Thursday, June 16, 2011

Reda

Bukti Cinta

Suaminya bilang itu tanda cinta:
Pipi biru legam, hidung retak, bibir sobek.
Suaminya bilang, itu harus dilakukan:
supaya ia tahu diri, tidak besar kepala dan sombong.
Malam ini, di tangannya ada sebilah pisau,
berkilat terkena sinar televisi.
Kepada suaminya, yang lelap tidur,
ia ingin menunjukkan cintanya.
Yang amat sangat


Cerita di atas adalah salah satu cerita yang di tulis Reda dalam bukunya "Pengantin Baru dan cerita pengantar tidur lainnya".
Buku yang sangat menarik dan penuh dengan cerita keseharian yang kadang terlewatkan begitu saja oleh kita. Saya menganggapnya serupa daun yang jatuh, yang kita semua tak pernah peduli pada kejadian tersebut, tetapi, ketika kita pikirkan lebih dalam, betapa daun jatuh merupakan sebuah proses yang sangat luar biasa. Daun yang selalu tulus ikhlas menerima hadirnya generasi baru [tersingkirkan], kemudian menggugurkan diri dan memberi pupuk bagi tanaman untuk hadirnya daun-daun baru....

Begitulah Reda, menuliskan hal-hal yang luput dari perhatian kita, padahal itu merupakan peristiwa besar, dan memberikan pencerahan, asal saja kita mau merenungkannya. Reda seperti menyadarkan kita, bagi mereka yang berpikir, sekalipun itu sebuah daun yang gugur seolah tak berarti, tapi itu adalah sebuah peristiwa penting.

Pada bagian sampul belakang, Reda menulis: "..... dengan harapan bisa jadi bahan mimpi dan membawa manfaat ketika bangun esok pagi." Jelas sekali, sebuah pesan agar kita merenungkan setiap cerita yang ditulis dari kisah nyata yang sehari-hari terjadi di sekitar kita.

Bagi teman-teman yang ingin membaca cerita-cerita lainnya, buku ini diterbitkan oleh Editum atau bisa dipesan lewat: www.inibuku.com telp 021-4212057 atau 4229857

Tuesday, June 07, 2011

Matahariku.....

Kadang kita memang terlalu sentimentil memandang kepada yang muda merasakan detik yang lewat.
Lihatlah mereka yang berpegangan erat dengan sepeda motor, mungkin hendak berangkat kuliah sambil merencanakan kegiatan nanti sore, mungkin juga membayangkan sepiring nasi goreng di depan Purna Budaya, ketika pulang dari perpustakaan.

Bukankah sudah aku katakan, nasi goreng di depan Purna Budaya itu sekarang sudah tak ada lagi. Tapi racikan bumbu bawang putih yang keras dan udang-udang kecil yang lembut serta potongan bakso di sela-sela nasi itu masih ada dalam ingatanku, begitu jawabmu
Dulu, jalan itu begitu senyap. Hanya beberapa pedagang hingga kau temukan selokan yang lebar itu. Ada hutan, yang ketika engkau melaluinya di malam hari, akan kau rasakan beda temperatur yang jelas sekali. Engkau akan menarik kerah jaketmu lebih ke atas dan menyilangkan tangan di dada, hendak mengusir dingin. Bukan dingin yang sedih tentu saja, karena sekalipun itu ada gerimis dan bahkan hujanpun, engkau akan tetap tertawa meriah.

Kemudian, pada suatu ketika yang kita masing-masing tak saling tahu, engkau memutuskan jalanmu, dan akupun memutuskan jalanku. Membatasi hati kita pada sebuah ikatan yang kita buat. Untuk masa depan yang lebih baik, begitulah kata mereka menasehati kita.

Monday, June 06, 2011

Marginal Utility

Salah satu konsep penting yang diajarkan pada mahasiswa jurusan ekonomi adalah “marginal utility”. Secara sederhana, ini berarti penurunan nilai manfaat, karena terpenuhinya kebutuhan. Contoh yang paling mudah adalah rasa haus atau lapar. Ketika tenggorokan berasa kering dahaga, tegukkan pertama minuman terasa sangat bermanfaat. Pada tegukan kedua, manfaatnya mulai kurang, ketika rasa haus sudah terobati, orang tak lagi mau minum, karena akan menimbulkan rasa tak nyaman pada perut.
Orang-orang ekonomi mempelajari tentang kebutuhan, bukan keinginan. Ada perbedaan yang sangat besar dalam pemahamannya. Kebutuhan manusia berbatas, tetapi keinginan manusia tak ada habisnya. Tuhan menyebutkan, bila kau jadikan seluruh samudra sebagai tinta untuk menulis nikmat yang Aku berikan pada manusia, tinta itu tak akan cukup. Itu kalau manusia berbicara tentang kebutuhan. Namun, yang muncul adalah keinginan, maka berlakulah yang sebaliknya, jika seluruh samudra dijadikan tinta tak akan cukup untuk menulis seluruh keinginan manusia...
Orang ekonomi juga memperkenalkan konsep kelangkaan. Semua barang dan jasa menjadi berharga karena kelangkaannya. Konsep kelangkaan mengubah nilai barang menjadi berharga secara ekonomi. Puluhan tahun yang lalu, air tidak termasuk barang yang langka, maka dalam pelajaran ekonomi di sekolah, air dan udara merupakan contoh barang bebas. Tapi, orang-orang dari disiplin ilmu manajemen memanfaatkan konsepsi kelangkaan ini untuk meraih keuntungan yang di atas normal. Bagaimana caranya? Ahli manajemen pemasaran mengubah pola pikir manusia dari fase kebutuhan meningkat menjadi keinginan. Penambahan merk tertentu dan kemasan tertentu telah mengubah fungsi air minum dari kebutuhan menjadi keinginan. Obat-obat generik sama baiknya dengan obat bermerk, namun, orang lebih percaya pada obat dengan merk tertentu dan bersedia membayar mahal untuk itu.
Manusia membutuhkan mobil untuk sarana transportasi agar tidak kehujanan atau kepanasan, agar dapat mengangkut seluruh keluarga dengan satu kali perjalanan. Tetapi kebutuhan akan mobil telah diubah menjadi keinginan akan merk dan jenis mobil tertentu. Kemasan mobil dan merknya telah menjadikan konsepsi marginal utility tak berlaku lagi. Selalu ingin mobil yang terbaru dengan berbagai tambahan fitur mewahnya sejalan dengan peningkatan penghasilan. Banyak orang menjadi bangga dengan koleksi mobil yang dimilikinya.
Manusia membutuhkan tas kerja untuk mengangkat berkas-berkas pekerjaan, tetapi, bagi sebagian banyak orang, tas kerja harus memiliki merk tertentu. Tak mudah membayangkan seorang eksekutif sebuah bank akan membawa ransel seharga seratus ribuan untuk membawa berkas pekerjaan, notebook, serta beberapa potong pakaian ganti ketika bertugas keluar kota. Mereka mungkin memakai ransel, tetapi ada sepotong merk dagang yang menunjukkan asal ransel itu dari sebuah rumah mode terkenal dan pastilah mahal.
Wakil rakyat kita butuh sarana komunikasi, tetapi, apakah kebutuhan biaya komunikasi itu mencapai belasan juta rupiah per bulan? Apakah ini kebutuhan atau hanya sebuah keinginan? Demikian pula dengan gedung ruang kerja mereka. Apakah kolam renang merupakan kebutuhan atau sekedar keinginan?
Di tempat kerja, kadang-kadang kita mengajukan anggaran berbasis keinginan bukan kebutuhan. Bagian kehumasan dan dokumentasi mengajukan anggaran pembelian kamera mengacu pada kamera canggih keluaran terakhir yang mahal. Padahal keperluan dokumentasi tersebut dapat terpenuhi hanya dengan kamera saku digital. Keinginan mendominasi penyusunan belanja perusahaan, bukan kebutuhan.
Orang-orang periklanan yang biasanya berlatar belakang ilmu manajemen, komunikasi, dan psikologi sangat paham bagaimana menggeser kebutuhan menjadi keinginan, atau lebih tepatnya, menghilangkan kesadaran dalam diri sehingga keinginan seolah-olah menjadi sebuah kebutuhan. Para jenius pembuat iklan telah menyihir kita. "Anda membutuhkan Prada, atau Louis Vuitton, karena begitulah seharusnya Anda", demikian bahasa iklan yang mereka pakai.
Ilmu ekonomi dan manajemen telah disalahgunakan untuk meraup laba sebesar-besarnya. Banyak orang terjebak dalam perangkap hutang karena mengkonsumsi “kebutuhan” yang tak ada habisnya dengan kemudahan fasilitas kartu kredit. Pada wajah yang lain, kita melihat masyarakat yang mengais sampah, yang tidur di rumah kardus, yang mengkonsumsi makanan tak layak, yang tak mendapat kesempatan bersekolah, bahkan yang sama sekali tak punya harapan hari esok. Seperti inikah yang dibayangkan para pemikir ekonomi? Rasanya tidak. Konsep marginal utility jelas-jelas mengajarkan kita untuk memenuhi kebutuhan, bukan keinginan. Ada makna keadilan dalam konsep tersebut. Dalam agama, bukankah kita juga selau diajarkan untuk “tidak berlebih-lebihan”.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip Stiglitz, kutipan yang selalu saya pakai ketika bicara tentang pembangunan yang berkeadilan. Begini: “Pembangunan bukanlah membawa masuk Prada dan Benetton, Ralph Lauren, atau Louis Vuitton untuk masyarakat kota yang kaya dan membiarkan kaum miskin di pedesaan tetap dalam penderitaan.”

Monday, May 23, 2011

Berbuat Besar

Ada sebuah monolog menarik dari seoang seniman yang saya lupa namanya. Sambil bermain gitar ia bercerita tentang diskusinya dengan salah seorang sahabat tentang perbuatan besar dari orang-orang besar.
Ada orang-orang besar yg telah berbuat besar kepada negaranya, mereka adalah orang-orang yang diberi kesempatan untuk perbuatan yang besar. Soekarno telah berbuat besar untuk membakar semangat kemerdekaan. Ada RA Kartini, yang telah berbuat besar dengan memberi pencerahan luar biasa akan pentingnya pendidikan bagi kaum wanita. Ada Ki Hadjar Dewantara, yang berbuat besar bagi pendidikan bangsa melalui pendirian Taman Siswa. Ada sederet nama lain. Lantas, bagaimana orang-orang kecil yang tertindas dan tidak memiliki kesempatan dapat bermanfaat bagi masyarakat?

Seniman ini sambil tetap bernyanyi menjawab:
“Tak perlu berkecil hati, karena tidaklah Yang Maha Kuasa menciptakan manusia hanya untuk kesia-siaan. Kita bisa berbuat, dari yang mungkin paling kecil yang dilihat orang, tetapi luar biasa besar nilainya. Setidaknya kita bisa berkata jujur dan mengajarkan tentang kejujuran...”

Pertanyaan yang tersisa pada saya adalah apakah artinya berbuat besar? Memimpin negara, memimpin perusahaan besar, memberikan kontribusi pada kekayaan negara? Cukupkah itu?
Beberapa tahun yang lalu saya pernah memiliki pengalaman luar biasa dengan seorang perempuan tua (mungkin di atas 70 tahun), yang berjualan rokok dan korek api di sebuah pinggiran jalan. Ibu ini, dengan sebuah kotak kayu kusam, hanya membawa tak lebih dari 10 bungkus rokok dan beberapa korek api (ditambah cahaya malam yang gelap menjadikan suasan yang makin muram). Dengan rasa iba, saya membeli sebuah korek api seharga seratus rupiah dan memberinya uang seribu rupiah dan agar uang kembalian disimpan saja untuknya. Niat saya memang ingin memberinya sesuatu. Apa yang terjadi sungguh diluar dugaan saya. Si Ibu tampak tak senang dan mengatakan dirinya berjualan bukan pengemis. Saya terenyuh dan menyadari betapa angkuhnya diri saya.
Inilah perbuatan besar. Menjaga harga diri. Menjaga kehormatan. Menjaga agar tangan kita tidak tengadah memohon balas kasihan orang lain. Inilah kejujuran hati nurani, ketika seseorang tidak menghiba-hiba dengan menjual perasaan sedih yang dihadapinya.