ini menyerahkan batu putih cemerlang tadi, sambil berpesan bahwa batu ini akan menguatkan kesaksianmu. Aku bertanya-tanya, bagaimana sebuah batu akan menguatkan kesaksianku akan Allah dan Muhammad? Seperti membaca pikiranku, sahabat ini menjelaskan bahwa batu itu tidak memiliki kesaktian apapun, kecuali, bila engkau ingin memandangnya dan memahaminya sebagaimana yang dia jelaskan sebelumnya. Batu itu hanya akan mengajakku untuk mengingat, bahwa hati yang bersih akan memendarkan cahaya ke setiap wujud yang ingin dilihat, sebagaimana Allah melihat dan mengetahui. Jadi, ketika engkau memandang batu itu, atau menggunakannya sebagai sebuah cincin, pandanglah dengan hatimu, bahwa sang batu diciptakan Allah untuk mengingatkan kita akan kebeningan, dengan demikian engkau akan menjernihkan pikiranmu. Dari situ, engkau akan semakin yakin dengan kesaksianmu. Itulah kekuatan sang batu

Danau Pisang

“Kau pergilah ke danau pisang, di sana ada banyakg makanan, pisang yang ranum berlipat dua dibandingkan apa yang kau lihat di sini,” kata raja kera kepada kera pejantan lain yang menjadi pesaingnya.

“Tapi, ingat, kau harus memetik yang di dalam danau terlebih dahulu, sebab, kalau engkau memetik yang di daratan lebih dulu, maka tanaman pisang yang di dalam danau akan melihatmu kemudian bersembunyi. Dia tak ingin dimakan oleh kera,” demikian lanjut raja kera.

Kera pejantan itupun dengan riang gembira menuju danau pisang. Benar-benar menakjubkan. Sekeliling danau dipenuhi tanaman pisang dengan buah yang ranum. Bukan hanya di daratan, tetapi juga di dalam danau.

Penasaran ingin membuktikan pesan sang raja, kera pejantan itupun mencoba meraih satu tandan pisang dari daratan. Setelah pisang dimakannya habis, dia melihat ke dalam danau. Benar sekali, buah pisang yang tadinya ada di dalam danau ikut menghilang. Alangkah bijaksana dan baik hatinya sang raja, pikir si kera. Beliau benar-benar tulus memberi informasi tentang danau ini. Kalau begitu, aku tak akan menyia-nyiakan kesempetan yang diberikannya padaku. Akan kuambil semua pisang yang ada di dalam danau lebih dulu, akan kubawa untuk sahabat-sahabatku di kerajaan kera.

Kera pejantan lantas menceburkan diri ke dalam danau dan tenggelam.....

Tuesday, June 12, 2012

Tentang Hujan

Beberapa angan-angan muncul saat mengikuti outbond di Baliwoso camp, Bali, saat api unggun dinyalakan dan tari-tarian bali disajikan. Sepulangnya, di Yogya, barulah rekaman-rekaman ini dituangkan dalam bentuk catatan. Tulisan ini, mungkin dinamakan orang puisi, tapi rasanya bukan, entahlah, saya bukan ahlinya. Ini catatan perasaan yang muncul saat itu.
Selamat menikmati, bila ini bisa dinikmati......


1
Ada yang berkhianat pada hujan, kataku.
Begitu hujan menuruni tangga dan melalui jalang yang lenggang itu, di atas awan mereka tertawa sambil membawa hadiah untukku, sebuah jarum, seuntai benang.
"Hatimu sobek, jahitlah dahulu agar kau bisa tersenyum."
Tidak, bukan hatiku. Senyumku untuk bunga-bunga yang hari ini bermekaran dan daun-daun yang hari ini hijau, juga ranting-ranting yang hari ini patah terlindas jejakku. Ada juga daun yang kering jatuh dan tersenyum tersapu bekasku. Aku pernah bertanya, dulu sekali, mengapa tersenyum? Karena aku akan menjadi sesembahan untuk kehidupan yang kelak, meskipun bukan yang kekal, begitu jawabnya.
Ada yang berkhianat pada hujan, kataku.
Begitu hujan menuruni tangga dan melalui jalan yang lenggang itu, di atas awan mereka tertawa sambil membawa hadiah untukku, sebuah daun yang kering. Ini daun, sebuah isyarat, kau akan kekal, mungkin kelak.

2.
Katakanlah ini kemarau yang panjang, karena jarum-jarum gerimis belum pernah runtuh meskipun ini sudah delapan kali purnama sejak terkahir dia menyirami kita.
Untuk apa menunggu? Mungkin tak pernah datang, kalaupun itu sekedar sebuah tanda.
Tapi aku berharap, karena pagi ini aku ingin menebar benih. Lihat ada awan, itulah pertanda. Percuma saja, katamu, karena angin akan meniupnya lagi.
Tapi, pagi ini aku ingin menebar benih di ladangku. Ada anak-anak yang membutuhkan tikar dan selimut. Percuma saja, karena ada yang telah menghianati hujan, dia tak akan hadir.
Aku Hujan akan datang, bukan karena kau atau mereka yang mengkhianati, tapi karena anak-anak yang ingin lelap dalam buaian Ibu...

3
Tak mengapalah engkau mengeluh, karena tak ada yang mendengar keluhan atau lenguhan, itu sama saja; sama seperti anyaman dan menganyam nyaman.
Tak mengapalah engkau mengeluh, karena, desahan ataupun resapan itu sama saja; sama seperti titik mata air dan air mata titik.
Sudah itu akan berakhir, ketika kering, karena mata air dan air mata serupa ketika menuju titik. Mungkin sebuah desah nafas panjang, atau sebuah lenguhan lepas.
Pada satu titik, dia akan menjadi keluhan. Maka hapuslah air matamu, saat hujan turun menggantikannya, membasahi.


Tentang Bulan dan Bintang

1
Bawakan aku bulan, pintanya. Mengapa bulan? Kau telah menghanguskan jagung bakar yang kutitipkan padamu untuk menjaganya, kau malah pergi dengan penari tanpa sedikitpun mengingat pesanku.
Bawakan aku bulan.
Tapi, malam itu bulan segaris alis, juga ada kabut karena kita di bukit; aku hanya punya sekarung mimpi yang berbaris di atas api.

2
Menarilah, dan kaupun menari; katakan padaku rahasia tarimu.
Adalah bulan turun dengan kipas, yang bergegas, dengan bintang-bintang yang mengawal.
Di tempatku, bintang adalah kuasa seperti itukah di tarimu?
Bukan, di tariku, bintang adalah senyum yang memberi jalan kepada siapapun untuk menganyam cahaya kuning .
Di tempatku, cahaya kuning adalah sejarah tirani, begitukah di tarimu?
Bukan, di tariku, cahaya kuning adalah kemilau yang mengantarkan engkau ke belaian ibu
Kalau begitu mainkanlah nina bobo, jangan beri aku xanax lagi.

3
Ke bintang, ke bintang, suara lantang melagukan dentang
Di mana itu? Sebuah tempat engkau bertapa menanti senja
Siapakah di situ? Aku suara, membawakanmu doa dalam satu mantra
Turunlah. Tidak, engkau tak akan kuat, bahkan bukit sinaipun merunduk
aku ingin mendengarMu kalau begitu.
Percuma saja, engkau menyebut namaKu, kalau kau tak pernah mendengar suaraKu.
Ke bintang, ke bintang aku turut karena aku rinduMu

 4.
Aku bintang, engkau siapa? Apakah kita pernah bertemu? Rasa-rasanya engkau pernah hadir dalam kehidupanku di masa lalu
Aku bintang, engkau siapa? Bulan? Mengapa tak ada warna kuning? Sepertinya engkau memang bulan, karena meskipun tak ada warna kuning, engkau masih membawa tanda yang dulu kita ikatkan di balik rusukmu.
Aku bintang, engkau siapa? Ragu.

5
Di lidah api itu mereka membawakan pucat. Punya siapakah ini? Di lidah api itu mereka membakar bulan dan bintang. Hujan tak jadi datang,. Jadi? Mungkin engkau perlu teman yang menggantikan hujan. Tak perlu, aku punya awan. Terima kasih.
Lidah apipun menari dalam lagu malam tanpa hujan yang datang.
ambilkan bulan Bu, ambilkan bulan Bu.....

Monday, January 02, 2012

Berbuat Baik

Kami bertemu di sebuah tempat terapi alternatif untuk penyakit-penyakit yang tak kunjung sembuh dengan pendekatan ilmu kesehatan standar. Sebuah rumah sangat sederhana yang dijadikan tempat praktek. Kami duduk di teras sebuah rumah


Saat tiba, di ruang dalam nampak penuh tak ada kursi tersisa. Di teras, seorang Ibu yang tak dapat dikatakan muda, dengan pakaian yang agak norak kaos hitam ketat tanpa lengan, duduk di bangku yang tak terlalu panjang. Melihatku kebingungan mencari tempat duduk si Ibu berbaik hati menawarkan berbagi. Namanya Bu Yayuk. Dengan alis yang digambar dan pulasan kosmetik yang memudar karena keringat, si Ibu nampak bukan orang baik-baik, menurut persepsi manusia kebanyakan. Kami mengobrol. Si Ibu mengantarkan seorang temannya yang sedang sakit dan tak kunjung sembuh setelah bertahun-tahun.

“Saya bekerja apa saja Mas. Kalau siang mengumpulkan rosok, kadang saya mengamen, kalau malam saya memijat tetangga,” begitulah si Ibu memulai ceritanya, setelah kami berbasa-basi saling bertanya.

“Suami saya kerja sebagai tukang parkir di Terminal Jombor”, katanya lebih lanjut. “Usianya sudah lebih dari 70 tahun, tetapi suami saya orang yang baik hati. Seluruh penghasilannya selalu diberikan pada saya. Beginilah saya, kalau sudah bercerita saya sulit untuk berhenti. Tapi, saya hanya bercerita pada orang-orang yang mau mendengarkan. Saya tahu, Bapak dengan tulus mendengarkan cerita saya. Kalau Bapak hanya berbasa-basi, saya bisa merasakannya, dan saya tak akan banyak cerita.”

Dia bercerita banyak, saya mendengarkan dengan terheran-heran. Antrian saya nomor empat belas, seroang pasien di terapi sekitar 15 – 20 menit. Bukan waktu yang singkat.

“Saya terimakasih sekali Pak, ada yang mau bicara dengan saya. Kebanyakan mereka hanya memberikan uang dari balik teralis pagar. Ada seorang ibu yang saya lihat jalan terpincang-pincang, saat ngamen, kemudian saya tawarkan diri untuk memijat. Hanya di teras rumah Pak, saya tak ingin masuk, khawatir kalau ada barang-barang hilang dan juga khawatir dianggap tak tahu diri. Saya pijat 2 jam Pak. Selesai pijat, si Ibu merasa baikan, dan meminta alamat saya untuk pijak lagi. Dua jam itu, Pak, saya hanya diberi uang lima ribu rupiah. Tapi, saya ikhlas Pak, meskipun rasanya sedih.”

“Saya muslim Pak, tapi saya belum shalat. Tiap malam saya berdoa. Saya hafal Al Fatihah, hanya itu yang saya hafal. Setiap hari saya berdoa pada Gusti Allah, menyebut namanya sepanjang jalan. Saya juga mengikuti ajaran kejawen Pak. Kadang malam saya tak tidur dan duduk di makam-makam tua.”

“Dulu, payudara saya pernah besar membengkak Pak, sangat besar. Saya hanya bisa merintih kesakitan. Tak ada biaya untuk berobat, saya hanya pasrah pada Tuhan yang memberi saya hidup. Berbulan-bulan merintih Pak, tak bisa apa-apa. Kemudian saya bertemu seorang kyai dari Banten. Katanya, saya hamil dan yang menghamili saya adalah bangsa jin.”

“Ini benar-benar terjadi Pak, Bapak pasti tak percaya cerita saya”, tegas perempuan itu ketika pikiran normal saya mulai bereaksi atas cerita yang seperti ini.

“Suatu hari, oleh kyai dari Banten itu, saya disuruh berbaring dan diberi tahu, jin yang saya kandung akan segera lahir, tepat jam 12 malam. Saya menurut saja Pak. Rasanya saat itu saya sudah tak hidup lagi. Para santri membaca berbagai doa yang saya tidak tahu. Kemudian kesadaran saya hilang, seperti tertidur yang lelap. Saya merasa seperti mimpi berpisah dengan seseorang. Perpisahan yang sangat berat. Kami berpegangan tangan seperti tak ingin saling melepaskan. Kalau Bapak muda dulu ingin berpisah dengan pacar, seperti itulah, tangan seolah tak ingin lepas sampai lepasnya sentuhan ujung jari. Kemudian tangan saya menggapai-gapai ingin meraih tangannya kembali. Dalam mimpi itu, sang laki-laki seperti pamit pada saya, dan meninggalkan sesuatu agar saya gunakan untuk membantu setiap orang yang memerlukan.”

“Saya tersadar Pak, dikelilingi para santri. Seorang murid Pak Kyai berteriak ketika melihat saya sudah sadar. Rasanya aneh sekali Pak. Saya pikir saya sudah meniggal, karena sekian bulan menahan sakit yang tak terhingga. Payudara saya tiba-tiba mengempis, hanya tersisa bekas goresan sedikit. Rasa sakit menghilang dalam beberapa hari.”

“Ini kejadian benar Pak, saya mengalaminya, memang aneh. Sejak itu, saya selalu ingin menolong orang. Mungkin saya hanya punya sedikit harta, tapi saya dikaruniai kelebihan, niat untuk selalu menolong orang. Ada tetangga kelaparan belum makan, saya hanya punya beras sedikit, saya bagi setengahnya untuk tetangga. Ada orang kelelahan, saya pijat dengan tanpa mengharap bayaran. Ada orang sakit, saya coba sembuhkan. Kalau saya tidak mampu sembuhkan, saya bawa ke tempat lain yang bisa membantu kesembuhannya. Kalau tidak mampu membayar, saya berikan harta saya untuk membayarnya. Tentu saja, saya hanya mampu mengantarkan ke tempat seperti ini Pak, yang tidak menentapkan tarif bagi pasiennya. Di sini, setiap pasien bebas untuk berderma.”

“Hidup saya penuh kotoran Pak, saya bukan orang yang bersih, tapi saya selalu ingin menolong orang. “

“Saya muslim Pak, meskipun saya tidak shalat.” Kalimat itu diulanginya lagi.
“Maaf, mengapa Ibu tidak shalat?”
“Mungkin saya belum sadar ya Pak...”. Suaranya mulai bergetar, dan makin lirih.
“Apa saja yang saya minta pada Gusti Allah, selalu dikabulkan, tetapi saya belum shalat Pak. Terimakasih Pak, mengingatkan saya .Saya janji, akan shalat Pak, Kalau ada yang memberi saya rukuh, saya segera shalat...”..

Giliran pasien yang diantar Ibu tersebut untuk terapi. Obrolan kami terhenti. Kemudian giliran saya tiba.

Keluar dari ruang terapi, si Ibu dan pasien yang diantarnya masih duduk di pinggir jalan, menunggu taksi katanya. Aku pamit mendahului. Mendoakannya semoga pasiennya segera sembuh dan si Ibu selalu mendapat kasih sayangNya...

Begitu saja. Kemudian angan-anganku berkecamuk di benakku. Mengapa tak membelikannya rukuh? Sempat terpikirkan tadi, saat dia mengatakannya. Mengapa pula membiarkan mereka berdua duduk menderita di pinggir jalan dan tak mengantarkan mereka pulang? Lihat, mereka mungkin menjalani kehidupan yang sangat termarginalkan, tapi, tak sedikitpun mereka mengeluh dan meminta bantuan orang. Apakah susahnya bagiku untuk meminta supirku membelikan rukuh dan mengantar mereka pulang? Mengapa sering muncul pikiran jahat dan ketidakpedulian pada hatiku? Mungkin dia diutus oleh Sang Kuasa untuk mengingatkanku, bahwa ibadahku masih sebatas upacara, belum menjadi bagian dari kehidupanku.....