Tuesday, December 09, 2008

Gerimis

Kesibukan seringkali membutakan kita pada keindahan kecil yang dianugrahkan Tuhan melalui alam. Ruang kerja yang kebanyakan tak lagi terhubungkan dengan dunia luar menyebabkan kita tak dapat menikmati bagaimana indahnya jarum-jarum gerimis menyeruak di biasan sinar matahari pagi.
Dulu, ada sebuah blog yang seringkali menulis keindahan-keindahan kecil seperti ini dan aku selalu menikmatinya. Tetapi, sahabat maya ini seperti menghilang entah kemana. Hari ini aku mencoba untuk menggambarkan keindahan seperti itu, dengan bahasa ala kadarnya – setidaknya aku mencoba.
Di gerimis pagi, ada jarum-jarum kecil menyeruak biasan sinar matahari. Mendung putih terkadang menyilaukan mata, tetapi ketika kita lelapkan hati kita ke dalamnya, ada ketenangan yang luar biasa, yang membawa rasa tentram. Terkadang muncul pula pelangi melengkung di kaki langit. Hadirnya seolah mewartakan surgawi yang kekal di atas sana. Saat kecil sering diceritakan, pelangi adalah tangga menuju surga, dan malaikat yang penuh kasih turun menyampaikan kebahagiaan tentang sebuah tempat di langit yang berisikan keindahan. Dengan nalar anak berusia empat tahun, aku sangat mempercayainya dan beberapa kali aku bertanya, dimanakah tempat asal pelangi itu? Aku ingin sekali mendakinya.
Setelah gerimis reda, biasanya beberapa serangga mulai aktif. Capung mulai menjelajahi kawat-kawat pagar. Kupu-kupu kecil berwarna kuning akan bergerombol terbang bersama. Burung-burung mulai menampakkan dirinya sambil meregangkan sayap mengibaskan bulunya. Mungkin sekedar menghadirkan kehangatan. Daun-daun meneteskan sisa hujan, satu demi satu, jatuh. Manakala suasana sedang senyap kita bisa mendengarkan suara dan irama tetesan air dari dedaunan yang menyihirkan keabadian. Waktu seolah berhenti.
Pagi ini gerimis. Aku menyempatkan diri menghampiri jendela, memandangi gerimis dan melarutkan diriku menjadi bagian dari kegerimisan itu. Meskipun kali ini pelangi tak hadir, tetapi, sungguh gerimis itu memberi kenyamanan bagi jiwaku.

Monday, December 01, 2008

Lalu Desember...

Berapa Desember yang lalu dalam ingatan? Tak membekas keharuman bumi yang terhiaskan bunga-bunga putih, itu layu tanpa pernah sempat terengkuhkan
Mungkin itu bukan bunga yang putih, karena seandainya putih datang, bukankah kita bisa memandangnya dalam sunyi yang suci?
Hanya sepotong bunga hutan yang dipetik oleh sekumpulan peri di tengah malam, yang kemudian meninggalkannya begitu saja, tanpa pernah berpikir untuk apa dan mengapa.
Lalu Adampun datanglah bersama perempuannya, melihat potongan bunga hutan – apapun namanya, itu lebih suci dari pada tebaran melati yang telah dipegang oleh tangan-tangan kotor dibungkus mantera para dewa.
Ada yang melengkingkan kalimat yang tak henti memukuli gendang di telinga, ”Januari mengeras di tembok itu juga, lalu Desember..”[1]
Entah berapa Desember lagi, mungkin peri itu akan datang nanti malam, mengambil kembali bunga hutannya yang tergeletak – maka ambillah sekarang.
Sembunyikanlah di dalam jiwamu yang paling dalam, karena bunga itu mungkin kelak akan menjadi lebih putih dari kuntuman melati yang ditebar dan diinjak-injak oleh para tamu. Tak akan ada yang pernah tahu.

[1] Sapardi Djoko Damono, Buat Ning, musikalisasi puisi oleh Dua Ibu

Saturday, November 29, 2008

Hanya Ada Yang Tak Ada

Luka itu bukan milik siapa-siapa karena tak ada siapapun yang pernah memiliki apapun
Ini sisa kemarin sore yang tak hengkang meskipun separuh samudera telah menorehkan jejaknya yang baru di atas pasir dan meskipun kita juga telah menghapusnya dengan seribu bunga yang kita beli dalam tidur kita yang tak nyenyak itu.
Percuma saja, karena kita memang tak ingin ada jejak yang terhapus,
Karena pada akhirnya, setiap hidup menyajikan kisahnya sendiri entah itu berharga ataupun sekedarnya. Itupun hanya permainan kata-kata, apakah itu bermakna atau tidak bukanlah karena memiliki atau tidak, karena, tak ada siapapun yang pernah memiliki apapun

Statistik

Mempelajari statistik bukanlah perkara mudah, apalagi bagi mereka yang terlahir dengan bakat seadanya di bidang angka-angka. Tetapi, mari kita lihat dari sudut pandang yang lain. Bukankah statistik tak lebih dari sebuah sejarah? Tak ada bedanya angka-angka statistik yang bisu dan dingin itu dengan sebuah batu candi yang teronggok di panas dan hujan. Mereka sama dingin dan bisunya. Mereka sama tak berartinya tanpa kita mencoba memahaminya. Mereka bahkan tak peduli pada apapun yang terjadi dengan atau tanpa kehadirannya.

Angka-angka statistik adalah kumpulan masa lalu yang dibawa ke masa kini, dan kita mencoba memahami apa yang terjadi di masa terjadinya peristiwa itu. Bukankah sejarah juga demikian?
Statistik menunjukkan angka kematian ibu melahirkan di negara ini masih tinggi. Apalah arti angka ini bagi mereka yang tak paham akan makna kematian seorang ibu? Statistik kematian ibu menggambarkan pada kita sebuah kepedihan, ketakutan, ketidakjelasan masa depan bahkan mungkin sekali sebuah keluarga yang di dalamnya tanpa kehangatan.

Angka statistik tentang pengangguran menunjukkan peningkatan. Kita tak akan mampu memahami angka ini apabila kita tak mampu memaknai (dengan jiwa kita) arti sebuah pengangguran. Statistik angka pengangguran membukakan hati kita tentang sebuah keterpurukan ekonomi, ketidakberdayaan hidup, anak-anak yang tidak cukup gizi dan pendidikan, rasa lapar, kedinginan, kesuraman masa depan, bahkan punahnya suatu generasi karena kemorosotan moral.

Karenanya, cobalah untuk memandang statistik dan sejarah adalah suatu disiplin kembar, yang membantu kita memahami peristiwa. Seperti kita mencoba memaknai setiap peristiwa sejarah sebagai sebuah proses dan peristiwa budaya, seperti itulah juga kita harus memaknai angka statistik. Tanpa pemaknaan tersebut, angka statistik dan sebuah batu candi, tak lebih dari kebisuan tanpa makna, dan sudah pasti, kita tak akan pernah peduli.

Wednesday, November 26, 2008

Tersisih

Tersisih menjadi kata yang tidak baik bagi perasaan, karena menimbulkan ketidaknyamanan, memunculkan kesedihan, menjadikan debar jantung meningkat, telinga menjadi merah, dan terkadang tanpa sadar mata mengeluarkan airnya. Tak ada yang menyukai menjadi pihak yang tersisih.

Tetapi, kehidupan tak akan lepas dari ketersisihan ini. Pohon-pohon muda yang lebih kokoh tumbuh baru, dan waktunya bagi pohon yang lebih tua untuk dipangkas.
Soekarno, pahlawan proklamasi bangsa ini, merupakan contoh bagaimana sebuah ketersisihan harus dihadapi, demikian pula Soeharto. Mereka adalah orang-orang yang disisihkan, mungkin meradang, mungkin menerima dengan lapang, mungkin menangis. Tersisih, karena harus berhenti pada waktu yang seharusnya belum berhenti. Terlepas dari berbagai kesalahan yang diperbuatnya, Soekarno tersisihkan bahkan menjadi tahanan di rumahnya sendiri tanpa komunikasi, tanpa boleh bertemu dengan sahabat-sahabatnya, bahkan yang paling ironis, tanpa dapat bertemu dengan rakyat yang sangat dicintainya.
Demikian pula dengan Soeharto. Bagaimana rasa tersisih itu muncul ketika orang-orang yang selama ini dekat dengan dirinya atas nama rakyat, tiba-tiba berpaling dengan juga mengatasnamakan rakyat.

Di kantor, mungkin sekali kita menghadapi ketersisihan. Ketika jalan kita mungkin sudah tidak sesuai lagi dengan jalan yang diinginkan atasan, biasanya kita tersisih dengan jalan minoritas yang kita yakini kebenarannya. Atau, ketika terjadi persaingan untuk meraih tangga yang lebih tinggi, dan kita disingkirkan oleh kelompok lain yang lebih kuat, ketersisihan itu akan dirasakan. Mungkin kita menerima dengan lapang. Mungkin juga ada sakit hati. Tetapi bukankah itu bagian dari kehidupan alamiah yang harus dilalui?

Seperti itulah kehidupan. Ada malam-malam yang panjang seolah waktu enggan mengalir dan kita dibuatnya tertekan. Tapi, selalu ada matahari pagi. Di setiap hujan, akan terbit matahari, di setiap kemarau akan hadir hujan. Mereka yang hanya menyukai kemarau akan memancarkan kebencian pada hujan, Tetapi mereka yang menyadari makna kehidupannya bagi orang lain akan menyukai keduanya, karena mereka sadar, tak akan ada siang kalau tak ada malam.
Seperti juga daun, satu persatu harus mengalah untuk tumbuhnya tunas baru. Bila daun itu tumbuh bersama-sama dan berdampingan, salah satu harus mengalah untuk sempurnanya daun yang lain.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip Stan Shih, Chairman - CEO Acer, dalam bukunya Me - Too is Not My Style “....Berbagi adalah satu konsep yang sangat penting dalam menajalankan sebuah bisnis..... Barbagi kepemilikan dengan orang lain membuat kami lebih makmur ..... Berbagi membantu kami memperoleh lebih banyak”

Tersisih adalah bagian dari laku hidup yang harus dijalani. Kita bisa memandangnya dari dua sudut. Pertama, kita yakini bahwa segala sesuatu memiliki periodenya sendiri, dan menikmati keberhasilan maupun ketersisihan secara seimbang akan menjadikan hidup makin tenang. Kedua ketersisihan dipandang dengan lapang serupa keihlasan untuk memberikan kesempatan tumbuh yang sempurna bagi daun lainnya. Dan dengan berbagi, bukankah kehidupan kita akan makin kaya?

Monday, November 10, 2008

Budi Darma

Lama sekali saya tidak marasakan kelezatan santapan rohani dari Budi Darma. Terakhir saya membaca novelnya mungkin sekitar tahun 1996, saya lupa persisnya, yaitu Nyonya Talis. Dulu saya selalu menunggu munculnya karya baru beliau, karena selalu menyisakan “rasa” yang tak seketika hilang. Budi Darma selalu menyisakan pertanyaan yang membuat hati kita miris di setiap akhir petualang dengan tulisannya. Biasanya beliau menulis dengan tokoh aku, yang merupakan manusia biasa dan seringkali penuh kekurangan. Inilah yang jarang dimiliki penulis lain. Di Indonesia, tokoh aku yang manusia biasa dan pragmatis sering juga muncul di novelnya Dini (NH Dini). Tapi, agak berbeda dengan Budi Darma, Dini, mungkin karena keperempuanannya (karena sifat empu – nya) sering menyajikan sifat pragmatis dan kelemahan ini dengan sangat halus.
Budi Darma lebih lugas. Disinilah menariknya. Budi berani menampilkan tokoh-tokoh pengecut, serakah, main kayu, lepas tanggung jawab, dan karakter gelap lainnya, yang mengakui setiap kelemahan, kepengecutan, dan keculasan yang dimilikinya. Ini seperti cermin diri kita, tetapi bedanya kita jarang mengakui kepengecutan dan keculasan kita.
Kita yang selama ini menutupi diri dengan kosmetik sopan santun dan tutur bahasa yang lembut, seolah ditelanjangi dan hanya bisa termenung membaca tulisannya.
Bulan September lalu, satu lagi kumpulan cerita pendek Budi Darma diterbitkan. Judulnya Laki-laki Lain Dalam Secarik Surat. Merupakan kumpulan cerita terbaik. Sayang sekali tidak ada pengantar penerbit mengenai pengertian kumpulan cerita terbaik tersebut, atau terbaik menurut siapa dan apa kriteria pemilihannya, siapa saja yang terlibat dalam pemilihan. Tapi itu hanyalah masalah teknis.
Terbitnya kumpulan cerita ini, mengingatkan kembali pada koleksi lama dan perenungan-perenungan lama yang mulai pudar. Seolah mengasah pisau nurani yang mulai tumpul. Coba kita simak salah satu percakapan dalam Secarik Surat berikut:

Dan sebagai layaknya seorang bawahan yang paling rendah bertemu dengan seorang atasan yang paling tinggi dan sangat dihormati dan dikagumi maka prajurit itupun memberi hormat yang berlebihan-lebihan sehingga untuk sekilas jendral tertinggi yang terlalu sering menerima sanjungan itu merasa kurang senang....

Bukankah ini cerminan kita? Pada saat menghadap atasan, berupaya membuat kesan luar biasa dengan penghormatan yang bahkan berlebihan? Atau sebaliknya, pada saat staf menghadap, kita merasa seolah tak senang dengan penghormatan yang berlebihan, meskipun, dalam hati kita ada kebanggaan sebagai atasan yang terhormat?
Atau coba kutipan berikut, masih dari cerita yang sama:

“Hai Prajurit, untuk apakah kau ikut perang?” kata jenderal.
“Tidak tahu, Jendral,” kata prajurit. “Saya kira karena dalam keadaan seperti ini mencari pekerjaan yang mudah adalah mencari pekerjaan sebagai prajurit. Lagi pula saya masih muda dan merasa senang mendapat kesempatan untuk memanggul senapan dan sekali tempo menembakkan senapan untuk menunjukkan bahwa saya betul-betul jantan.”

Budi Darma menyeruak hati kita dengan pertanyaan seberapa besarkah idealisme serorang manusia? Apakah “prajurit” selalu identik dengan patriotisme membela negara? Ada perut yang memerlukan makanan dan ada ego yang memerlukan pengakuan. Itulah manusia, dan Budi Darma mengingatkan kita akan itu.

Friday, October 31, 2008

CSR

Komunitas Yogya Semesta kembali berdiskusi. Yang diangkat kali ini adalah peran CSR (Corporate Sosial Responsibility) dalam kaitannya dengan pengembangan industri kreatif di Yogyakarta. Semula agak sulit untuk memahami tema diskusi budaya dan peran CSR untuk pengembangan industri kreatif, meskipun berkali-kali dijelaskan oleh host, bahwa budaya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan mencari nafkah adalah bagian dari budaya. Dengan definisi budaya seperti ini, memang tak ada sisi kehidupan yang tidak dapat dikaitkan dengan budaya. Tapi terlepas dari pemahaman itu sendiri, tema diskusi sebenarnya menarik. Dan menjadi lebih menarik, ketika salah satu pembicara merupakan direktur utama sebuah bank milik pemerintah daerah, dimintai tanggapannya mengenai peran perusahaan untuk mengembangkan industri kreatif.
Dr Supriyatno, MBA, Direktur Utama Bank Pembangunan Daerah Prop. DIY, menyampaikan bahwa bank tidak mungkin lepas dari CSR, karena CSR itu sendiri melingkupi semua organisasi bisnis. Pernyataan ini menjadi menarik, bila kita lihat fenomena krisis ekonomi yang berawal dari keserakahan manusia.
Pada tulisan ini saya ingin menggaris bawahi pandangan Dr Supriyatno tersebut. Saya ingin menjelaskannya dengan lebih sederhana melalui kasus susu bermelamin. Produk susu ini jelas sekali tidak dapat diterima. Pabrik susu telah mengabaikan masyarakat (bukan hanya konsumen) tapi satu generasi umat manusia. Bayangkan seandainya peredaran susu tidak terkendali seberapa banyak anak manusia yang tak terselamatkan dari bencana? Bukankah itu sama dengan pemusnahan suatu generasi? Meskipun mungkin perusahaan penghasil susu ini memberikan sumbangan yang luar biasa bagi masyarakat lewat bantuan sosialnya, tidak berarti perusahaan itu telah melaksanakan perannya sebagai perusahaan yang bertanggung jawab kepada lingkungannya.
CSR bukan sekedar berbaik hati membagi-bagikan modal dan membangun saluran air bersih di sebuah desa. CSR tidak dapat diartikan sekedar memberikan beasiswa kepada mahasiswa berprestasi. CSR adalah jiwa dari sebuah bisnis. Karenanya, setiap keputusan, entah itu keputusan strategis, proses bisnis, maupun putusan apapun harus dilandasi dengan pertanyaan, apakah keputusan ini akan memberi manfaat bagi umat manusia, atau sebaliknya menjadikan kehidupan yang lebih kelam. Transaksi short selling di pasar uang yang sekedar mengambil keuntungan (tanpai adanya nilai tambah yang bisa dinikmati konsumen) bukanlah cermin dari kebijakan yang berlandaskan CSR. Penggelembungan harga saham yang tidak didukung dengan aset yang nyata meskipun hasil dari mekanisme pasar adalah contoh diabaikannya CSR dalam perusahaan. Pembuatan produk berbahaya seperti susu dengan melamin atau mainan anak yang mengandung bahan pewarna berbahaya adalah contoh lain lagi dari diabaikannya CSR. Di bidang perbankan, pemberian kredit yang tidak hati-hati dan hanya menuruti keinginan nasabah yang kadang kala tanpa perhitungan matang dapat menjadikan kredit tersebut macet. Ketidak hati-hatian ini juga merupakan contoh pengabaian CSR. Nasabah kredit mengalami kerugian karena salah perhitungan yang dapat berdampak dengan berhentinya kegiatan usaha atau bahkan kehilangan rumah tinggal yang dipakai sebagai agunan. Di sisi yang lain nasabah penabung dirugikan karena bila bank sampai mengalami kesulitan likuiditas, mereka akan sulit menarik kembali depositnya.
CSR pada akhirnya akan membentuk masyarakat madani. Karenanya tanggung jawab CSR bukan hanya di perusahaan, tetapi di masyarakat itu sendiri. Perusahaan hanyalah bagian kecil dari suatu sistem yang akan mengantarkan manusia menuju peradaban baru, yaitu peradaban tanggung jawab sosial. Setiap kita akan menjadi pelaku aktif.
Menurut saya, inilah konteks yang paling tepat, manakala kita membicarakan CSR dan kebudayaan. Entah itu untuk industri kreatif maupun industri apapun juga. CSR menuju masyarakat madani sebagai sebuah budaya baru.

Ilmu Ekonomi

Apakah yang terjadi apabila mereka yang pernah belajar ilmu ekonomi berkumpul dengan latar belakangnya masing-masing dalam sebuah diskusi tentang krisis keuangan saat ini? Berbagai pendapat dan berbagai asumsi. Itulah ilmu ekonomi. Ilmu tentang model dengan asumsi dan faktor error yang tidak dapat diukur oleh model. Namun ada hal yang berbeda ketika ada diskusi internal pengurus ISEI Yogyakarta membicarakan krisis keuangan yang saat ini terjadi. Nampaknya para ekonom semakin menyadari adanya sesuatu yang tidak terjelaskan dalam model (faktor error) dapat berpengaruh besar dalam pembangunan ekonomi. Setidaknya, ekonom yang mengikuti diskusi sekaligus syawalan pengurus ISEI Yogyakarta tersebut sepakat untuk mengatakan bahwa pembangunan ekonomi memerlukan model yang lebih memadai untuk memahami perilaku manusia. Model ekonomi yang selama ini menganggap manusia rasional nampaknya perlu diperbarui.
Saya sendiri sependapat dengan pandangan seperti ini. Ilmu ekonomi pembangunan nampaknya melupakan pendekatan perilaku manusia. Apakah ini berarti ilmu ekonomi harus digabungkan dengan ilmu budaya dan disiplin psikologi? Mungkin sekali. Nampaknya ekonom memiliki pekerjaan rumah baru, yaitu mendefinisikan terminologi manusia rasional. Dulu, saat mempelajari konsep utilitas, mahasiswa ekonomi diberi contoh tentang makan dan minum yang pada suapan atau tegukkan pertama terasa sangat nikmat, sehingga nilai utilitasnya tinggi dan menimbulkan kepuasan yang tinggi. Ketika memasuki tegukkan berikutnya, nilai kepuasan makin turun, karena manusia sudah tidak sehaus sebelumnya. Perbedaan utilias dan dengan demikian berarti perbedaan kepuasan tersebut dinamakan marginal utilitas. Marginal utilitas ini makin menurun bahkan dapat mencapai negatif apabila dahaga telah hilang, tetapi kita terus minum. Yang muncul adalah rasa tidak nyaman di lambung. Puncak kepuasan manusia adalah ketika marginal utilitas mencapai titik nol. Inilah pengertian rasionalitas dalam model ekonomi yang selama ini dipelajari.
Seandainya manusia seperti ini, maka tidak akan ada krisis ekonomi. Masalahnya, manusia tidak sekedar terpuaskan secara fisik. Manusia ternyata bukan sekedar mahluk rasional yang mengkonsumsi secukupnya. Kekayaan serupa air garam, yang tak pernah memuaskan dahaga. Manusia tak pernah cukup. Keserakahan menjadi motif bertransaksi (bukan kekayaan).
Akhirnya, untuk menutup, saya ingin mengutip makalah Edy Suandi yang disajikan dalam diskusi tersebut, “ kondisi ekonomi dunia yang saat ini tengah menghadapi krisis keuangan global telah banyak menyebabkan persoalan bagi ekonomi dunia. Hal ini merupakan akibat dari fondasi dasar dan paradigma keilmuan yang mendasarinya dipraktekkan bersebarangan dengan nilai kemanusiaan dan mengingkari sejumlah ideologi dasarnya ........... Oleh karena itu meluruskan kembali ilmu ekonomi agar sesuai dengan filosofi dan realitas kehidupan manusia menjadi urgen dilakukan.......
Waktunya untuk melihat realitas keserakahan manusia, dan waktunya untuk mengembangkan pendekatan ekonomi yang mau tidak mau harus membatasi keserakahan tersebut. Itulah tugas ekonom saat ini.

Saturday, September 27, 2008

Kadang kala saya ingin menulis sesuatu yang berbeda dengan tulisan-tulisan lain di blog ini. Berikut ini ada contoh sesuatu yang berbeda tersebut. Sebenarnya tidak banyak perbedaannya dengan tulisan-tulisan lain, terutama menyangkut tema yang diangkat. Perbedaan yang pokok adalah menulis tidak dengan aturan bahasa. Mungkin semacan prosa liris atau semacam puisi, apapun itu, saya akan mengabaikannya saja.
Apakah tulisan-tulisan seperti di bawah ini memiliki makna tertentu? Saya tidak mencoba memaknainya secara khusus. Apa yang saya tulis keluar begitu saja. Kalau ada teman-teman yang melihat suatu makna di dalamnya saya akan sangat berterima kasih bila pemaknaan itu dituliskan pada ruang komentar.


Hujan yang pertama

Hujan yang pertama membawa turun debu-debu dari langit ke atas genting untuk akhirnya jatuh ke bumi.
“Bau debu ini sungguh harum”, bisik sebuah suara, tapi dimanakah ada yang mendengar berita tentang harum debu yang tertitik air hujan?

Hujan yang pertama membasuh daun-daun dan pepohonan serta taman rumput yang merengas.
“Bau rumput basah ini sungguh harum”, bisik sebuah suara, tapi dimanakah ada yang mendengar tentang harum pepohonan dan rerumputan yang tertitik air hujan

Mereka tak pernah tahu tentang makna, katamu.
Siapakah yang ingin peduli apakah bermakna atau tidak sebuah harum rerumputan yang terbasuh air hujan yang turun bersama debu-debu?

Itu bait suci, yang dinyanyikan dengan oboe, serupa dengan desah burung malam yang memanggil jibril, kepada siapa ia meratap.
Tapi, siapakah yang masih peduli pada sebuah lagu usang yang dinyanyikan oleh burung malam yang kelaparan itu?

Ini hujan yang pertama, hanya ada suara katak berteriak sumbang dan bau lumpur yang tak layak kau sandingkan dengan samsara.
Ini hanya hujan yang pertama, yang besok akan mengantarkan hujan kedua, ketiga dan seterusnya dan mengairi kota ini dengan banjir dan menutupi tanah pertanian dan rumah tinggal degan tanah longsor.

Kemudian, suara yang berbisik itupun menghilanglah, di sebuah senja menjelang malam yang menggigil gemetar karena hujan yang pertama...

(yogyakarta, 18 – 27 september 2008)



Hari ini Idul Fitri

Perempuan itu menyiapkan panganan dengan tangan yang gemetar.
Akankah hadir seorang laki laki dan coletah tiga bocah yang membekas kenangan dalam bilangan puluhan tahun berlalu.
Meja itu
Dulu tempat membelah ketupat dari sisa sisa keringat yang tak pernah sempat kering
Satu perempatnya untuk mereka berdua, satu perempatnya untuk si sulung, satu perempatnya untuk tengah, dan satu perempatnya untuk bungsu.
Tapi pembawa pesan itu tadi malam telah datang
Siapkanlah, karena akan ada banyak tamu yang datang
Siapakah? Bukankah semua telah tak berbekas
Tapi bungsu, tengah, dan sulung berkelabat dalam sebuah rengkuhan
Tangan dan wajah yang tak akan pernah terlupakan
Menyatu
Dingin
Senyum
Di rumah itu tamu yang datang tak pernah sebanyak hari itu

(Yogyakarta, 27 September 2009)

Friday, August 29, 2008

Di negeri ini, penduduk harus diyakinkan .....

Di negara ini, seorang pemimpin tidak boleh nampak salah, apalagi disalahkan oleh masyarakatnya. Karenanya seribu ilusi disajikan mengenai keberhasilan dan kemilau emas gedung pencakar langit serta ukuran pendapatan percapita. Di negara ini, pemimpin tak boleh salah, karenanya lihatlah di kota-kota besar, harus tersedia pangan yang cukup dengan gerai mewah dan harga yang bahkan dalam khayalan seorang anak dari kelompok yang tersisihkan, tak pernah terbayangkan.
Di negara ini, masyarakat hidup tentram, pangan tersedia cukup, ekonomi pasar bebas menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Lihatlah, apa yang kau cari? Gucci, Prada, Ferari? Semua ada. Bahkan pernah seorang anak bangsa ini memiliki saham di perusahaan mobil mewah di negeri seberang benua.
Lihatlah kota besar di negera yang sentosa dan makmur ini, mobil mewah akan bersimpangan di jalan, mungkin lebih banyak dari pada di negara tempat asalnya sendiri. Bukankah ini bangsa yang makmur? Karenanya, kekuasaan harus stabil. Tak boleh ada pihak yang meragukan pemimpin dan kepemimpinan di negeri ini
Bangsa ini akan memberontak terhadap kekuasaan ketika penguasa melakukan kesalahan – artinya penguasa telah lemah. Siapa yang mau dipimpin oleh orang yang lemah?
Di negara ini penguasa tak boleh salah, karena dalam dongeng sejarahpun dituturkan bahwa Syeh Siti Jenar harus nampak salah, dan untuk itu, para pemimpin agama di kerajaan Demak berihtiar mengganti mayatnya dengan seekor bangkai binatang.
“Tak ada yang bisa dilakukan, kalau Jenar tidak dihukum mati dan dipersalahkan atas ajaran yang sesat, maka ketentraman masyarakat akan terganggu.
Demi stabilitas dan ketentraman rakyat, pemimpin harus benar, sekalipun itu mungkin harus dengan membuat sebuah kebohongan baru.

Wednesday, August 27, 2008

Waktu

Apakah waktu itu nyata, ataukah waktu hanya sekedar ruang imajiner yang diciptakan manusia? Apakah ruang itu ada? Ataukah ruang hanyalah sebuah imaji manusia tentang tempat keberadaannya? Ataukah waktu adalah dimensi dari ruang yang selalu berubah, tetapi kita tidak mampu memahaminya?
Manusia, mungkin karena belum cukup mampu untuk menyatakan sebuah waktu (menjadikan waktu sebagai sesuatu yang nyata), akhirnya memilih jalan yang sangat sederhana. Dibuatlah satuan-satuan berdasarkan putaran bumi mengelilingi matahari dan putaran bumi terhadap porosnya. Kemudian manusia mendefinisikan hari untuk setiap putaran bumi atas porosnya, dan tahun atas tiap putaran bumi terhadap matahari. Apakah sesungguhnya waktu? Kecuali suatu yang berubah dan tak dapat dikembalikan kembali. Aku yang detik ini menulis, bukan aku yang detik tadi memulai tulisan ini. Ada yang berubah. Secara fisik ada sel-sel yang rusal dan sel-sel tumbuh baru. Pikiranpun berubah. Karena itulah, mungkin saja waktu adalah sekedar suatu imaji tentang perubahan, yang tak mampu ditelaah oleh akal pikiran manusia karena manusia hanya mampu melihat alam dalam wujud fisik.
Waktu ini, aku telah mengalami perubahan dari ketidaksadaran, menjadi aku yg sekarang termasuk di dalamnya mengalami 43 kali putaran bumi mengelilingi matahari. Waktu ini, bangsa Indonesia telah mengalami perubahan dari ketiadaan menjadi sebuah imaji tentang suatu negara.
Maka, karena waktu pula, maka sesungguhnya aku tak akan pernah mendengar bunyi dawai yang sama, karena bunyi biola yang kemarin tentu berbeda dengan bunyi biola yang hari ini. Tak akan ada yang pernah sama.

Tuesday, August 12, 2008

Hari Ini Kita Merdeka

Hari ini kita merdeka, demikianlah telah diucapkan berkali-kali dalam desah nafas tertahan maupun teriakan lantang, yang dalam buku sejarah dituliskan sebagai hasil perjuangan yang berdarah-darah dan mengorbankan semua yang dimiliki.
Hari ini kita menghitung, itu telah lalu begitu saja dalam hitungan detak waktu dan enam puluh tiga putaran bumi mengelilingi matahari. Kemarin aku baca di sebuah koran lusuh bekas bungkus nasi untuk makan siangku, berita tentang atap gedung sekolah yang ambruk dan sebuah pernikahan senilai miliaran rupiah.
Hari ini kita merdeka, demikian diucapkan orang-orang sambil berlari, seolah mewartakan bait suci dari mantra-mantra tentang kehidupan yang lebih baik. Tetapi, kemarin aku membaca kisah tentang orang-orang terhormat yang mengambil makanan dari piring orang lain.
Hari ini kita merdeka, hm.... tak beda dengan sebuah slogan iklan rokok. Di hisap, untuk dibuang, dan menyisakan cerita derita..

Monday, July 07, 2008

Reuni

Menakjubkan, ketika sebuah pertemuan tidak resmi terjadi setelah sekian lama (lebih dari 15 tahun), tidak bertemu teman-teman lama. Banyak cerita yang terangkat kembali. Yang paling menakjubkan adalah kemampun manusia untuk melihat kembali setiap kesalahan di masa lalu (termasuk rasa malu yang ada di dalamnya), sebagai sebuah senyuman di masa kini. Tuhan memberi karunia kepada manusia untuk memandang kegetiran masa lalu sebagai cerita indah dan lucu di masa kini.
Takjub yang kedua adalah melihat perubahan fisik yang begitu drastis. Dua puluh tahun lalu, usia masih belum genap seperemat abad. Kini usia telah malampaui empat puluh. Beberapa teman telah meninggalkan dunia hitam dan mulai merambah dunia putih (rambut).
Ada teman yang telah menjadi guru besar di sebuah perguruan tinggi negeri ternama. Ada yang masih terseok-seok menjalani rutinitas hidup. Ada yang mengalir begitu saja seiring dengan putaran roda kehidupan.
Menakjubkan, Tuhan memberkati setiap manusia dengan caranya sendiri yang kita tak pernah mampu memahaminya.Terima kasih kepada teman-teman satu angkatan yang telah bersusah payah untuk sekedar hadir dalam sebuah pertemuan informal yang sangat amat sederhana. Semoga Yang Maha Kuasa memberkati kita semua.

Wednesday, February 06, 2008

Musim Berlalu

Saya belum pernah membaca pemaknaan yang diberikan oleh pendukung lagu (Badai Band) maupun aktris (Christine Hakim – salah satunya) yang terlibat dalam film Badai Pasti Berlalu (1977). Ada sebuah lagu yang sangat menarik, bahkan sampai saat ini.

Musim berlalu, Resah kunanti
matahari pagi, bersinar gelisah. Kini
semua bukan milikku
Musim itu telah berlalu
Matahari segera berganti

Sebenarnya kapan kita pernah memiliki? Memiliki adalah rasa subyektif yang berasal dari dalam diri kita. Setiap ada rasa memiliki, maka kita meminta penegasan dari pihak lain tentang kepemilikan itu. Apabila kepemilikan itu berupa tanah, penegasan kita peroleh dari sebuah lembaga pemerintah bernama Badan Pertanahan Nasional. Untuk barang-barang lain, legitimasi kepemilikan diwujudkan dalam sebentuk kwitansi pembelian. Apabila kepemilikan tersebut menyangkut manusia, secara formal penegasan diberikan dalam bentuk “buku nikah” atau akta perkawinan. Secara non formal, kepemilikan atas manusia lain ditegaskan dari pernyataan orang yang kita merasa memilikinya. (Ah, rumit sekali pemabahasan untuk ini).
Artinya, kepemilikan yang kita akui sebenarnya hanyalah pemaknaan yang subyektif, dan di dalam subyektivitas itu selalu memunculkan keraguan.
Ketika musim berlalu, ketika kita tidak lagi menjadi pemilik dari "pusat grafitasi bumi", ketika kita tak lagi menjadi pemilik matahari atau bintang-bintang, ketika predikat the raising star bukan lagi menjadi milik kita, kita menjadi gelisah. Dan setiap kegelisahan menimbulkan pertanyaan, sampai kapankah aku harus menanti ?

Thursday, January 31, 2008

Kita memang bersandar pada mungkin

Tiba-tiba saja, potongan bait-bait puisi menyeruak ke dalam pikiranku. Entah kenapa, mungkin karena sedang mengalami suatu peristiwa yang menyakitkan dan tidak mampu dikendalikan. Mungkin juga merasa kehilangan teman teman yang menurutku bisa menjadi tempat bersandar pada saat mengalami kesulitan.

Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin.

Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.

Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga pada
sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut pada lokan,
mungkin akan tetap juga di sana – apa pun maknanya


Sebenarnya, mengapa kita harus selalu bertanya tentang apa dan mengapa? Bukankah lebih nyaman bila hidup ini diterima sebagai sebuah fungsi linear, yang didalamnya kita hanya larut pada variabel-variabel eksternal.

Potongan puisi di atas milik Goenawan Mohamad berjudul Pada Sebuah Pantai: Interlude. Judul ini sendiri kemudian mengembangkan dalam imajinasi dan mengingatkan pada novel Dini yang aku baca ketika SMP dulu, “Pada Sebuah Kapal”. Untuk koleksi puisi, masih dapat ditemukan pada buku “Puisi Pilihan Goenawan Mohamad”. Sebuah kumpulan puisi yang dipilih dan diedit oleh Laksmi Pamuntjak. Sedangkan “Pada Sebuah Kapal”, telah hilang entah kemana.


Pada Sebuah Pantai: Interlude[1]

Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil.
Yakni ketika pasang berakhir, dan aku menggerutu”masih tersisa
harum lehermu”; dan kau tak menyahutku

Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,
Hijau (mungkin kelabu)
Angin amis. Dan
di laut susut itu, aku tahu,
tak ada lagi jejakmu

Berarti pagi telah mengantar kau kembali, pulang dari sebuah dongeng
tentang jin yang memperkosa putri yang semalam
mungkin kubayangkan untukmu, tanpa tercatat, meskipun pada
pasir gelap

Bukankah matahari telah bersalin dan
melahirkan kenyataan yang agak lain
Dan sebuah jadwal lain?
Dan sebuah ranjang & ruang rutin, yang
Setia, seperti sebuah gambar keluarga
(dimana kita, berdua, tak pernah ada)?

Tidak aneh.
Tidak ada janji
pada pantai
yang kini tawar
tanpa ombak
(atau cinta yang bengal)

Akupun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,
berberes dalam sebuah garis dan berkata: “Mungkin tak
ada dosa, tapi yang ada percuma saja.”

Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil
Dan itulah soalnya.
Dimana ada keluh ketika dari pohon itu
mumbang jatuh seperti nyiur jatuh dan
ketika kini tinggal panas & pasir yang
bersetubuh

Dimana perasaan-perasaan memilih artinya sendiri,
Dimana mengentara bekas dalam hati dan kalimat-
kalimat bisa berlarat-larat (setelah
semacam affair singkat), dan kita menelan ludah sembari berkata: “Wah, apa daya.”

Barangkali kita memang tak taramat berbakat untuk
menertibkan diri dan hal ihwal dalam soal seperti ini.

Lagi pula dalam sebuah sajak sentimentil hanya ada satu
dalil: biarkan akal yang angker itu mencibir.

Meskipun alam makin praktis dan orang-orang telah memberi
tanda DILARANG MENANGIS

Meskipun pada suatu waktu, kau tak akan lagi datang
padaku.

Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin.

Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.

Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga pada
sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut pada lokan,
mungkin akan tetap juga di sana – apa pun maknanya

[1] Goenawan Mohamad

Tuesday, January 29, 2008

Memahami Lingkungan

Ada kalimat yang sangat menarik dari sebuah buku lama yang terlupakan.[1]
“Satu kapal berlayar ke timur dan yang lain ke barat dengan tiupan angin yang sama. Susunan layarlah yang menunjukkan pada mereka arah perjalanan, bukan embusan angin.”

Kalimat ini seperti mengingatkan kita semua untuk kembali memaknai diri sendiri. Bukan lingkungan yang menyebabkan tujuan hidup tercapai, tetapi bagaimana kita mengatur diri sendiri. Anda tidak bisa menyalahkan boss, ketika tidak diberi peluang untuk memimpin suatu proyek prestisius. Anda tidak bisa menyalahkan orang tua atau sekolahan anda, ketika gagal untuk mengikuti ujian. Anda tidak bisa menyalahkan guru agama ketika menyadari diri anda semakin jauh dari jalan kebenaran.

Angin yang berhembus, di luar kendali anda, jadi jangan minta angin untuk bertiup ke barat, karena anda ingin berlayar ke barat. Ubahlah posisi layar anda. Setidaknya, sadarkan diri anda bahwa mungkin sasaran untuk berlayar ke barat terlalu berat. Orang Jawa mengatakan “iso rumongso”, bukan “rumongso iso”. Artinya bisa merasa, bukan merasa bisa. Bila angin tidak mendukung rencana perjalanan, cobalah untuk berputar, mengubah haluan, dan mengatur ulang posisi. Hanya orang yang tak pernah berpikir yang meminta arah angin untuk berubah.

Kinerja Anda luar biasa cemerlang. Target penjualan tercapai. Tidak ada tunggakan pembayaran yang tak tertagih. Tapi, promosi untuk area manager yang Anda yakini hanya masalah waktu, ternyata jatuh ke rekan lain. Anda frustrasi? Pasti. Tapi jangan salahkan boss Anda. Pasti ada alasan mengapa bukan Anda yang dipilih. Mungkin ada pertimbangan lain. Tanyakan pada boss mengenai kekurangan Anda sehingga tidak dipromosikan. Jangan minta boss untuk mengubah kriteria pengambilan keputusan, tetapi pahami kriterianya, dan refleksikan pada diri sendiri, kriteria apa yang belum Anda penuhi.

Akhirnya, ketika promosi tak juga Anda raih, ada dua pilihan, pindah kerja, atau coba baca nasehat berikut:
“Kami tidak sempurna (tidak berhasil promosi) bagi yang membandingkan ketubuhan kami dengan ketubuhan mereka (yang kariernya melejit), tetapi kami bertubuh sempurna dalam keberadaan kami sendiri ...”[2]

[1] What Smart People Do When Dumb Things Happen at Work, Charles E. Watson
[2] Dikutip dari Rumah kehidupan Penuh Keberuntungan, tulisan Gede Prama. Gede Prama sendiri mengutip dari novelnya Seno Gumira, Biola Tak Berdawai. Kalimat dalam kurung saya tambahkan untuk menyesuaikan dengan konteks bahasan di tulisan ini, tentang promosi. Aslinya, kalimat tersebut untuk menceritakan pemahaman tentang anak-anak cacat. Mereka tidak sempurna bila dibandingkan manusia lain, tetapi mereka sempurna dengan keberadaannya. Dalam konteks tulisan ini, yang dimaksud sempurna adalah melakukan pekerjaan dengan sepenuh hati.

Saturday, January 26, 2008

Kepemimpinan

Setiap hari Selasa Wage (perpaduan antara penanggalan nasional dengan penanggalan jawa), komunitas Budaya Yogya Semesta melakukan dialog budaya dengan berbagai tema. Salah satu menarik adalah diskusi pada hari Selasa Wage 22 Januari lalu yang mengangkat tema kepemimpinan. Sebenarnya tema kepemimpinan selalu mewarnai diskusi, tetapi Selasa lalu, khusus dikupas bagaimana kepemimpinan yang seharusnya di Indonesia. Salah satu simpulan pokok yang sangat mengesankan adalah leadership di Indonesia telah berubah arah menjadi dealership. Ini plesetan khas Yogyakarta. Ketika kepemimpinan tidak lagi ditujukan untuk mensejahterakan umat, tetapi lebih untuk mengumpulkan kekayaan, maka pemimpin adalah pedagang, yang dengan wajah dingin akan menjual apa saja yang dimiliki kekayaan bangsa, untuk kepentingan pribadinya. Pemimpin bukan lagi menjadi leader, tetapi dealer dari aset bangsa.
Selain itu, ada satu hal yang sangat menarik. Dari tiga pembicara, semua mengutip kepemimpinan masa lalu sebagai contoh. Berarti, saat ini manusia memang telah kehilangan panutan. Panutan adalah seseorang yang kita ikuti (bahasa jawa, manut berarti menurut). Dan yang paling menarik, tak ada satupun dari pembicara yang mengangkat contoh bagaimana seorang pemimpin harus mengahiri kepemimpinannya, menyerahkan tahta kepada orang lain yang lebih sesuai dengan kondisi dan situasi terkini. Bukan berarti pemimpin lama adalah pemimpin yang jelek, tetapi lingkungan yang berubah menuntut perubahan cara pandang serta gagasan baru yang relevan. Persiapan pemimpin yang tersulit bukanlah menyiapkan pengganti, tetapi menyiapkan diri sendiri untuk menerima kenyataan bahwa eranya telah lewat. Dirinya sudah waktunya untuk diganti. Inilah inti kepemimpinan.

Pada tulisan ini, saya ingin mengutip utuh pengantar diskusi, yang ditulis oleh Hari Dendi. Tulisan yang cukup panjang, tetapi saya tidak berhak untuk meringkasnya, karena, sebagaimana pengantar suatu diskusi, pemotongan satu kalimat dapat merusak keseluruhan pemahaman. Selamat menikmati.



Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-9:

Kepemimpinan Bangsa yang Kuat


DALAM wawancara dengan Oriana Fallaci tahun 1972, Henry Kissinger mengatakan bahwa untuk menjadi Kepala Negara tidak perlu keintelektualan, tetapi kekuatan, keberanian, dan kecerdikan. Cerdik membutuhkan kecerdasan pragmatik, selain harus tetap dalam alur paradigmatik (Jakob Sumardjo, Kompas, 29/12/2007).

Kerinduan Hadirnya Negara yang Kuat
Sekarang ini dan ke depan memang Indonesia memerlukan pemimpin dan kepemimpinan yang kuat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Pemimpin yang kuat, menurut Pimpinan Ikatan Alumni Lemhannas (IKAL), adalah pemimpin yang paling rendah resistensinya dalam masyarakat. Pemimpin yang kuat berarti juga memiliki konsistensi –satya wacana: satunya kata dengan perbuatan—tegas dan tidak ambivalen sebagai wujud kontrak sosial dengan rakyat.

Transisi politik dari sebuah negara mengandung berbagai ketidakpastian. Transisi tidak selalu menuju demokrasi, meskipun instrumen demokrasi itulah yang diidealkan dan dipilih. Transisi politik bisa saja malah menimbulkan disintegrasi bangsa, jika para pelakunya gagal mengkonsolidasikan demokrasi. Setelah kekuasaan otoriter ditumbangkan, maka dituntut kemampuan untuk menata kembali negara ini. Dari negara yang sekarang belum efektif –belum memiliki kewibawaan dan kekuatan memadai untuk melakukan penegakan hukum dan melindungi warga negara-- menjadi negara yang kuat dan demokratis.

Konsolidasi negara juga tidak akan berhasil tanpa diikuti konsolidasi lembaga politik dan perubahan kultur politik. Serta juga, konsolidasi civil society yang justru pada masa reformasi mengalami kemandegan. Mencoba merefleksi kondisi saat ini, Indonesia sedang mengalami disfungsi sistemik. Lembaga-lembaga negara tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Presiden berkali-kali menegaskan perlunya korupsi diberantas, tetapi Kejaksaan Agung atau KPK justru kompromis terhadap koruptor, atau setidaknya masih cenderung “tebang-pilih”.
Kerinduan hadirnya negara yang kuat bukanlah negara otoriter dan totaliter, tetapi sebuah negara yang efektif dalam menjalankan pemerintahannya, mempunyai legitimasi yang kuat, dan akuntabel. Demokrasi hanya bisa tegak dan berkembang baik, jika negara dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik, kredibel, dan akuntabel di mata masyarakat. Termasuk konsolidasi negara adalah konsolidasi sistem dan kelembagaan hukum yang memungkinkan negara berjalan berdasarkan rule of law. Penegakan hukum otomatis harus didukung lembaga penegak hukum yang kredibel, akuntabel, dan profesional pula.

Namun, ide negara kuat bukan berarti civil society harus lemah. Civil society yang kuat akan mampu menjalankan perannya sebagai jembatan antara rakyat dengan negara. Civil society yang mampu mencegah agar otoritas negara tidak memasuki domain society secara berlebihan. Civil society yang mampu menjalankan peran sebagai suplemen dan komplemen dari negara.

Hal inilah yang tampaknya sedang dibutuhkan oleh negara dan bangsa kita saat ini. Agaknya kita telah lupa tentang apa tujuan bersama dalam sebuah negara-bangsa. Kalau pun ingat tujuan bangsa —mewujudkan masyarakat adil dan makmur, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia—itu pun miskin implementasi dengan diiringi kurangnya trust antarsesama kelompok sosial di masyarakat dengan para penyelenggara negara
[1].

Berkaca pada Kepemimpinan Negara Lain
Mencari rujukan tentang Pemimpin yang Kuat kita bisa berkaca pada Margaret Thatcher, “Wanita Besi” yang menjadi Perdana Menteri Wanita Pertama yang paling lama dalam kurun waktu lebih dari 150 tahun sejarah Inggris. Ia tidak pernah putus asa jika tanda-tanda kemenangan belum dilihatnya, ia tidak begitu saja langsung memenangkan pertarungan di dunia politik. Beberapa kali Thatcher menelan kekalahan, tetapi terus maju, hingga dipercaya sebagai Menteri Pendidikan, dan akhirnya menjadi Perdana Menteri sepuluh tahun kemudian. “You may have to fight a battle more than once in order to win it”, adalah pernyataannya yang menunjukkan kemauan kuat Thatcher
[2].

Singapura di bawah Lee Kuan Yew, berkembang dari sebuah pulau kecil yang miskin sumberdaya hingga menjadi negara makmur. Profesor Charles Schell dari Manchester Business School, Singapura, menyebutkan, kunci keberhasilan Lee adalah kepiawaiannya mengelola Arms of Leadership, yakni “kepanjangan tangan” yang memungkinkan pemimpin secara efektif menjalankan sebuah organisasi.
Tidak peduli sebagus apa pun pemimpinnya, tanpa adanya “arms” atau “lengan” kepemimpinan, organisasi tersebut tidak akan dapat berkembang dengan semestinya. Charles Schell menyebutkan dua alternatif lengan kepemimpinan. Tipe I, yaitu melalui penciptaan pemimpin-pemimpin baru (leader creates leaders) yang mempunyai visi dan kemampuan mendekati pemimpin puncak. Tipe II, menciptakan sistem dan prosedur yang dikontrol ketat dan dikompensasi melalui reward and punishment yang konsisten. Sebuah organisasi yang efektif biasanya memiliki salah satu atau keduanya.

Profesor Schell, yang juga konsultan transformasi perusahaan dalam urusan pengembangan negara-negara dunia ketiga itu, menyebutkan adanya perbedaan yang mendasar dalam gaya pengelolaan Arms of Leadership model Lee dengan Pak Harto, walaupun mereka sama-sama keras dalam sikap politiknya. Seperti Indonesia pada waktu itu, partai oposisi di Singapura juga relatif lemah. Walaupun orang berani mempertanyakan kebijakan pemerintah, tetapi tetap saja mereka tidak dapat berbuat banyak. Lee sendiri pernah menuntut lawan politiknya sampai bangkrut, karena menyebut dirinya sebagai orang yang korup dan tidak jujur.

Perbedaannya terletak pada bagaimana pemerintahan tangan besi Lee Kuan Yew juga diimbangi dengan sistem yang kuat dan penegakan hukum yang baik. Etika dan cara hidup parlemen ditetapkan dengan standar yang tinggi --anggota parlemen dilarang mengunjungi bar untuk minum atau pun sekadar bersosialisasi, apalagi berani menerima “hadiah” tanpa sepengetahuan Lee. Standar yang sama diberlakukan di jajaran pemerintahan: tanpa ampun bagi mereka yang ketahuan berjudi, korupsi, atau pun main wanita. Selain itu, sistem birokrasi yang ketat tetapi tetap terkontrol, sehingga bagi mereka yang mengikuti prosedur dengan benar akan dapat menyelesaikan kepentingannya secara cepat dan efisien.

Sementara Indonesia, meski banyak kesamaan dalam situasi politik, tetapi berbeda jauh dalam law enforcement dan etos kerja. Selain korupsi yang merajalela, kita juga malah tidak akan mendapatkan apa-apa kalau mengikuti prosedur atau birokrasi yang berlaku! Visi seorang pemimpin yang pintar tidak akan terlaksana berdasarkan imbauan atau arahan semata. Seorang pemimpin juga harus cakap dalam membentangkan lengan kepemimpinan dan keteladanannya.

Pemimpin yang Kuat: Konsisten, Tegas & Tidak Ambivalen
Jikalau saja kita bisa menemukan seorang pemimpin kuat yang akan memimpin bangsa dan negara ini, niscaya ia akan menjadi orang besar, setelah krisis mampu diatasinya. Orang kuat ini berkualitas transenden, menembus dimensi temporal dan spasial, mengatasi karakter-karakter pemimpin yang selama ini kita kenal. Jenis orang kuat ini harus “berjodoh” dengan impian masyarakat Indonesia sekarang.
Kita tidak bisa lagi meniru orang kuat bangsa-bangsa lain. Orang kuat itu kontekstual. Orang kuat kita di masa lampau, belum tentu cocok dengan konteks kebutuhan sekarang. Orang kuat yang kita cari kini, belum tentu akan menjadi kuat sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Apalagi menjiplak orang kuat dalam sejarah bangsa-bangsa lain, karena mereka memiliki orang kuatnya masing-masing. Setiap zaman melahirkan kualitas orang kuatnya sendiri.

Sesungguhnya rakyat menginginkan pemimpin yang tegas, berani karena benar, benar karena menurut hukum. Rakyat tidak butuh pameran kelicinan berdebat, tetapi buah dari keintelektualan mereka yang menunjukkan kualitas perbuatan nyata. Tidak terlalu peduli tentang IQ, yang penting berani bertindak tegas sesuai kontrak sosial, jujur, tanpa pamrih, mengutamakan kepentingan bersama, jauh dari aji mumpung, berani tidak populer demi keselamatan dan kesejahteraan rakyat.

Karakter pemimpin yang demikian itu mungkin banyak kita miliki. Tetapi, pemimpin bangsa adalah juga pemimpin transenden. Ia tidak bisa memunculkan dirinya dengan usahanya sendiri, lebih-lebih di masa-masa krisis besar bangsa ini. Orang yang terlalu percaya pada kerja rasionya, bahwa pemimpin itu dapat diperjuangkan, patut dicurigai kejujuran dan otentitas kepemimpinannya. Ia bukan lagi pemimpin transenden. Karena orang kuat adalah orang panggilan. Siapa yang memanggil? Hati nurani dan jeritan kebutuhan rakyat sendiri. Pemimpin sejati tidak berambisi menjadi pemimpin.

Bila kualitas pemimpin yang demikian itu terpilih menjadi orang kuat, maka kebesarannya akan diuji. Kualitas pemimpin yang demikian itu akan ada di tengah-tengah dualisme yang plural ini. Ia akan “terjepit” antara yang kanan dan kiri, antara mayoritas dan minoritas, antara yang keras dan yang lunak. Kreativitas dan kepekaannya diuji. Di saat-saat inilah keberanian dan ketegasannya terhadap kebenaran mendapatkan tantangannya. Krisis-krisis besar kepemimpinan semacam ini, tidak jarang memakan korban dirinya sendiri.

Tarik-menarik kepentingan dualistik yang plural inilah ciri khas Indonesia. Orang kuat Amerika mungkin hanya menghadapi dualisme dua partai. Tetapi, di Indonesia masih menggejala bagaikan api dalam sekam, dualisme partai-partai, dualisme kepercayaan, dualisme rasial, dualisme Bagian Barat dan Timur. Sesungguhnya yang dualistik itu bisa menjadi pasangan komplementer. Karena itu, api di bawah sekam ini akan mudah dipadamkan bila tidak datang tiupan. Belajar dari pengalaman sejarah, orang Indonesia dasarnya terbuka, toleran, mudah diatur, mudah patuh, tidak banyak menuntut, suka mengakurkan hal-hal dualistik, siap menerima yang asing, tidak menyukai sesuatu yang ekstrem
[3].
Orang kuat Indonesia adalah pemimpin yang memenuhi kebutuhan “dunia tengah” manusia Indonesia, di tengah-tengah krisis ini. Dunia tengah itu menyeimbangkan kembali gerak ekstremitas ketidaksukaan terhadap karakter pemimpin-pemimpinnya yang sekarang. Gerak pendulum yang terlalu ke kanan ini, harus ditarik kembali ke arah kiri.

Mungkin pernyataan Kissinger itu ada benarnya, yang didasarkan pengalamannya sebagai tokoh yang dekat dengan beberapa Presiden Amerika. Bahwa keintelektualan tidak diperlukan dalam jabatan Kepala Negara dapat dibuktikan oleh sejarah Indonesia sendiri. Para pemimpin yang memilih hidup intelektual daripada dalam kecerdikan, seperti Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Tan Malaka, tak pernah populer di mata rakyat. Semua itu disapu bersih oleh Bung Karno yang lebih cerdik, populis dan selebriti.

Demikian juga, Soeharto lebih kuat, berani, dan cerdik. Semua itu didukung kekuatan, meski bukan massa tetapi bersenjata. Karena kuat, ia lebih berani dan tegas. Untuk mempertahankan itu semua ia perlu kecerdikan. Jika Soeharto tidak cerdas dan cerdik, tentu tidak akan menguasai Indonesia selama 32 tahun. Menyadari kekurangintelektualannya, Soeharto mengangkat kaum intelektual sebagai pembantu-pembantunya.

Pemimpin Indonesia ke depan hanya dapat dilakukan oleh orang kuat, yang berkarakter sederhana, jujur, tulus, memikirkan rakyat kecil, seperti Bung Hatta. Kharismatik dan patriotik seperti Bung Karno. Berani dan blak-blakan seperti Gus Dur. Kosmopolit seperti Bung Sjahrir. Transenden seperti Mangunwijaya atau Nurcholish Madjid
[4].

Keteladanan Pemimpin
Segala formula kepemimpinan tidaklah bermakna bila faktor keteladanan diabaikan. Seorang pemimpin wajib mengedepankan keteladanan dengan menjalankan leadership by example. Bukankah saripati kepemimpinan adalah “memandu jalan dan membawa orang lain ke tujuan bersama?”

Apakah seorang pemimpin dapat memandu, manakala ia sendiri berjalan dalam kegelapan visi, melangkah dengan kelemahan karakter, dan bergerak maju tanpa kacamata strategi yang tepat? Bagaimana membawa orang lain ke tujuan bersama, jika ia sendiri pun tidak mampu memberikan contoh dan keteladanan yang bisa ditiru? Daya keteladanan merupakan kriteria pokok menjadi pemimpin nasional atau bagian dari kepemimpinan nasional.
Agar dapat menjadi Pemimpin-Peneladan, seseorang harus memiliki integritas dan komitmen yang kuat untuk memimpin secara benar, jujur dan arif. Dalam hubungan ini T Richard Chase menulis:

“If a leader demonstrates competency, genuine concern for others, and admirable character, people will follow”.

Menurut Booker T. Washington, “Karakter adalah kekuasaan“. Kepercayaan dan keterlibatan pengikut pada akhirnya akan paralel dengan level karakter pemimpin. Karakter adalah hasil pembiasaan dari sebuah gagasan dan perbuatan, seperti dikemukakan oleh Stephen R. Covey:

“Taburlah gagasan, tuailah perbuatan. Taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan. Taburlah kebiasaan, tuailah karakter. Taburlah karakter, tuailah nasib“.

Selanjutnya T. Richard Chase menegaskan:

“Hanya jika pemimpin menunjukkan kecakapan, perhatian kepada orang lain secara tulus, dan karakter yang terpuji, maka rakyat akan mengikuti”.

Sementara pakar kepemimpinan John C Maxwell mengatakan:

“The most effective leadership is by example, not edict”.

Menurut dia, 90 persen manusia belajar secara visual, sembilan persen secara verbal, sisanya satu persen dengan indra lainnya. Orang belajar dan mengikuti dari apa yang dilihatnya, sehingga kata Maxwell lebih lanjut:

“A leader’s credibility and his right to be followed are based on his life”.

Dalam tradisi militer dikenal filosofi kepemimpinan yang diringkas-padat dalam formula “Follow me!” Komandan batalyon akan berkata kepada komandan kompi agar mengikutinya, seterusnya ke bawah. Filosofi “follow me!” menuntut sang komandan berperilaku, bersikap dan bertindak benar di mata anak buahnya
[5]. Meski keteladanan, kata yang mudah diucapkan, tetapi bukan “cara hidup” yang mudah diwujudkan. Namun, setidaknya hal itu menjadi rambu moral-etis dan acuan bagi setiap pemimpin. Mudah-mudahan kerinduan rakyat Indonesia untuk memperoleh pemimpin yang patut dijadikan suri teladan dapat terwujud melalui Pemilu 2009 nanti.

Pada akhirnya, “Trilogi Kepemimpinan: keteladanan, kemauan (political will) dan kompetensi” menjadi syarat mutlak bagi kepemimpinan nasional yang kuat dan berwibawa itu, agar mampu menghantarkan bangsa ini menuju pemulihan kehidupan bangsa yang lebih bermutu.

Dialog Budaya & Gelar Seni
Dalam kerangka pikir seperti itu, guna membuka lembaran baru tahun 2008, maka Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-9 akan mengangkat tema “Kepemimpinan Bangsa”, yang akan dicermati dan digali oleh para narasumber Drs. H. Ibnu Subiyanto, Akt., Bupati Sleman, Prof. Dr. dr. Sutarjo, SpAK, Ketua Senat Akademik UGM, Drs. Bambang Purwoko, MA, Staf Pengajar Fisipol UGM/Anggota Tim RUUK DIY.

Dialog dipandu oleh Drs. Octo Lampito, Pemimpin Redaksi “KR”, bersama Hari Dendi. Gelar Seni berupa dialog & tembang Prajnaparamita-Sang Amurwabumi arahan Bondan Nusantara & Drs. Sumaryono, MA, diiringi “gamelan ringkes” gabungan ISI-SMKI Yogyakarta asuhan Drs. Sunardi. Digelar di Bangsal Kepatihan, pada malam Slasa Wage, 22 Januari 2008, jam 19.00-22.00.


Yogyakarta, 10 Januari 2008

Komunitas Budaya
“YogyaSemesta”,



Hari Dendi
[1] Sri Sultan HB X, “Sosok Pemimpin Nasional Visioner yang Kuat, Konsisten, Tegas, dan Tidak Ambivalen”, Konvensi Nasional II Tahun 2004, IKAL, Yogyakarta, 31 Januari 2004.
[2] Roy Sembel, “Margaret Thatcher, Pemimpin yang Membawa Perubahan”, Sinar Harapan, 2002.
[3] Jakob Soemardjo, “Siapa yang Bisa Dipercaya?”, Rubrik Opini Kompas, 23 Januari 1999.
[4] Jakob Sumardjo, “Dicari, Orang Kuat Indonesia”, Kompas, 7 September 2002.
[5] Kiki Syahnakri, “(Krisis) Kenegarawanan dan Keteladanan”, Rubrik Opini Kompas, 7 Januari 2004.