Thursday, January 31, 2008

Kita memang bersandar pada mungkin

Tiba-tiba saja, potongan bait-bait puisi menyeruak ke dalam pikiranku. Entah kenapa, mungkin karena sedang mengalami suatu peristiwa yang menyakitkan dan tidak mampu dikendalikan. Mungkin juga merasa kehilangan teman teman yang menurutku bisa menjadi tempat bersandar pada saat mengalami kesulitan.

Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin.

Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.

Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga pada
sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut pada lokan,
mungkin akan tetap juga di sana – apa pun maknanya


Sebenarnya, mengapa kita harus selalu bertanya tentang apa dan mengapa? Bukankah lebih nyaman bila hidup ini diterima sebagai sebuah fungsi linear, yang didalamnya kita hanya larut pada variabel-variabel eksternal.

Potongan puisi di atas milik Goenawan Mohamad berjudul Pada Sebuah Pantai: Interlude. Judul ini sendiri kemudian mengembangkan dalam imajinasi dan mengingatkan pada novel Dini yang aku baca ketika SMP dulu, “Pada Sebuah Kapal”. Untuk koleksi puisi, masih dapat ditemukan pada buku “Puisi Pilihan Goenawan Mohamad”. Sebuah kumpulan puisi yang dipilih dan diedit oleh Laksmi Pamuntjak. Sedangkan “Pada Sebuah Kapal”, telah hilang entah kemana.


Pada Sebuah Pantai: Interlude[1]

Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil.
Yakni ketika pasang berakhir, dan aku menggerutu”masih tersisa
harum lehermu”; dan kau tak menyahutku

Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,
Hijau (mungkin kelabu)
Angin amis. Dan
di laut susut itu, aku tahu,
tak ada lagi jejakmu

Berarti pagi telah mengantar kau kembali, pulang dari sebuah dongeng
tentang jin yang memperkosa putri yang semalam
mungkin kubayangkan untukmu, tanpa tercatat, meskipun pada
pasir gelap

Bukankah matahari telah bersalin dan
melahirkan kenyataan yang agak lain
Dan sebuah jadwal lain?
Dan sebuah ranjang & ruang rutin, yang
Setia, seperti sebuah gambar keluarga
(dimana kita, berdua, tak pernah ada)?

Tidak aneh.
Tidak ada janji
pada pantai
yang kini tawar
tanpa ombak
(atau cinta yang bengal)

Akupun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,
berberes dalam sebuah garis dan berkata: “Mungkin tak
ada dosa, tapi yang ada percuma saja.”

Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil
Dan itulah soalnya.
Dimana ada keluh ketika dari pohon itu
mumbang jatuh seperti nyiur jatuh dan
ketika kini tinggal panas & pasir yang
bersetubuh

Dimana perasaan-perasaan memilih artinya sendiri,
Dimana mengentara bekas dalam hati dan kalimat-
kalimat bisa berlarat-larat (setelah
semacam affair singkat), dan kita menelan ludah sembari berkata: “Wah, apa daya.”

Barangkali kita memang tak taramat berbakat untuk
menertibkan diri dan hal ihwal dalam soal seperti ini.

Lagi pula dalam sebuah sajak sentimentil hanya ada satu
dalil: biarkan akal yang angker itu mencibir.

Meskipun alam makin praktis dan orang-orang telah memberi
tanda DILARANG MENANGIS

Meskipun pada suatu waktu, kau tak akan lagi datang
padaku.

Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin.

Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.

Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga pada
sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut pada lokan,
mungkin akan tetap juga di sana – apa pun maknanya

[1] Goenawan Mohamad

Tuesday, January 29, 2008

Memahami Lingkungan

Ada kalimat yang sangat menarik dari sebuah buku lama yang terlupakan.[1]
“Satu kapal berlayar ke timur dan yang lain ke barat dengan tiupan angin yang sama. Susunan layarlah yang menunjukkan pada mereka arah perjalanan, bukan embusan angin.”

Kalimat ini seperti mengingatkan kita semua untuk kembali memaknai diri sendiri. Bukan lingkungan yang menyebabkan tujuan hidup tercapai, tetapi bagaimana kita mengatur diri sendiri. Anda tidak bisa menyalahkan boss, ketika tidak diberi peluang untuk memimpin suatu proyek prestisius. Anda tidak bisa menyalahkan orang tua atau sekolahan anda, ketika gagal untuk mengikuti ujian. Anda tidak bisa menyalahkan guru agama ketika menyadari diri anda semakin jauh dari jalan kebenaran.

Angin yang berhembus, di luar kendali anda, jadi jangan minta angin untuk bertiup ke barat, karena anda ingin berlayar ke barat. Ubahlah posisi layar anda. Setidaknya, sadarkan diri anda bahwa mungkin sasaran untuk berlayar ke barat terlalu berat. Orang Jawa mengatakan “iso rumongso”, bukan “rumongso iso”. Artinya bisa merasa, bukan merasa bisa. Bila angin tidak mendukung rencana perjalanan, cobalah untuk berputar, mengubah haluan, dan mengatur ulang posisi. Hanya orang yang tak pernah berpikir yang meminta arah angin untuk berubah.

Kinerja Anda luar biasa cemerlang. Target penjualan tercapai. Tidak ada tunggakan pembayaran yang tak tertagih. Tapi, promosi untuk area manager yang Anda yakini hanya masalah waktu, ternyata jatuh ke rekan lain. Anda frustrasi? Pasti. Tapi jangan salahkan boss Anda. Pasti ada alasan mengapa bukan Anda yang dipilih. Mungkin ada pertimbangan lain. Tanyakan pada boss mengenai kekurangan Anda sehingga tidak dipromosikan. Jangan minta boss untuk mengubah kriteria pengambilan keputusan, tetapi pahami kriterianya, dan refleksikan pada diri sendiri, kriteria apa yang belum Anda penuhi.

Akhirnya, ketika promosi tak juga Anda raih, ada dua pilihan, pindah kerja, atau coba baca nasehat berikut:
“Kami tidak sempurna (tidak berhasil promosi) bagi yang membandingkan ketubuhan kami dengan ketubuhan mereka (yang kariernya melejit), tetapi kami bertubuh sempurna dalam keberadaan kami sendiri ...”[2]

[1] What Smart People Do When Dumb Things Happen at Work, Charles E. Watson
[2] Dikutip dari Rumah kehidupan Penuh Keberuntungan, tulisan Gede Prama. Gede Prama sendiri mengutip dari novelnya Seno Gumira, Biola Tak Berdawai. Kalimat dalam kurung saya tambahkan untuk menyesuaikan dengan konteks bahasan di tulisan ini, tentang promosi. Aslinya, kalimat tersebut untuk menceritakan pemahaman tentang anak-anak cacat. Mereka tidak sempurna bila dibandingkan manusia lain, tetapi mereka sempurna dengan keberadaannya. Dalam konteks tulisan ini, yang dimaksud sempurna adalah melakukan pekerjaan dengan sepenuh hati.

Saturday, January 26, 2008

Kepemimpinan

Setiap hari Selasa Wage (perpaduan antara penanggalan nasional dengan penanggalan jawa), komunitas Budaya Yogya Semesta melakukan dialog budaya dengan berbagai tema. Salah satu menarik adalah diskusi pada hari Selasa Wage 22 Januari lalu yang mengangkat tema kepemimpinan. Sebenarnya tema kepemimpinan selalu mewarnai diskusi, tetapi Selasa lalu, khusus dikupas bagaimana kepemimpinan yang seharusnya di Indonesia. Salah satu simpulan pokok yang sangat mengesankan adalah leadership di Indonesia telah berubah arah menjadi dealership. Ini plesetan khas Yogyakarta. Ketika kepemimpinan tidak lagi ditujukan untuk mensejahterakan umat, tetapi lebih untuk mengumpulkan kekayaan, maka pemimpin adalah pedagang, yang dengan wajah dingin akan menjual apa saja yang dimiliki kekayaan bangsa, untuk kepentingan pribadinya. Pemimpin bukan lagi menjadi leader, tetapi dealer dari aset bangsa.
Selain itu, ada satu hal yang sangat menarik. Dari tiga pembicara, semua mengutip kepemimpinan masa lalu sebagai contoh. Berarti, saat ini manusia memang telah kehilangan panutan. Panutan adalah seseorang yang kita ikuti (bahasa jawa, manut berarti menurut). Dan yang paling menarik, tak ada satupun dari pembicara yang mengangkat contoh bagaimana seorang pemimpin harus mengahiri kepemimpinannya, menyerahkan tahta kepada orang lain yang lebih sesuai dengan kondisi dan situasi terkini. Bukan berarti pemimpin lama adalah pemimpin yang jelek, tetapi lingkungan yang berubah menuntut perubahan cara pandang serta gagasan baru yang relevan. Persiapan pemimpin yang tersulit bukanlah menyiapkan pengganti, tetapi menyiapkan diri sendiri untuk menerima kenyataan bahwa eranya telah lewat. Dirinya sudah waktunya untuk diganti. Inilah inti kepemimpinan.

Pada tulisan ini, saya ingin mengutip utuh pengantar diskusi, yang ditulis oleh Hari Dendi. Tulisan yang cukup panjang, tetapi saya tidak berhak untuk meringkasnya, karena, sebagaimana pengantar suatu diskusi, pemotongan satu kalimat dapat merusak keseluruhan pemahaman. Selamat menikmati.



Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-9:

Kepemimpinan Bangsa yang Kuat


DALAM wawancara dengan Oriana Fallaci tahun 1972, Henry Kissinger mengatakan bahwa untuk menjadi Kepala Negara tidak perlu keintelektualan, tetapi kekuatan, keberanian, dan kecerdikan. Cerdik membutuhkan kecerdasan pragmatik, selain harus tetap dalam alur paradigmatik (Jakob Sumardjo, Kompas, 29/12/2007).

Kerinduan Hadirnya Negara yang Kuat
Sekarang ini dan ke depan memang Indonesia memerlukan pemimpin dan kepemimpinan yang kuat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Pemimpin yang kuat, menurut Pimpinan Ikatan Alumni Lemhannas (IKAL), adalah pemimpin yang paling rendah resistensinya dalam masyarakat. Pemimpin yang kuat berarti juga memiliki konsistensi –satya wacana: satunya kata dengan perbuatan—tegas dan tidak ambivalen sebagai wujud kontrak sosial dengan rakyat.

Transisi politik dari sebuah negara mengandung berbagai ketidakpastian. Transisi tidak selalu menuju demokrasi, meskipun instrumen demokrasi itulah yang diidealkan dan dipilih. Transisi politik bisa saja malah menimbulkan disintegrasi bangsa, jika para pelakunya gagal mengkonsolidasikan demokrasi. Setelah kekuasaan otoriter ditumbangkan, maka dituntut kemampuan untuk menata kembali negara ini. Dari negara yang sekarang belum efektif –belum memiliki kewibawaan dan kekuatan memadai untuk melakukan penegakan hukum dan melindungi warga negara-- menjadi negara yang kuat dan demokratis.

Konsolidasi negara juga tidak akan berhasil tanpa diikuti konsolidasi lembaga politik dan perubahan kultur politik. Serta juga, konsolidasi civil society yang justru pada masa reformasi mengalami kemandegan. Mencoba merefleksi kondisi saat ini, Indonesia sedang mengalami disfungsi sistemik. Lembaga-lembaga negara tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Presiden berkali-kali menegaskan perlunya korupsi diberantas, tetapi Kejaksaan Agung atau KPK justru kompromis terhadap koruptor, atau setidaknya masih cenderung “tebang-pilih”.
Kerinduan hadirnya negara yang kuat bukanlah negara otoriter dan totaliter, tetapi sebuah negara yang efektif dalam menjalankan pemerintahannya, mempunyai legitimasi yang kuat, dan akuntabel. Demokrasi hanya bisa tegak dan berkembang baik, jika negara dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik, kredibel, dan akuntabel di mata masyarakat. Termasuk konsolidasi negara adalah konsolidasi sistem dan kelembagaan hukum yang memungkinkan negara berjalan berdasarkan rule of law. Penegakan hukum otomatis harus didukung lembaga penegak hukum yang kredibel, akuntabel, dan profesional pula.

Namun, ide negara kuat bukan berarti civil society harus lemah. Civil society yang kuat akan mampu menjalankan perannya sebagai jembatan antara rakyat dengan negara. Civil society yang mampu mencegah agar otoritas negara tidak memasuki domain society secara berlebihan. Civil society yang mampu menjalankan peran sebagai suplemen dan komplemen dari negara.

Hal inilah yang tampaknya sedang dibutuhkan oleh negara dan bangsa kita saat ini. Agaknya kita telah lupa tentang apa tujuan bersama dalam sebuah negara-bangsa. Kalau pun ingat tujuan bangsa —mewujudkan masyarakat adil dan makmur, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia—itu pun miskin implementasi dengan diiringi kurangnya trust antarsesama kelompok sosial di masyarakat dengan para penyelenggara negara
[1].

Berkaca pada Kepemimpinan Negara Lain
Mencari rujukan tentang Pemimpin yang Kuat kita bisa berkaca pada Margaret Thatcher, “Wanita Besi” yang menjadi Perdana Menteri Wanita Pertama yang paling lama dalam kurun waktu lebih dari 150 tahun sejarah Inggris. Ia tidak pernah putus asa jika tanda-tanda kemenangan belum dilihatnya, ia tidak begitu saja langsung memenangkan pertarungan di dunia politik. Beberapa kali Thatcher menelan kekalahan, tetapi terus maju, hingga dipercaya sebagai Menteri Pendidikan, dan akhirnya menjadi Perdana Menteri sepuluh tahun kemudian. “You may have to fight a battle more than once in order to win it”, adalah pernyataannya yang menunjukkan kemauan kuat Thatcher
[2].

Singapura di bawah Lee Kuan Yew, berkembang dari sebuah pulau kecil yang miskin sumberdaya hingga menjadi negara makmur. Profesor Charles Schell dari Manchester Business School, Singapura, menyebutkan, kunci keberhasilan Lee adalah kepiawaiannya mengelola Arms of Leadership, yakni “kepanjangan tangan” yang memungkinkan pemimpin secara efektif menjalankan sebuah organisasi.
Tidak peduli sebagus apa pun pemimpinnya, tanpa adanya “arms” atau “lengan” kepemimpinan, organisasi tersebut tidak akan dapat berkembang dengan semestinya. Charles Schell menyebutkan dua alternatif lengan kepemimpinan. Tipe I, yaitu melalui penciptaan pemimpin-pemimpin baru (leader creates leaders) yang mempunyai visi dan kemampuan mendekati pemimpin puncak. Tipe II, menciptakan sistem dan prosedur yang dikontrol ketat dan dikompensasi melalui reward and punishment yang konsisten. Sebuah organisasi yang efektif biasanya memiliki salah satu atau keduanya.

Profesor Schell, yang juga konsultan transformasi perusahaan dalam urusan pengembangan negara-negara dunia ketiga itu, menyebutkan adanya perbedaan yang mendasar dalam gaya pengelolaan Arms of Leadership model Lee dengan Pak Harto, walaupun mereka sama-sama keras dalam sikap politiknya. Seperti Indonesia pada waktu itu, partai oposisi di Singapura juga relatif lemah. Walaupun orang berani mempertanyakan kebijakan pemerintah, tetapi tetap saja mereka tidak dapat berbuat banyak. Lee sendiri pernah menuntut lawan politiknya sampai bangkrut, karena menyebut dirinya sebagai orang yang korup dan tidak jujur.

Perbedaannya terletak pada bagaimana pemerintahan tangan besi Lee Kuan Yew juga diimbangi dengan sistem yang kuat dan penegakan hukum yang baik. Etika dan cara hidup parlemen ditetapkan dengan standar yang tinggi --anggota parlemen dilarang mengunjungi bar untuk minum atau pun sekadar bersosialisasi, apalagi berani menerima “hadiah” tanpa sepengetahuan Lee. Standar yang sama diberlakukan di jajaran pemerintahan: tanpa ampun bagi mereka yang ketahuan berjudi, korupsi, atau pun main wanita. Selain itu, sistem birokrasi yang ketat tetapi tetap terkontrol, sehingga bagi mereka yang mengikuti prosedur dengan benar akan dapat menyelesaikan kepentingannya secara cepat dan efisien.

Sementara Indonesia, meski banyak kesamaan dalam situasi politik, tetapi berbeda jauh dalam law enforcement dan etos kerja. Selain korupsi yang merajalela, kita juga malah tidak akan mendapatkan apa-apa kalau mengikuti prosedur atau birokrasi yang berlaku! Visi seorang pemimpin yang pintar tidak akan terlaksana berdasarkan imbauan atau arahan semata. Seorang pemimpin juga harus cakap dalam membentangkan lengan kepemimpinan dan keteladanannya.

Pemimpin yang Kuat: Konsisten, Tegas & Tidak Ambivalen
Jikalau saja kita bisa menemukan seorang pemimpin kuat yang akan memimpin bangsa dan negara ini, niscaya ia akan menjadi orang besar, setelah krisis mampu diatasinya. Orang kuat ini berkualitas transenden, menembus dimensi temporal dan spasial, mengatasi karakter-karakter pemimpin yang selama ini kita kenal. Jenis orang kuat ini harus “berjodoh” dengan impian masyarakat Indonesia sekarang.
Kita tidak bisa lagi meniru orang kuat bangsa-bangsa lain. Orang kuat itu kontekstual. Orang kuat kita di masa lampau, belum tentu cocok dengan konteks kebutuhan sekarang. Orang kuat yang kita cari kini, belum tentu akan menjadi kuat sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Apalagi menjiplak orang kuat dalam sejarah bangsa-bangsa lain, karena mereka memiliki orang kuatnya masing-masing. Setiap zaman melahirkan kualitas orang kuatnya sendiri.

Sesungguhnya rakyat menginginkan pemimpin yang tegas, berani karena benar, benar karena menurut hukum. Rakyat tidak butuh pameran kelicinan berdebat, tetapi buah dari keintelektualan mereka yang menunjukkan kualitas perbuatan nyata. Tidak terlalu peduli tentang IQ, yang penting berani bertindak tegas sesuai kontrak sosial, jujur, tanpa pamrih, mengutamakan kepentingan bersama, jauh dari aji mumpung, berani tidak populer demi keselamatan dan kesejahteraan rakyat.

Karakter pemimpin yang demikian itu mungkin banyak kita miliki. Tetapi, pemimpin bangsa adalah juga pemimpin transenden. Ia tidak bisa memunculkan dirinya dengan usahanya sendiri, lebih-lebih di masa-masa krisis besar bangsa ini. Orang yang terlalu percaya pada kerja rasionya, bahwa pemimpin itu dapat diperjuangkan, patut dicurigai kejujuran dan otentitas kepemimpinannya. Ia bukan lagi pemimpin transenden. Karena orang kuat adalah orang panggilan. Siapa yang memanggil? Hati nurani dan jeritan kebutuhan rakyat sendiri. Pemimpin sejati tidak berambisi menjadi pemimpin.

Bila kualitas pemimpin yang demikian itu terpilih menjadi orang kuat, maka kebesarannya akan diuji. Kualitas pemimpin yang demikian itu akan ada di tengah-tengah dualisme yang plural ini. Ia akan “terjepit” antara yang kanan dan kiri, antara mayoritas dan minoritas, antara yang keras dan yang lunak. Kreativitas dan kepekaannya diuji. Di saat-saat inilah keberanian dan ketegasannya terhadap kebenaran mendapatkan tantangannya. Krisis-krisis besar kepemimpinan semacam ini, tidak jarang memakan korban dirinya sendiri.

Tarik-menarik kepentingan dualistik yang plural inilah ciri khas Indonesia. Orang kuat Amerika mungkin hanya menghadapi dualisme dua partai. Tetapi, di Indonesia masih menggejala bagaikan api dalam sekam, dualisme partai-partai, dualisme kepercayaan, dualisme rasial, dualisme Bagian Barat dan Timur. Sesungguhnya yang dualistik itu bisa menjadi pasangan komplementer. Karena itu, api di bawah sekam ini akan mudah dipadamkan bila tidak datang tiupan. Belajar dari pengalaman sejarah, orang Indonesia dasarnya terbuka, toleran, mudah diatur, mudah patuh, tidak banyak menuntut, suka mengakurkan hal-hal dualistik, siap menerima yang asing, tidak menyukai sesuatu yang ekstrem
[3].
Orang kuat Indonesia adalah pemimpin yang memenuhi kebutuhan “dunia tengah” manusia Indonesia, di tengah-tengah krisis ini. Dunia tengah itu menyeimbangkan kembali gerak ekstremitas ketidaksukaan terhadap karakter pemimpin-pemimpinnya yang sekarang. Gerak pendulum yang terlalu ke kanan ini, harus ditarik kembali ke arah kiri.

Mungkin pernyataan Kissinger itu ada benarnya, yang didasarkan pengalamannya sebagai tokoh yang dekat dengan beberapa Presiden Amerika. Bahwa keintelektualan tidak diperlukan dalam jabatan Kepala Negara dapat dibuktikan oleh sejarah Indonesia sendiri. Para pemimpin yang memilih hidup intelektual daripada dalam kecerdikan, seperti Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Tan Malaka, tak pernah populer di mata rakyat. Semua itu disapu bersih oleh Bung Karno yang lebih cerdik, populis dan selebriti.

Demikian juga, Soeharto lebih kuat, berani, dan cerdik. Semua itu didukung kekuatan, meski bukan massa tetapi bersenjata. Karena kuat, ia lebih berani dan tegas. Untuk mempertahankan itu semua ia perlu kecerdikan. Jika Soeharto tidak cerdas dan cerdik, tentu tidak akan menguasai Indonesia selama 32 tahun. Menyadari kekurangintelektualannya, Soeharto mengangkat kaum intelektual sebagai pembantu-pembantunya.

Pemimpin Indonesia ke depan hanya dapat dilakukan oleh orang kuat, yang berkarakter sederhana, jujur, tulus, memikirkan rakyat kecil, seperti Bung Hatta. Kharismatik dan patriotik seperti Bung Karno. Berani dan blak-blakan seperti Gus Dur. Kosmopolit seperti Bung Sjahrir. Transenden seperti Mangunwijaya atau Nurcholish Madjid
[4].

Keteladanan Pemimpin
Segala formula kepemimpinan tidaklah bermakna bila faktor keteladanan diabaikan. Seorang pemimpin wajib mengedepankan keteladanan dengan menjalankan leadership by example. Bukankah saripati kepemimpinan adalah “memandu jalan dan membawa orang lain ke tujuan bersama?”

Apakah seorang pemimpin dapat memandu, manakala ia sendiri berjalan dalam kegelapan visi, melangkah dengan kelemahan karakter, dan bergerak maju tanpa kacamata strategi yang tepat? Bagaimana membawa orang lain ke tujuan bersama, jika ia sendiri pun tidak mampu memberikan contoh dan keteladanan yang bisa ditiru? Daya keteladanan merupakan kriteria pokok menjadi pemimpin nasional atau bagian dari kepemimpinan nasional.
Agar dapat menjadi Pemimpin-Peneladan, seseorang harus memiliki integritas dan komitmen yang kuat untuk memimpin secara benar, jujur dan arif. Dalam hubungan ini T Richard Chase menulis:

“If a leader demonstrates competency, genuine concern for others, and admirable character, people will follow”.

Menurut Booker T. Washington, “Karakter adalah kekuasaan“. Kepercayaan dan keterlibatan pengikut pada akhirnya akan paralel dengan level karakter pemimpin. Karakter adalah hasil pembiasaan dari sebuah gagasan dan perbuatan, seperti dikemukakan oleh Stephen R. Covey:

“Taburlah gagasan, tuailah perbuatan. Taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan. Taburlah kebiasaan, tuailah karakter. Taburlah karakter, tuailah nasib“.

Selanjutnya T. Richard Chase menegaskan:

“Hanya jika pemimpin menunjukkan kecakapan, perhatian kepada orang lain secara tulus, dan karakter yang terpuji, maka rakyat akan mengikuti”.

Sementara pakar kepemimpinan John C Maxwell mengatakan:

“The most effective leadership is by example, not edict”.

Menurut dia, 90 persen manusia belajar secara visual, sembilan persen secara verbal, sisanya satu persen dengan indra lainnya. Orang belajar dan mengikuti dari apa yang dilihatnya, sehingga kata Maxwell lebih lanjut:

“A leader’s credibility and his right to be followed are based on his life”.

Dalam tradisi militer dikenal filosofi kepemimpinan yang diringkas-padat dalam formula “Follow me!” Komandan batalyon akan berkata kepada komandan kompi agar mengikutinya, seterusnya ke bawah. Filosofi “follow me!” menuntut sang komandan berperilaku, bersikap dan bertindak benar di mata anak buahnya
[5]. Meski keteladanan, kata yang mudah diucapkan, tetapi bukan “cara hidup” yang mudah diwujudkan. Namun, setidaknya hal itu menjadi rambu moral-etis dan acuan bagi setiap pemimpin. Mudah-mudahan kerinduan rakyat Indonesia untuk memperoleh pemimpin yang patut dijadikan suri teladan dapat terwujud melalui Pemilu 2009 nanti.

Pada akhirnya, “Trilogi Kepemimpinan: keteladanan, kemauan (political will) dan kompetensi” menjadi syarat mutlak bagi kepemimpinan nasional yang kuat dan berwibawa itu, agar mampu menghantarkan bangsa ini menuju pemulihan kehidupan bangsa yang lebih bermutu.

Dialog Budaya & Gelar Seni
Dalam kerangka pikir seperti itu, guna membuka lembaran baru tahun 2008, maka Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-9 akan mengangkat tema “Kepemimpinan Bangsa”, yang akan dicermati dan digali oleh para narasumber Drs. H. Ibnu Subiyanto, Akt., Bupati Sleman, Prof. Dr. dr. Sutarjo, SpAK, Ketua Senat Akademik UGM, Drs. Bambang Purwoko, MA, Staf Pengajar Fisipol UGM/Anggota Tim RUUK DIY.

Dialog dipandu oleh Drs. Octo Lampito, Pemimpin Redaksi “KR”, bersama Hari Dendi. Gelar Seni berupa dialog & tembang Prajnaparamita-Sang Amurwabumi arahan Bondan Nusantara & Drs. Sumaryono, MA, diiringi “gamelan ringkes” gabungan ISI-SMKI Yogyakarta asuhan Drs. Sunardi. Digelar di Bangsal Kepatihan, pada malam Slasa Wage, 22 Januari 2008, jam 19.00-22.00.


Yogyakarta, 10 Januari 2008

Komunitas Budaya
“YogyaSemesta”,



Hari Dendi
[1] Sri Sultan HB X, “Sosok Pemimpin Nasional Visioner yang Kuat, Konsisten, Tegas, dan Tidak Ambivalen”, Konvensi Nasional II Tahun 2004, IKAL, Yogyakarta, 31 Januari 2004.
[2] Roy Sembel, “Margaret Thatcher, Pemimpin yang Membawa Perubahan”, Sinar Harapan, 2002.
[3] Jakob Soemardjo, “Siapa yang Bisa Dipercaya?”, Rubrik Opini Kompas, 23 Januari 1999.
[4] Jakob Sumardjo, “Dicari, Orang Kuat Indonesia”, Kompas, 7 September 2002.
[5] Kiki Syahnakri, “(Krisis) Kenegarawanan dan Keteladanan”, Rubrik Opini Kompas, 7 Januari 2004.