Friday, November 04, 2016

Penistaan Agama


Agama adalah tentang memahami asal muasal kita  dan menghargai kehidupan. Namun, sayangnya  kosa kata manusia yang terbatas menjadikan kita mengalami kesulitan dalam memahami kitab suci. Karena itulah, tidak seperti ilmu pengetahuan yang dilahirkan dari gagasan  manusia yang batasannya jelas, agama membuka ruang tafsir yang sangat besar. Di situlah akal budi kita berperan dalam proses memahami Tuhan.  Saya ingin mengutip Karen Armstrong, “Pengalaman tentang Tuhan harus diiringi oleh antusiasme lain, termasuk antusiasme akal”. Jelas sekali bahwa Tuhan memberikan kemampuan berpikir pada kita, agar kita pergunakan seluas-luasnya bagi kelangsungan kehidupan manusia yang lebih baik di bumi ini. Misalkan kita sakit, ilmu-ilmu kedokteran yang berkembang karena akal pikiran manusia, merupakan sebuah solusi yang kita ciptakan untuk mencari kesembuhan. Saya rasa, kita termasuk  mengabaikan perintahNYA, bila hanya mengandalkan doa memohon-mohon kesembuhan tanpa berpikir dan berbuat sebagaimana seharusnya dilakukan menurut ilmu pengobatan yang berasal dari akal pikiran manusia.

Tentu saja, Tuhan adalah realitas yang berbeda dari semua yang ada di alam semesta ini, tetapi, Dia bukan saja sekedar realitas yang berbeda. Kita ingin Dia hadir dalam wujud keseharian. Kita bisa menangis kepadanya, kita bisa mengadu, bahkan, kita bisa marah karena merasa Dia dihina. Karena itulah,  pertanyaan-pertanyaan filosofis, kita perlukan untuk mengaitkan keberadaan Tuhan dengan antusiasme lain di kehidupan kita. Inilah yang akan membantu kita memahami keberadaanNYA dalam kehidupan, sehingga bisa kita pahami, bahwa realitas tertinggi itu, tidak berbeda dan tidak terpisah dengan kehidupan kita sehari-hari.

Sebagai contoh, penciptaan alam semesta. Saya berkeyakinan, adalah sebuah kesalahan, bila risalah tentang penciptaan alam semesta itu, hanya dipahamai sebagaimana adanya seperti tertulis dalam kitab suci. Tuhan bukanlah sebuah wujud seperti yang ada di alam semesta ini, sehingga kita mungkin memahami penciptaan itu seperti manusia membuat sebuah roti dengan proses-prosesnya. Kisah penciptaan alam semesta bukanlah sebuah “kebenaran ilmiah” menurut nalar manusia, melainkan sebuah simbol tentang kemaha-kuasaan, meminjam istilah Karen Armstrong, “ungkapan simbolik tentang kebenaran spiritual dan psikologis”. Bayangkan, seperti seorang anak kecil menggambar rumah, lengkap dengan perabotan dan manusia di dalamnya. Dunia ciptaan Tuhan barangkali seperti itulah. Bagaimana mungkin “gambar” manusia di kertas  tersebut bisa memahami bahasa manusia yang menggambarkannya?  Kecuali bahwa pada saat menggambar, si anak kecil itu memberi warna, maka, di dunia kertas itu mereka akan mengenal warna. Apakah dengan pengenalan warna, katakanlah merah, yang mereka lihat di tubuh masing-masing itu, akan berarti bahwa anak kecil yang menggambar mereka juga berwarna merah.

Saya jadi ingat, di Madilog (Materialisme Dialektika Logika), Tan Malaka menulis  bagaimana kitab suci harus menggambarkan surga sebagai tempat hidup yang sangat indah. ( Fokus saya pada  cuplikan Madilog ini bukanlah pada makna buku itu secara keseluruhan, tetapi, tentang bagaimana sebuah kalimat Tuhan harus diterjemahkan ke dalam teks dengan kosa kata manusia, agar kitab suci dapat  dipahami dengan mudah). Bagi masyarakat yang hidup di padang pasir, surga tentu saja disimbolkan dengan air sungai yang jernih dan ruang hidup yang sejuk. Akan berbeda ceritanya bagi suku bangsa lain, yang memiliki kehidupan berburu, seperti suku indian, bagi mereka surga adalah padang buruan yang luas yang dipenuhi binatang buruan yang gemuk. Tuhan memudahkan manusia mehamami aturan main dengan membahasakan hukum-hukumnya ke dalam tata bahasa manusia. Seperti itulah kita memahami sang pencipta.

Karena “jarak” antara bahasa ketuhanan dan bahasa manusia harus diterjemahkan dalam tafsir, maka, kita tak pernah luput dari distorsi makna. Inilah yang menimbulkan perbedaan suatu kelompok dengan kelompok lainnya, meskipun sama-sama mengikuti kitab suci yang sama.
Seseorang yang mengaku bertuhan atau  beragama, tentu saja harus memenuhi dirinya dengan kehadiran Tuhan. Rasanya, tak ada satupun ajaran berketuhanan ini yang mengajarkan tentang kekerasan dan pemaksaan kehendak. Tuhan selalu membimbing kita untuk menemukan kebenaran, bukan kekerasan. Dan kebenaran itu, bisa berasal dari mana saja.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip salah satu pernyataan ilmuwan muslim yang dikenal  begitu toleran dengan pemikiran rasional terhadap Al Quran.  Adalah  Yaqub Ibn Ishak Al-Kindi, di tahun 800an masehi. Bagi Al Kindi, tugas para filosof adalah untuk mencari kebenaran dalam bungkus budaya atau bahasa apapun.

Kita tak usah malu meyakini kebenaran dan mengambilnya dari sumber manapun ia datang pada kita, bahkan walaupun seandainya ia dihadirkan kepada kita oleh generasi terdahulu dan orang-orang asing. Bagi siapa saja yang mencari kebenaran, tak ada nilai yang lebih tinggi kecuali kebenaran itu sendiri; kebenaran tidak pernah merendahkan atau menghinakan orang-orang yang mencapainya, namun justru mengagungkan dan menghormatinya

Jadi, siapakah yang menistakan agama?


Yogyakarta, 3 dan 4 November 2016, ketika demonstrasi penistaan agama merebak.



No comments: