Sunday, December 09, 2007

Sajak SDD: untuk seorang sahabat

Ini adalah puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, yang saya pilih untuk mengantar perjalanan panjang seorang sahabat. Banyak sekali yang ingin dituliskan di sini. Ada beberapa alasan, pertama untuk menyalurkan apa yang menjadi pemicu “emosi”. Kedua, setidaknya banyak hal yang bisa kita petik dari sebuah perjalanan panjang seorang sahabat, apalagi bila kita sedikit merenungkan apa yang ditulis dalam bait-bait puisinya SDD

Buat Ning, saya pilih sebagai pembuka, untuk mengingatkan kita semua, bahwa betapa segala sesuatu menjadi sangat singkat, datang dan pergi begitu saja tanpa sempat kita menghitungnya.

Pada malam itu beberapa teman menghubungi memberi kabar yang menyesakkan dada. Tak ada yang bisa saya katakan, selain pergilah, sudah tiba saatnya, berdukalah...
Menyekap beribu kata di antara karangan bunga. Tak ada yang mampu saya keluarkan, kecuali bercakap denganmu dalam senyap. Sore itu memang mendung, angin mereda. Semua merunduk, melapangkan jalan buatmu
Sebagai penutup saya ingin menyampaikan puisi SDD yang sangat terkenal, aku ingin. Dalam setiap diri kita, pastilah terdapat kecintaan yang melampaui dimensi ruang dan waktu. Kecintaan yang sangat sederhana, tetapi tak berbatas oleh nilai-nilai duniawi. Kecintaan seperti ini, tentu saja tak akan muncul bila kita hanya bicara tentang ukuran dunia. Kecintaan yang dilandasi kerinduan untuk bertemu sang Pencipta.


Buat Ning
Pasti datangkah semua yang ditunggu
Detik-detik berjajar pada mistar yang panjang
Barang kali tanpa salam terlebih dahulu
Januari mengeras di tembok itu juga lalu Desember
Musimpun masak sebelum menyala cakrawala
Tiba-tiba kita bergegas pada jemputan itu


Sajak
Pergilah kerna malam sudah reda. Kau menolehku
Ke padang mana lagi, ke laut
(mencapai sunyi)
tapi sudah tiba saatnya, berdukalah

Saat sebelum berangkat
mengapa kita masih juga bercakap
hari hampir gelap
menyekap beribu kata di antara karangan bunga
di ruang semakin maya, dunia purnama

sampai tak ada yang sempat bertanya
mengapa musim tiba-tiba reda
kita di mana. Waktu seorang bertahan di sini
di luar para penggiring jenazah menanti



Berjalan di belakang jenazah
berjalan di belakang jenazah anginpun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengembang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya


Sehabis mengantar jenazah
masih adakah yang akan kautanyakan
tentang hal itu? Hujanpun belum selesai
sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak ada habisnya
bercakap
di bawah bunga-bunga menua, musim yang senja

pulanglah dengan payung di tangan, tertutup
anak-anak kemballi bermain di jalanan basah
seperti dalam mimpi kuda meringkik di bukit-bukit jauh
barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya

masih adakah? Alangkah angkuhnya langit
alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita
seluruhnya seluruhnya kecuali kenangan
pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba

Aku ingin
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata-kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


Monday, December 03, 2007

Selamat Jalan

Apa yang terasa di hati, ketika seorang yang kita kasihi meneruskan perjalanan panjangnya dengan begitu tiba-tiba? Meninggalkan kita dengan rasa tak percaya.
Datang dan pergi adalah bagian dari “ada”. Seperti juga mendapatkan dan kehilangan. Saat kita mendapatkan, kita harus siap untuk kehilangan. Saat sesuatu datang, kita harus siap untuk kepergian. Ketiadaan adalah bagian dari ada.
Seorang sahabat yang pernah datang dalam kehidupan kita, suatu saat pasti akan pergi.
Sedih? Setiap orang yang kehilangan pasti bersedih. Tapi, ada satu hal yang harus selalu kita ingat. Ketika kau melambaikan tanganmu pada seseorang yang mengayuh perahunya di tepian danau, tersenyumlah, karena di seberang danau itu pasti ada orang lain yang melambaikan tangan menyambut kedatangannya.
Seorang sahabat mungkin telah pergi dari kita. Bumi yang damai, mendung, sedikit gerimis dan angin yang sejuk mengiringinya. Tapi, bukan untuk menjadikan kita sedih. Sahabat kita tak ingin kita bersedih, karena dia tak pernah pergi, kecuali kita sendiri yang tak menginginkan hadirnya di hati kita masing-masing.
Selamat jalan sahabat.

Friday, November 23, 2007

Promosi


Sekali lagi tentang promosi. Sebenarnya apakah yang dicari kebanyakan kita dalam bekerja? Karir yang meningkat, penghasilan yang layak, dan tentu saja lingkungan kerja yang nyaman. Setiap orang memiliki preferensi yang berbeda terhadap tiga hal di atas. Beberapa orang lebih menyukai punya banyak teman dengan lingkungan kerja yang nyaman meskipun tidak berlimpah uang. Beberapa orang lagi menyukai uang yang melimpah meskipun kerja kurang nyaman. Tidak ada yang salah, karena ini menyangkut pilihan hidup.

Persoalan biasanya akan muncul justru ketika kita ingin mempromosikan seseorang. Ada orang yang lebih nyaman tidak dipromosikan. Apabila orang-orang yang memilih seperti ini adalah orang dengan kualitas yang standar, tentu saja tidak menjadi masalah bagi perusahaan. Tetapi ketika orang-orang yang memiliki kompetensi, kompatibilitas, dan potensi yang tinggi lebih memilih tidak promosi (karena sudah berada pada zona nyaman kemapanan), perusahaan akan dirugikan.

Persoalan lain yang labih pelik adalah adanya beberapa orang yang merasa sangat pantas untuk dipromosikan, padahal berdasarkan penilaian termasuk kelompok mereka yang kompetensinya biasa-biasa saja, kompatibilitas dan potensinya rendah. Kelompok ini seringkali menjadi destruktif dengan membuat gerakan-gerakan menghasut, menyebar isu-isu negatif, tentu saja mengancam keteraturan dalam perusahaan.

Menentukan siapa yang berhak promosi bukan pekerjaan sederhana. Dalam kondisi normal kita akan mengatakan, pilih saja mereka yang senior dan memenuhi persyaratan. Masalahnya, ketika para senior tidak memenuhi persyaratan potensi, komptabilitas, dan kompetensi, akankah suatu posisi jabatan dibiarkan kosong menunggu yang muda menjadi senior, ataukah biarkan yang muda meloncati yang tua? Bila mengacu pada buku teks manajemen, tentu saja tidak ada masalah dengan loncatan-loncatan dalam promosi. Tetapi, buku teks adalah dunia laboratorium. Dalam buku teks tidak akan ada orang yang berdemo, tidak ada surat kaleng. Tidak ada protes. Dalam dunia nyata, ketidak-puasan akan secara sadar atau tidak akan diwujudkan dalam protes, entah itu melalui penurunan etos kerja, surat kaleng, hasutan, pengelompokan pegawai yang tidak konstruktif, dan berbagai hal lain yang pasti membahayakan kelangsungan hidup perusahaan.

Pengambilan keputusan adalah hak prerogatif manajemen. Apakah manajemen akan menurunkan standar yang mungkin dapat berdampak pada makin tersisihnya perusahaan dalam peta bisnis persaingan, atau membiarkan jabatan kosong dengan konsekuensi terjadi ketidakadilan dalam pembebanan tugas dan produktifitas yang mungkin menurun (satu kapasitas harus menarik lebih dari satu beban), atau pilihan lain, mengakomodasi terjadinya loncatan-loncatan promosi dengan konsekuensi berbagai bentuk protes.

Apapun pilihan manajemen, tugas pejabata eksekutif adalah mengamankan putusan tersebut, bukan sebaliknya, terlibat dalam kelompok-kelompok pegawai yang tidak puas dan turut merusak stabilitas perusahaan.

Thursday, November 22, 2007

Memandang Dengan Hati




Keindahan, baik-buruk, bagus-jelek, tidak akan pernah menjadi realitas. Seorang anak umur menjelang 5 tahun memandang dengan caranya sendiri, dan jadilah gambar-gambar di atas. Baguskah gambar-gambar itu? Apakah makna sebuah foto sepatu yang harus parkir sebelum masuk ruang kelas? Apakah arti gambar sebuah sepeda yang diparkir di dalam rumah di depan pintu? Seorang anak memandang dengan caranya sendiri, dan karena kepolosan pikirannya, mungkin sekali dia mendapatkan realitas dalam gambar tersebut. Orang-orang dewasa memandang dengan racun-racun yang sudah mengendap dalam pikirannya, maka kita, yang mengaku sebagai manusia dewasa, tak pernah lagi memperoleh realitas.

Monday, July 16, 2007

Gelas Yang Kosong

Manakah yang memberikan manfaat, gelas yang masih kosong, atau gelas yang telah berisi penuh?
Manakala kita bicara tentang manfaat sebuah gelas, sebagai tempat air sebelum diminum, maka kita tak akan dapat menggunakan gelas yang telah terisi penuh. Bis kota yang telah penuh sesak dengan penumpang tidak memberikan manfaat bagi calon penumpang yang antri di halte. Kereta api yang telah penuh sesak tidak memberikan manfaat bagi calon penumpang. Komputer yang memorinya telah penuh tak lagi dapat digunakan untuk menyimpan data.
Demikianlah, sesuatu yang kosong memberikan manfaat untuk digunakan. Ketika kita masuk ke ruang kerja di pagi haru, maka akan terasa lebih nyaman bila pikiran kita serupa dengan gelas yang masih kosong, yang siap untuk diisi dengan minuman apa saja, sesuai dengan kebutuhan hari itu. Bila kita masuk ruang kerja dengan pikiran yang penuh – katakanlah kecurigaan terhadap rekan-rekan kerja, maka dunia kerja hari itu akan sangat tidak nyaman. Otak kita akan segera lelah, karena kita harus menjejalkan berbagai hal ke dalam otak yang telah penuh. Apalagi bila otak telah dipenuhi dengan pikiran-pikiran negatif, seperti buruk sangka, ketakutan, atau amarah. Pikiran negatif seperti tembok keras yang tak dapat disingkirkan.

Tetapi, kekosongan yang bagaimana yang bermanfaat? Kekosongan berbeda dengan ketiadaan. Adanya gelas yang kosong, berbeda dengan tak ada gelas. Tak ada gelas, berarti tak ada yang bisa dimanfaatkan. Pikiran yang kosong bukan berarti kita tidak memiliki kerangka berpikir. Pikiran yang kosong adalah sebuah langkah awal untuk memecahkan suatu masalah atau mengambil suatu keputusan. Pikiran yang kosong ini memungkinkan kita untuk mendengarkan orang lain, melihat dengan berbagai sudut pandang, dan merumuskan berbagai alternatif yang mungkin untuk memecahkan masalah. Pikiran yang kosong tidak berarti kita menjadi manusia yang hanya mengatakan “ya” kepada setiap manusia lain. Bukan pula berarti kita dapat dibentuk menjadi apa saja oleh orang lain. Pikiran yang kosong adalah kemauan kita untuk diisi berbagai pendapat, dan menetapkan suatu pandangan kita sendiri sesuai dengan idealisme kita. Seperti juga gelas yang kosong, dia bermanfaat untuk diisi air minum, tetapi air yang dituangkan ke dalamnya akan terbentuk serupa dengan gelas, bukan gelasnya yang menyesuaikan diri dengan keinginan air.

Thursday, July 12, 2007

Menuju Puncak Karir dan Kehormatan

Siapakah yang tidak ingin karirnya melejit serupa bintang? Anak-anak baru yang memiliki perfromance bagus, biasanya akan segera didekati oleh para penyelian dan manajer, untuk dilihat apakah memiliki potensi dikembangkan lebih lanjut. Mereka akan mendapat tugas-tugas khusus yang di luar pekerjaan utamanya. Bahkan mungkin tugas yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Kelompok ini akan disebut calon bintang. Para penyelia dan manajer menengah yang kelihatan cemerlang akan diamati satu persatu oleh eksekutif. Terkadang diberi tugas yang nampaknya mustahil diselesaikan. Mereka diarahkan untuk menjadi pejabat-pejabat eksekutif. Kelompok penyelia dan manajer menengah yang cemerlang ini dinamakan "the rising star".
Situasi ini menyebabkan kelompok rising star berlomba-lomba untuk memoles wajah, menampakkan kecemerlangan, dan menyembunyikan setiap kerut kecil di wajah yang pasti ada (karena manusia sungguh amat sangat sempurna). Kerut kecil dan jerawat tentu saja (dalam anggapan kelompok ini) akan mengganggu penampilan, menyebabkan sinar tidak terpantulkan dengan baik sehingga mereka tak nampak cemerlang.
Salahkah? Tentu saja tidak. Setiap orang berhak untuk menyajikan yang terbaik menurut mereka dan menyembunyikan yang jelek. Bukankah kita semua berlaku demikian? Lihatlah iklan-iklan yang kita buat untuk perusahaan kita (kecuali iklan rokok - yang dengan jujur mengatakan bahaya merokok, meskipun regulasi yang mengaturnya memang mengharuskan demikian).
Tak ada yang salah, ketika staf ingin menunjukkan pada atasannya bahwa dia pegawai terbaik dan pantas untuk promosi lebih lanjut. Tak ada yang salah, ketika staf mencoba menjalin jaringan emosional dengan teman-teman untuk mendukung penampilannya.
Tetapi, ketika hubungan-hubungan emosional ini digunakan sebagai kosmetik untuk menunjang performance, ketika hubungan-hubungan tersebut dimanfaatkan untuk batu loncatan, atau ketika seseorang menonjolkan kelemahan orang lain bukan menunjukkan kelebihan dirinya (yang mungkin hanya biasa-biasa saja), maka kita memasuki wilayah etika. Etika tidak bicara benar dan salah. Etika bicara tentang kepatutan perbuatan.
Etika kekawanan berbicara tentang perbuatan yang pantas dan tidak pantas kita lakukan pada orang-orang di sekitar kita. Tidak ada yang melarang orang untuk memanfaatkan teman untuk mendorong karir. Tetapi etiskah bila kekawanan hanya ditujukan untuk itu? Etiskah bila hubungan kekawanan segera beralih manakala kepentingan pribadi sudah tak terpenuhi lagi?
Puncak karir adalah kehormatan. Tetapi menjadi orang terhormat adalah sesuatu yang berbeda.

Thursday, June 21, 2007

Regenerasi

Ada yang menggelitik ketika salah satu produk rokok diiklankan dengan tema Yang Muda Yang Tidak Dipercaya. Ketika seseorang yang masih dianggap junior dalam perusahaan dipaksa untuk menggunakan pakaian seorang senior, sekalipun pakaian itu tidak pas, bukankah di situ telah terjadi pemerkosaan hak-hak untuk berpikir dan berkreasi?

Kepercayaan adalah stimulator untuk berkreasi. Tak ada kreasi ketika seseorang tidak dipercaya. Ketika salah satu dari dua orang yang berinteraksi memaksakan kehendaknya, maka itu tak ubahnya dengan tak ada interaksi. Hasil dari proses ini hanyalah ide tunggal dari satu pihak. Tetapi ketika setiap orang membuka diri untuk menerima orang lain dengan pakaiannya masing-masing, maka interaksi yang seperti ini akan menghasilkan ide dengan berbagai warna.
Seperti juga ketika kita menutup diri terhadap interaksi dunia luar, maka kita menjadi serupa dengan katak, yang hanya tahu luasan tempat tinggalnya. Si Katak tak pernah tahu bahwa ada binatang lain di seberang jalan yang besarnya setara dengan seribu katak.

Kekerdilan akan melahirkan kekerdilan, kecuali si kerdil meluaskan pikirannya. Seperti kita selalu berpikir tentang keberadaan empat orang ketika membaca atau mendengar kalimat “dua orang ayah dengan dua orang anaknya.” Dengan pikiran yang sempit ketika bicara dua ditambah dengan dua, maka hasilnya haruslah empat. Pikiran sempit ini ditanamkan oleh lingkungan sejak kecil dan mengendap di benak kita, tanpa sadar membentuk kekerdilan berpikir. Pernahkah terlintas oleh kita bahwa dua orang ayah dengan dua orang anak bisa jadi hanya terdiri dari tiga orang, yaitu kakek, bapak, dan anak?
Kekerdilan berpikir muncul ketika kita sebagai orang yang merasa lebih tua memaksakan pemikiran kita kepada orang lain yang kita anggap lebih muda. Senioritas seringkali memunculkan kesombongan, seolah hanya kita yang senior yang benar. Seseorang tak akan mampu menjadi pemimpin yang baik bila tidak pernah dipercaya untuk memimpin.

Iklan tadi boleh jadi merupakan sindiran bagi kita, yang sering kali menggunakan norma-norma dan ukuran kita untuk menilai orang lain. Mengatakan sesuatu sebagai benar atau salah dengan ukuran yang tidak baku seperti selera. Lagu yang tidak sesuai dengan selera dikatakan salah atau jelek. Staf yang mengetik sambil mendengar musik dianggap tidak bekerja dengan benar tanpa melihat hasil kerjanya. Staf yang berpikir dengan cara berbeda dianggap tidak dewasa tanpa melihat bagaimana staf ini menyelesaikan tugas-tugasnya.

Tugas seorang pemimpin adalah menyiapkan pengganti. Masalahnya adalah bukan pada sudah siapkah pengganti kita, tetapi, sudah siapkah kita untuk digantikan. Pikiran yang sempit selalu mengatakan bahwa pengganti kita belum siap, tetapi kita sering lupa dengan pertanyaan apakah kita sudah siap untuk digantikan.

Tuesday, June 05, 2007

Tentang Kebenaran

Ketika negeri binatang dilanda bencana, semua mengungsikan diri. Kura-kura adalah mahluk yang paling lambat, sehingga jiwanya menjadi sangat terancam. Beruntung, terdapat burung yang masih ingat akan kasih dan kebaikan.
“Kau akan kubawa terbang, tetapi aku harus menggigitmu dengan paruhku sepanjang perjalanan agar kau tak jatuh.”
“Oh... tidak, aku telah diajari ilmu manajemen risiko. Apa yang bisa memastikan aku bahwa engkau tidak akan membuka paruhmu saat perjalanan? Kalau kau lakukan itu sekali saja, aku pasti jatuh.”
“Well, terserahlah, aku hanya ingin berbuat baik, tapi, memang tidak semua mahluk percaya adanya kebaikan. Bukankah begitu? Nampaknya engkaupun tak percaya pada niat baikku.”
Oh... teman, engkau tak perlu tersinggung, aku hanya menjalankan prinsip kehati-hatian. Aku punya ide, bagaimana kalau aku yang menggigit kakimu selama perjalanan.”
“Tak masalah, meskipun itu mungkin membuat kakiku sakit, tapi aku ingin menolongmu, berbuat kebaikan bagi sesama mahlukNya. Ayo, gigitlah kakiku, Ingat jangan kau lepas gigitan ini selama kita terbang.”
Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan burung lain yang terkagum-kagum dengan ide cemerlang tentang penyelamatan kura-kura.
“Hai burung sahabatku, engkau sungguh mulia. Perbuatanmu menunjukkan kasihmu pada sesama umatNya. Idemu sangat cemerlang. Aku akan mencoba mengikuti jejakmu mencari kura-kura lain.” Sang burung menyapa mereka.
Kura-kura merasa sangat tersinggung, bukankah menggigit kaki burung adalah idenya? Mengapa si burung yang dipuji. Egonya mendorong untuk menyuarakan kebenaran.
“Hai bur........”
Kalimatnya tak terselesaikan, yang ada hanyalah ketakutan melayang dari ketinggian........

Kala kita menyatakan kebenaran, apakah yang mendorongnya? Ego untuk aktualisasi diri, ataukah murni mewartakan tugas kita sebagai umatNya? Dalam banyak hal, hanya ada batasan yang sangat tipis antara ego dengan tugas hidup kita. Ketika kita meneriakkan tentang betapa buruknya pemerintah menangani tranpostasi dengan lalu lintas kota yang selalu macet, apakah kita bicara tentang puluhan juta jiwa lainnya yang mungkin harus berjalan kaki di tengah jalan setapak yang licin untuk menuju sekolahnya? Atau kita sekedar berteriak betapa tidak nyamannya lalu lintas yang macet ini, meskipun kita duduk di sebuah mobil berpendingin udara dengan musik lembut yang tak berhenti?

Ketika kita bicara tentang pemerintahan yang bersih dan berwibawa, apakah kita berpikir tentang pemimpin dari lebih dari 200 juta umat manusia dengan segala penderitaannya, atau kita bicara tentang peluang pribadi untuk turut merasakan nikmatnya kursi kepemimpinan?

Ketika kita bicara tentang hak-hak masyarakat sipil dan kebebasan berbicara, apakah kita bicara tentang pembungkaman lebih dari 200 juta jiwa yang tertekan, atau kita bicara tentang peluang bisnis?

Ketika engkau menerangi dunia, apakah karena engkau ingin setiap manusia memperoleh cahayaNya, atau alam bawah sadarmu menginginkan agar setiap orang melihatmu sebagai gembala yang memiliki dan mampu memberikan terang? Apa bedanya? Yang pertama menggambarkan ilahiah sebagai pusat dari gerakanmu, sedangkan yang kedua menggambarkan engkau memanfaatkan ilahiah sebagai pemuas nafsumu.

Friday, March 30, 2007

Stiglitz

Apakah yang ada dalam pikiran Joseph Stiglitz ketika mengatakan bahwa globalisasi tidak berpihak pada kaum miskin? Laporan Bank Dunia menunjukkan, tahun 1990 jumlah penduduk dunia yang hidup hanya dengan uang di bawah $2 per hari sebanyak 2,718 milyar orang dan bertambah menjadi 2,801 milyar orang pada tahun 1998. Angka ini menunjukkan dengan jelas bahwa tata ekonomi kapitalis yang saat ini diagungkan sebagai penyelesaian masalah kesejateraan dengan selogan tentang efisiensi dan efektivitas sebuah pasar yang bebas tidaklah menyelesaikan masalah distribusi pendapatan.
Kalau kita ingin sedikit matematis dan sedikit berupaya mencari data, kita dapat menghitung persentase jumlah penduduk Indonesia yang menikmati 20% pendapatan. Saya akan meletakkan taruhan saya pada angka di bawah 20% [koreksi: harusnya di atas 80% , Mei 2007]. Artinya, 80% penduduk hanya menikmati 20% dari kue yang ada. Bagaimana kelompok ini dapat bangkit dan bersaing? Bagaimana industri kecil dapat hidup kalau daya beli masyarakat kecil?
Saya ingin mengutip Stiglitz:
"Apa yang dibutuhkan adalah kebijakan-kebijakan untuk pertumbuhan yang terus menerus, merata, dan demokratis. Inilah alasan adanya pembangunan. Pembangunan bukan hanya membantu beberapa orang menjadi kaya atau menciptakan banyak industri tak bermanfaat yang dilindungi yang hanya menguntungkan kalangan elit di negara tersebut. Pembangunan bukanlah membawa masuk Prada dan Benetton, Ralph Lauren, atau Louis Vuitton untuk masyarakat kota yang kaya dan membiarkan kaum miskin di pedesaan tetap dalam penderitaan. Bisa membeli tas Gucci di sebuah tempat belanja di Moskow bukan berarti bahwa negara itu telah menjadi suatu ekonomi pasar. Pembangunan adalah tentang bagaimana mentransformasi masyarakat, meningkatkan kehidupan kaum miskin, membantu setiap orang untuk memiliki kesempatan agar berhasil, dan akses pelayanan kesehatan dan pendidikan ......”
Stiglitz sangat benar, dan kita mungkin hanya terperangah ketika melihat keserakahan kita untuk menjadi konsumen barang-barang berkelas dan mahal. Kita menjadi bingung ketika seorang pejabat negara menyimpan uang di dalam ember di kamar mandi. Kita menjadi sedih, ketika melihat anak-anak yang terpinggirkan tanpa kesempatan untuk mewujudkan masa depannya.
Dan akhirnya kita menjadi bingung harus dimulai dari mana.

Friday, March 02, 2007

Kupu-kupu pagi

Ada yang mengingatkan tentang keindahan kupu-kupu, bila kita cukup beruntung, maka kita akan melihatnya di suatu pagi. Pagi ini aku sangat beruntung, karena bukan hanya melihatnya, tetapi juga sempat mengambil beberapa foto. Kalaupun ada sedikit kurang beruntung, peristiwa ini terjadi justru ketika lensa-lensa kesayangan sedang dibersihkan. Dengan kamera digital seadanya, foto ini diambil.
Keindahan seringkali memang terabaikan begitu saja.

Saturday, February 10, 2007

Tentang Kesepian

Hari ini sekali lagi seorang teman berkata, bahwa dirinya baru saja merasakan kehilangan. Perasaannya menjadi sangat sensitif.
Ah, mengapa selalu seperti ini? Siapapun pernah kehilangan. Siapapun pernah merasakan sangat sensitif. Kadang kita merasakan kesendirian, yang sangat membuat kita sedih. Rasa tersingkirkan. Perasaan telah menjadi orang yang kalah. Perasaan menjadi orang yang tak berguna.
Akan selalu begitu, selama manusia punya perasaan, cerita seperti ini tak akan pernah hilang. Pada tingkat kehidupan seperti saat ini, ketika hidup manusia sudah tidak lagi sekedar mempertahankan hidup dan kelangsungan generasi, maka yang bicara adalah kebutuhan hati. Maslow mungkin benar ketika menyajikan teori hirarki kebutuhan, tetapi teori itu harus dipahami dalam konteks yang sangat luas. Basic need muncul ketika kehidupan manusia masih dalam tataran mempertahankan generasinya. Ketika manusia berburu hanya untuk makan. Tetapi, pada saat itupun sebenarnya manusia telah berpikir tentang status sosial, siapa yang terkuat, siapa yang menjadi pemimpin, siapa yang boleh menikmati fasilitas yang lebih dibandingkan anggota kelompok. Bahkan pada tataran kehidupan yang lebih rendah lagi, kelompok hewan, merekapun mengenal status sosial. Pada kelompok unggas, pejantan yang memiliki warna bulu terbaik, penjantan yang memenangkan pertarungan dengan pejantan lainnya, pejantan yang mampu membangun sangkar lebih baik dari lainnya berhak untuk memperoleh induk yang paling subur. Semua ini adalah cerita tentang naluri untuk mempertahankan kelangsungan generasi. Yang terbaik, yang terkuat akan bertahan. Bibit yang lemah akan tersingkir.
Arti dari semua ini adalah, kebutuhan sosial tak akan hilang dari kehidupan karena merupakan salah satu naluri mahkluk hidup untuk mempertahankan generasinya. Selama kebutuhan sosial itu ada, maka rasa kalah, kesepian, tersingkirkan dan sebagainya akan selalu ada. Menjadi pihak yang kalah, kesepian, tersingkirkan adalah sebuah keniscayaan, karena itu adalah hukum alam. Masalahnya adalah bagaimana kita mengubah setiap perasaan tidak nyaman tersebut menjadi cambuk untuk memperbaiki diri.

(Untuk seorang teman, yang kali ini sedang bersedih dan merasa sangat sensitif)